Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSAH payah Hardian Pratama masuk ke mobil tahanan. Setelah mendapat tempat yang pas di baris kedua jok Isuzu Elf itu, pria 23 tahun ini meminta Tempo duduk di sebelahnya. "Saya memang admin Muslim_Cyber1," kata pria yang sejak kecil kesulitan berjalan ini, Selasa siang pekan lalu.
Tim Tindak Pidana Siber Markas Besar Kepolisian RI menangkap Hardian di rumahnya di Jagakarsa, Jakarta Selatan, Selasa dua pekan lalu. Penangkapan lelaki ini menjadi sorotan ketika media massa ramai memberitakan perburuan atau persekusi atas orang-orang yang dituduh menghina ulama dan Islam.
Siang itu, Hardian "dipinjam" dari ruang tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Polisi membawa dia ke Markas Besar Polri untuk acara jumpa pers. "Ia menyebarkan percakapan palsu lewat Instagram Muslim_Cyber1," ujar Direktur Tindak Pidana Siber Polri Brigadir Jenderal Muhammad Fadil Imran.
Salinan percakapan yang disebut palsu itu mencatut nama Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian dan juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Argo Yuwono. Dalam potongan salinan percakapan WhatsApp itu, Tito seolah-olah meminta Polda Metro Jaya merekayasa perkara pornografi yang diduga melibatkan pendiri Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Syihab, dengan perempuan bernama Firza Husein.
Adapun perkara pornografi mencuat setelah percakapan mesum dan foto vulgar perempuan mirip Firza menyebar di media sosial. Senin pekan lalu, polisi menetapkan Rizieq sebagai tersangka perkara ini.
Muslim_Cyber1 mengunggah salinan percakapan "Tito-Argo" pada 18 Mei pagi, dua hari setelah Polda Metro Jaya menetapkan Firza sebagai tersangka perkara pornografi. Akun yang memiliki sekitar 12 ribu follower ini menyebut obrolan "Tito-Argo" sebagai bukti bahwa polisi merekayasa kasus Rizieq-Firza.
Hardian membantah membuat potongan percakapan "Tito-Argo" itu. "Saya hanya mengunggah ulang, lupa dapat dari mana," katanya. Toh, polisi tetap membidik Hardian dengan Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman hukuman maksimalnya enam tahun penjara.
Setelah memeriksa Hardian dan "membongkar" telepon seluler miliknya, polisi memastikan pria lulusan sekolah menengah kejuruan ini bertalian dengan jaringan Muslim Cyber Army. "Ada grup WhatsApp berisi gabungan admin akun-akun Cyber Army," ujar Fadil. Sejak akhir Mei lalu, kelompok Muslim Cyber Army ramai diperbincangkan karena menyerukan perburuan atas siapa pun yang mereka anggap menghina ulama dan Islam.
SERUAN untuk memburu penghina Islam atau ulama pertama kali muncul lewat grup Facebook bernama Muslimcyber.net pada 21 Mei lalu. Di dinding Facebook, mereka menulis, "Siapa saja yang menemukan penista agama Islam atau ulama, silahkan kirim email ke [email protected]." Terusannya, "Nanti tim admin akan telusuri dan bantu sosialisasikan agar ditindaklanjuti oleh laskar dan tim pemburu penista Islam dan ulama."
Keesokan harinya, seruan itu viral lewat jaringan portal berita dan akun media sosial yang terafiliasi dengan Muslim Cyber Army. Di beberapa daerah, pemilik akun yang menyindir atau mengecam Rizieq Syihab pun segera menjadi sasaran perburuan. Dalam waktu sepekan, organisasi nirlaba Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) mencatat ada 59 orang yang masuk daftar buruan kelompok Muslim Cyber Army.
Gerakan Muslim Cyber Army sebenarnya sudah lama terdeteksi radar "Drone Emprit"--sistem analisis media sosial karya Ismail Fahmi, doktor sains informatika lulusan University of Groningen, Belanda. Muslim Cyber Army bergerilya di Twitter sejak Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan akan maju dalam pemilihan gubernur sebagai calon nonpartai pada awal 2016.
Ismail bercerita, waktu itu muncul akun-akun anonim di Twitter yang menolak pencalonan Basuki dengan alasan agama. Akun serupa menggunakan tagar #MuslimCyberArmy sebagai identitas. Akun yang kerap menggunakan tagar itu antara lain @zaman_akhirr, @maspiyuuu, dan @sibonekakayu. Mereka berusaha menandingi akun-akun pendukung Basuki. "Semula mereka kalah oleh akun pro-Ahok," ujar Ismail, Rabu pekan lalu.
Muslim Cyber Army menemukan panggungnya ketika gabungan organisasi kemasyarakatan Islam seperti FPI hendak menggelar unjuk rasa besar-besaran pada 2 Desember tahun lalu. Demonstrasi bertajuk "Bela Islam 212" itu mendesak polisi menahan Basuki setelah dia dijadikan tersangka kasus penodaan agama.
Kelompok Muslim Cyber Army menggalang dukungan di media sosial. Berdasarkan pemantauan Drone Emprit di jagat Twitter, menjelang Aksi Bela Islam 212, akun-akun pemasang tagar #MuslimCyberArmy mulai mengimbangi gempuran akun-akun pro-Ahok. Bahkan, pada hari-H Aksi Bela Islam 212, tagar #MuslimCyberArmy mampu mendominasi percakapan.
Hardian Pratama termasuk yang kepincut oleh gerakan Muslim Cyber Army. Mulanya, menggunakan nama asli, lelaki ini membuat akun di Instagram untuk berjualan kebab. Ia kemudian membeli sekitar 5.000 follower untuk mendongkrak angka penjualan. Di media sosial, jual-beli follower adalah praktik lazim untuk mengesankan bahwa sebuah akun itu besar.
Menjelang Aksi Bela Islam 212, Hardian membanjiri lini masa Instagramnya dengan ajakan untuk ikut unjuk rasa tersebut. Lelaki yang aktif di beberapa majelis taklim ini semula tak menyangka unggahan itu bakal mendapat banyak tanggapan. "Saya senang, banyak yang komentar dan kasih like," ucapnya.
Setelah tahu ada gerakan Muslim Cyber Army, Hardian mengganti nama akun Instagramnya. Ia memilih nama Muslim_Cyber1. "Angka satu merujuk pada Allah," katanya. Anak pertama dari tiga bersaudara ini pun semakin getol menyebarkan hal seputar Islam yang ia peroleh dari Internet.
Sampailah pada suatu hari ketika Hardian mendapat undangan privat dari salah satu akun jaringan Muslim Cyber Army. Dia menerima ajakan itu dan bergabung dengan grup WhatsApp kelompok tersebut. Anggotanya gabungan pemilik akun pendukung Muslim Cyber Army di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Menurut Hardian, anggota grup tersebut tak pernah "kopi darat" alias bertemu langsung. Nama-nama orang di kelompok tersebut pun anonim. Misalnya, ada "generasi muda muslim", "jenderal tua", dan "musafir laten". Komunikasi mereka selanjutnya dilakukan lewat grup WhatsApp.
Hardian menerangkan, grup tempatnya bergabung tidak pernah membahas persekusi atau perburuan orang yang menghina Islam. Isi grup tersebut lebih banyak membahas konten "Gerakan Bela Islam" di media sosial. Belakangan, ketika polisi membidik Rizieq Syihab, grup tersebut menggencarkan dukungan untuk Rizieq lewat tagar #kamibersamaHRS.
Jaringan Muslim Cyber Army tak hanya berkembang di Jakarta dan sekitarnya. Ahmad Rifai, instruktur outbound asal Padang Panjang, Sumatera Barat, misalnya, bergabung dengan grup WhatsApp Cyber Muslim Army atas ajakan kawannya. Berbeda dengan Hardian yang bersembunyi di balik akun anonim, Rifai yang juga pengurus sebuah pesantren ini menggunakan nama terangnya di Facebook.
Polisi menangkap Rifai pada Senin pekan lalu. Tapi ia ditangkap bukan karena turut menyerukan persekusi, melainkan lantaran menyebarkan rumor bahwa bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta, pada 24 Mei lalu adalah rekayasa polisi. Kepada Tempo, Rifai pun mengaku tidak begitu aktif di grup Muslim Cyber Army. "Saya hanya baca-baca sepintas," ujarnya.
Lewat layanan pesan instan, Tempo berbincang dengan admin salah satu akun Muslim Cyber Army. Di jejaring sosial Facebook, ada beberapa akun bernama mirip Muslim Cyber Army. Tempo berbincang dengan pengelola akun yang dibuat pada 9 Desember 2016 itu. "Tidak ada yang asli atau palsu. Kami semua Muslim Cyber Army selama tujuannya membela Islam di media sosial," kata admin akun ini memulai percakapan.
Sang admin membenarkan keberadaan mereka memang untuk melawan akun-akun yang pro-Ahok. Meski begitu, menurut admin itu, tak ada garis komando di antara berbagai akun Muslim Cyber Army. Prinsipnya, sepanjang akun-akun tersebut mendukung gerakan Islam, mereka dianggap satu visi. "Kami juga tidak terafiliasi dengan organisasi mana pun," ujar admin tersebut.
Si admin juga menyangkal kabar bahwa laskar Muslim Cyber Army melakukan intimidasi atau kekerasan. Menurut dia, tugas laskar hanya membawa para penghina ulama dan Islam ke kantor polisi. "Kami menyerahkan semuanya kepada hukum agar ada efek jera," katanya.
Setelah gelombang persekusi menjadi sorotan media dan pegiat hak asasi manusia, polisi akhirnya tergerak menyelidiki jejaring Muslim Cyber Army. "Akan kami bongkar jaringan mereka," ujar Fadil Imran.
Syailendra Persada, Abdul Manan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo