PERADILAN antikorupsi agaknya mesti dirombak total. Polanya yang seperti kerucut mungkin harus dibalik, sehingga banyak yang diadili, dihukum seberat-beratnya, dan hartanya disita negara. Kalau tidak, pembasmian korupsi tak berbeda dengan yang sudah-sudah, yakni banyak kasus se-bagaimana dicurigai masyarakat tapi terus menyusut begitu sampai di tingkat penyidikan, penuntutan, dan kemudian pengadilan.
Sudah begitu, tersangka kasus korupsi pun jarang yang ditahan. Bahkan beberapa dari mereka masih tetap menjadi pejabat negara. Padahal tersangka korupsi dengan ancaman hukuman seumur hidup—berarti di atas lima tahun penjara—patut ditahan. Penahanan menjadi penting sehingga tersangka tak bisa merekayasa pelbagai bukti korupsi. Kecuali itu, jaksa pun dapat memburu dan menyita harta tersangka untuk sekadar menutup kerugian negara yang amat besar akibat dibobol tersangka.
Namun, para tersangka korupsi di Indonesia tergolong paling mujur. Mereka tak perlu ditahan, bisa tetap bermain golf, dinner di restoran mahal, dan menikmati segala kemewahan di rumah besarnya. Kalau sedang beruntung, ia masih pula bisa menghadiri ramah tamah dengan sejumlah pejabat, bahkan ber-anjangsana ke Istana Presiden.
Kalaupun jaksa memaksa menahan, ada kiat untuk menampiknya, yakni sakit. Contohnya, tersangka Sjamsul Nursalim, bos Gajah Tunggal. Ia hanya sehari ditahan di Kejaksaan Agung, kemudian keluar dengan alasan jantungnya "bermasalah".
Serentet fenomena di atas bukan cuma ter-jadi di berbagai kasus korupsi besar di Jakarta. Sebut saja kasus korupsi Bank Bali atau ruilslag (tukar-menukar tanah) Bulog dan Goro. Di daerah pun gejala semacam itu merebak.
Sekadar contoh, kasus korupsi Rp 27 miliar dengan terdakwa Ukman Sutaryan, mantan Wakil Gubernur Jawa Barat. Lalu kasus korupsi Rp 2,7 miliar dengan terdakwa Kismet Kusmana, bekas pejabat di Dinas Pendapatan Kota Bandung. Ukman baru empat hari ditahan lantas jatuh sakit, sehingga dilepaskan. Kismet pun demikian, setelah dua pekan ditahan.
Ironisnya pula, dari sedikit kasus korupsi yang sampai ke pengadilan, akhirnya orkestra lama pula yang terdengar: hakim memvonis bebas (ontslag) terdakwa dengan alasan perkaranya perdata. Banyak contoh kasus seperti ini, antara lain kasus korupsi dengan terdakwa Sri Bandiati di Pengadilan Negeri Bandung. Dosen di sebuah perguruan tinggi di Bandung itu semula didakwa mengorupsi uang negara Rp 1,2 miliar.
Kasusnya berawal ketika Sri Bandiati atas nama Koperasi Unit Desa (KUD) Sarwa Mukti meminjam uang Rp 2,7 miliar dari Perum PKK Jawa Barat. Dana itu didalihkan untuk proyek sapi potong impor. Belakangan, Bandiati mengembalikan Rp 1,5 miliar. Sisanya? Ia berjanji melunasinya paling lambat 12 Desember 1999. Namun, hingga tanggal jatuh tempo, Bandiati mangkir.
Buntutnya, pada Juli 2000 kejaksaan mengendus bau korupsi. Usut punya usut, ditemui sejumlah kejanggalan. Menurut Marwan Effendi, Kepala Kejaksaan Negeri Bandung, ternyata penggunaan dana tersebut tak jelas. Rekening KUD pun kosong. Arus keluar-masuk dananya gelap. Itulah yang membuat Bandiati sempat digiring ke rumah tahanan Kebonwaru, Bandung, pada Oktober 2000.
Setelah itu, akhir September 2001, Bandiati diadili. Ternyata jaksa kaget. Soalnya, majelis hakim yang diketuai Nachrowie memvonis bebas. Majelis hakim menganggap perkara itu perdata, bukan pidana, apalagi korupsi. "Ini kasus utang-piutang," kata Hakim Nachrowie.
Kontan Bandiati gembira karena lolos dari hukuman. Segera dia melaporkan Kepala Kejaksaan Negeri Bandung ke Kepolisian Resor Bandung Tengah. Bandiati menganggap kejaksaan telah mencemarkan nama baiknya. "Saya merasa terhina dan kehilangan wibawa di depan mahasiswa," ujar Bandiati.
Kejaksaan mungkin tak resah dengan aksi hukum balasan dari Bandiati. Yang membuatnya kesal justru vonis bebas dari hakim. Sebab, dengan vonis ontslag itu, berarti hakim meng-akui adanya penyimpangan terdakwa tapi menilai perbuatan itu sekadar perdata. Mestinya, "Kalau dinilai tak terbukti korupsi, ya, divonis bebas (vrijspraak), bukan ontslag," kata Marwan.
Akankah fenomena begitu terjadi pula pada kasus korupsi Bank Bali, yang kini masih diadili dengan terdakwa Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin? Demikian juga kasus korupsi Bulog-Goro dengan terdakwa Hokiarto, yang belum jua diadili. Atau malah bisa terjadi pada kasus korupsi Bulog II, yang saat ini masih berkutat pada tersangka Rahardi Ramelan dan tak kunjung ke status Ketua DPR Akbar Tandjung selaku tersangka?
Wens Manggut, Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini