Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Berita Tempo Plus

Gugatan kiai cirebon

Para ahli waris menggugat Perhutani karena menebang pohon-pohon jati warisan. yayasan keluarga besar Kiai Cirebon merupakan ahli waris hadiah pangeran kornel, bupati Sumedang.(dh)

15 Desember 1984 | 00.00 WIB

Gugatan kiai cirebon
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
HUTAN jati itu dianggap angker. Luasnya 30 ha lebat oleh tanaman jati tua sebanyak 1.753 batang. Macan dan ular yang besar-besar masih menghuni kawasan yang terletak di Kecamatan Tomo, perbatasan Sumedang - Cirebon, 20 km dari jalan raya Bandung - Cirebon itu. Dikenal pula dengan nama hutan saUm (sisa ngetim, sisa persemaian), hutan tutupan itu tak jauh dari Sungai Cilutung. Puluhan tahun tak terusik, bahkan penduduk di sekitarnya tak berani mencuri kayu jati karena takut kualat, sejak lima tahun lalu hutan jati yang konon milik Haji Mukibat alias Kiai Cirebon itu jadi pembicaraan penduduk. Lebih dari seribu batang jati ditebang Perum Perhutani pada 1977. Karena itu, ahli waris Kiai Cirebon pun menggugatnya. Melalui dua pengacara, Ipik Asmasubrata dan Supadman Adiwidjaja, sekitar 200 ahli aris yang tergabung dalam Yayasan Keluarga Besar Kiai Cirebon, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sumedang. "Kami tidak hendak merepotkan pemerintah. Kaml sebenarnya hanya menginginkan musyawarah untuk memperoleh hak-hak kami," kata Mukis Hamidi, 54, cucu-buyut Kiai Cirebon, mewakili ahli waris. Menurut Mukis, yang juga sinder Pabrik Gula Kadipaten di Kabupaten Majalengka itu, para ahli waris mendapat wasiat dari Kiai Cirebon untuk menjaga kelestarian hutan jati. "Wasiatnya ada, tertulis dalam bahasa Arab," katanya lagi kepada Dedy Iskandar. Mereka menuntut ganti rugi Rp 14 milyar, karena pohon-pohon jati yang ditebang termasuk langka dan tua. Usianya 80 - 175 tahun - menurut penelitian Laboratorium Kehutanan Bogor pada 1977. Banyak pohon jati yang tingginya mencapai 100 meter, tidak sedikit pula yang garis kelilingnya tak terpeluk oleh empat orang dewasa. Menurut Mukis Hamidi, setiap pohon yang ditebang sedikitnya menghasilkan 14 meter kubik. Sedang harga yang diinginkan ahli waris Rp 600.000 per meter kubik. Bila yang ditebang 1.700 batang, nilainya lebih dari Rp 14 milyar. Tapi Perum Perhutani Sumedang menolak membayar ganti rugi. "Gugatan itu tidak berdasarkan bukti-bukti autentik," kata Suherman, ajun administratur Perhutani Sumedang Selatan. Sebaliknya, berdasarkan bukti-bukti yang ada di kantornya, kawasan hutan itu milik negara. Meski begitu, para ahli waris Kiai Cirebon pantang mundur. Setelah pengaduan mereka ke Departemen Dalam Negeri, $eptember 1982, sekjen Depdagri (ketika itu Soeprapto) minta agar PemdaJa-Bar menyelesaikannya. Empat bulan kemudian, wagub Ja-Bar Aboeng Koesman menyarankan agar ahli waris mengajukan masalah itu ke Ditjen Kehutanan. Belakangan, Senin pekan lalu, Menteri Kehutanan Soedjarwo sendiri menegaskan "akan mengembalikan semua kerugian". Soedjarwo yakin, Perhutani mampu membayar. "Yang jadi soal sekarang tinggal masalah administrasi." Artinya, belum ada kesepakatan mengenai jumlah pohon yang "salah tebang", demikian pula mengenai jumlah meter kubik dan harganya. Ahli waris Kiai Cirebon menghitung sekitar 1.700 batang berusia 100 tahun lebih yang ditebang, sedang menurut Perhutani hanya 1.000 batang berusia 80 tahun. Menurut ahli waris, setiap pohon menghasilkan 14 meter kubik, menurut perhitungan Perhutani hanya 8-10 meter kubik. Dan, konon, yang akan menerima ganti rugi bukanlah para ahli waris Kiai Cirebon melainkan para penggarap. Di kawasan hutan itu terdapat empat desa (Cikoang, Cilega, Cikuleu, Ujung Jaya) yang berpenduduk 1.000 kk. Mereka bercocok tanam di sekitar hutan. Di antara mereka terdapat sckitar 200 orang penggarap, yang kelak menerima ganti rugi dari Perhutani itu. Itu sebabnya ahli waris Kiai Cirebon ke pengadilan. Tampaknya gugatan ahli waris Kiai Cirebon memang sulit terkabul. Sebab, Tim Peneliti Tuntutan Ahli Waris Kiai Cirebon yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan, Juli 1984, menyimpulkan bahwa tuntutan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, sementara, berdasarkan data pada instansi kehutanan, areal sengketa tersebut merupakan hutan milik negara. Kalaupun Menteri Kehutanan menjanjikan membayar ganti rugi, konon bukan kepada ahli waris, melainkan kepada penggarap. Hutan jati itu memang ada riwayatnya. Pada tahun 1800, Kiai Cirebon menerima hadiah berupa hutan jati seluas 30 ha itu dari Paugeran Kornel, bupati Sumedang, yang juga terkenal sebagai penggerak rakyat membikin jalan tembus Cadas Pangeran, antara Bandung dan Sumedang. Hadiah itu diberikan karena Kiai Cirebon berjasa membantu menyebarkan agama Islam di kawasan Dawuan dan Tomo, perbatasan Sumedang - Cirebon. Kiai Cirebon sendiri kemudian mendirikan pesantren Cikuleu di Ujung Jaya yang dulu disebut Pabian. Sang kiai berwasiat agar anak-cucunya menjaga baik-baik hutan jati hadiah Pangeran Kornel itu. "Boleh ditebang bila untuk keperluan pesantren," tutur Mukis Hamidi. Alkisah, pohon jati sebanyak 1.753 itu (sesuai dengan tahun kelahiran Kiai Cirebon) ditanam oleh para santri pada 1802, hampir bersamaan waktunya dengan penanaman pohon jati di makam Sunan Gunungjati, Cirebon. Kiai Cirebon dimakamkan di Karangsembung, Kadipaten, Kabupaten Majalengka, konon dalam usia 150 tahun - hanpir seumur pohon-pohon jati tanaman warisannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus