PERANGKAT hukum dunia maya (cyberlaw) sebentar lagi lahir. Selama ini, penegak hukum seperti kesulitan menjaring berbagai kasus di jagat internet itu. Padahal, setelah satu dasawarsa internet menjalar di Indonesia, makin banyak pelanggaran ataupun kejahatan terjadi, entah pembobolan atau perusakan jaringan dan situs internet, pencurian kartu kredit, ataupun pembajakan nama domain, seperti kasus mustika-ratu.com. Dari berbagai kasus itu, baru kasus mustika-ratu.com yang diproses secara hukum pidana.
Kelak, berbagai kasus di jagat maya tak perlu lagi bikin pusing aparat hukum. Itu kalau Rancangan Undang-Undang Teknologi Informasi (RUU TI) yang dirampungkan oleh tim perancang dari Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung pekan ini men-jadi undang-undang. Draf ketiga RUU itu telah diusung ke berbagai kota untuk dibahas dengan para ahli dari dalam dan luar negeri. Rencananya, RUU TI akan diajukan ke DPR pada Januari 2002.
RUU TI yang didukung Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi itu mencakup segala aspek jagat internet, mulai dari penggunaan teknologi informasi, e-commerce, tanda tangan digital, kontrak elektronis, kelembagaan, masalah hak kekayaan intelektual, nama domain, privacy, sampai kejahatan maya (cybercrime) plus yurisdiksinya.
Dari segerobak materi itu, masalah cybercrime yang paling banyak diatur. Menurut ketua tim penyusunnya, Ahmad Ramli dari Universitas Padjadjaran, hal itu lantaran berbagai delik di dunia maya itu tak bisa dijaring dengan instrumen hukum yang ada, entah KUH Pidana, KUH Perdata, ataupun perangkat hukum ekonomi.
Agaknya calon UU TI itu akan menjadi paket lengkap cyberlaw. Maklum, kata Ahmad Ramli, perkembangan teknologi informasi memerlukan aturan yang komprehensif dan menyeluruh. Namun, bakal UU TI itu harus dioperasikan dengan sedikitnya tujuh peraturan pemerintah. Ketentuan pelaksanaan ini melingkupi masalah perdagangan secara elektronis, tata cara tanda tangan digital dan elektronik, lembaga sertifikasi, lembaga pengelola nama domain, mekanisme gugatan class action, dan dokumen elektronis sebagai alat bukti di pengadilan.
Namun, tim pengkajian cyberlaw dari Universitas Indonesia yang dimotori Edmon Makarim berpendapat tak perlu ada undang-undang khusus tentang cyberspace. Menurut Edmon, jagat internet termasuk bagian dari teknologi telekomunikasi, media, dan informatika (telematika), yang sudah ada aturan hukumnya. Aturan dimaksud mulai dari undang-undang tentang hak asasi manusia, telekomunikasi, penyiaran, pers, film, kearsipan, dokumen perusahaan, sampai hak milik intelektual.
Jadi, kata Edmon, tak benar bila kejahatan di jagat internet tak bisa dihukum dengan dalih belum ada aturannya. Bahkan kasus nama domain mustika-ratu.com bisa dicari padanan hukumnya. Kalau kasus itu menunjukkan rebutan nama domain, penyelesaiannya bisa dengan KUH Perdata. Namun, kalau ada itikad tak baik atau perbuatan curang, bisa digunakan KUH Pidana.
Kalaupun ada perkembangan baru di dunia teknologi informasi, termasuk internet, yang tak bisa dijangkau dengan berbagai undang-undang yang ada, tinggal diamandemen saja undang-undang dimaksud.
Sekalipun demikian, untuk kebutuhan masyarakat yang mendesak saat ini, tim dari Universitas Indonesia bersama Dirjen Perdagangan Dalam Negeri telah menyiapkan dua RUU yang spesifik, masing-masing tentang tanda tangan elektronik dan transaksi elektronik. Kedua calon UU itu dibutuhkan agar data ataupun komunikasi elektronik tak bisa ditampik oleh para pihak yang berhubungan bisnis.
Menanggapi perbedaan konsep cyberlaw antara dua kubu di atas, pengamat multimedia di Yogyakarta, Roy Suryo, berharap agar kedua konsep itu disinergikan. "Kalau tak ada persatuan, nanti malah cakar-cakaran, sehingga hasilnya akan cacat. Tiap versi kan punya kelebihan dan kekurangan,'' katanya.
Sementara itu, pakar teknologi informasi di Bandung, Onno W. Purbo, lebih menyoroti aspek filosofis dari cyberlaw yang akan dilahirkan. Dalam RUU TI, kata Onno, penyusun terlalu menganggap dinamika teknologi informasi seperti dunia yang menakutkan, sehingga harus diatur secara rinci dan ketat.
Sudah begitu, tambah Onno, peran hacker (penembus jaringan internet) pun salah dipahami. "Mereka menganggap hacker cuma obyek dan penjahat. Padahal, hacker adalah subyek sekaligus pahlawan di dunia teknologi informasi," kata Onno.
Dalam RUU TI, hacker memang diancam pidana setahun penjara dan denda Rp 100 juta. Bagi Onno, hacker sebagai inovator ataupun petualang yang berani menjajal kehebatan suatu jaringan komputer berbeda dengan cracker (pembobol atau perusak jaringan komputer), carder (pembobol kartu kredit lewat internet), ataupun cybersquatter (pembajak ataupun perusak nama domain).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini