NYONYA August Marpaung mungkin tak pernah menduga bila masa tuanya jadi pahit. Istri mendiang Mayor Jenderal August Marpaung dulu hidup enak sebagai orang terpandang. Suaminya pernah menjabat Kepala Pusat Penerangan di Departemen Pertahanan dan Ke-amanan, sebelum menjadi Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah pada 1970 sampai 1973. Mendiang juga pernah menjadi Rektor Universitas Cenderawasih, Jayapura. Bahkan perwira tinggi TNI itu pernah pula dipercaya sebagai duta besar di Australia.
Namun, kini janda August Marpaung tinggal berdesakan bersama anak-cucunya di rumah dinas perwira tinggi TNI Angkatan Darat di Jalan Gatot Subroto, yang menurut dia seperti gudang. Nasib mengenaskan itu dialaminya setelah diusir dari rumahnya di Jalan Cicurug, Menteng, Jakarta Pusat. Nyonya August harus angkat kaki dari rumah seluas 300 meter persegi itu setelah dieksekusi oleh pengadilan. Sebab, menurut vonis Mahkamah Agung, rumah itu milik Pemerintah Daerah Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Kisah pahit itu terungkap setelah Nyonya August melapor ke berbagai instansi, termasuk menulis surat pembaca di sebuah koran Ibu Kota, Jumat dua pekan lalu. Menurut Nyonya August, eksekusi paksa itu membuat dirinya tertekan dan selalu harus minum obat penenang. "Waktu eksekusi, saya didorong polisi hingga terjengkang," ujar wanita berusia 72 tahun itu menuturkan eksekusi pada April 2001.
Kata Nyonya August, rumah itu ditempatinya sejak 1963, setelah diizinkan oleh Penguasa Perang Jakarta. Ketika itu suaminya menjadi jaksa tinggi militer. Dua tahun berselang, Kepala Pusat Jawatan Gedung-Gedung Negara di Departemen Keuangan membolehkan August membeli rumah itu. August lantas membeli rumah yang semula berukuran 124 meter persegi itu seharga Rp 25 juta. Setelah itu, ia memperoleh sertifikat hak guna bangunan (HGB) selama 40 tahun.
Tiba-tiba, pada 1987, Pemerintah Daerah Kutai mengklaim rumah itu. August pun di-gugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Di tingkat pertama, gugatan itu patah. Namun, di tingkat banding dan kasasi, tahun 1995, August kalah. Belakangan, Maret 2001, muncul penetapan eksekusi dari pengadilan.
Kontan Nyonya August, yang menjanda sejak suaminya meninggal karena penyakit liver pada 1991, meradang. "Saya memiliki surat-surat tanah itu, tapi tak diindahkan oleh pengadilan," katanya. Toh, petugas pengadilan yang didukung oleh puluhan polisi tak menggubrisnya. Eksekusi pengosongan tetap dilakukan. Nyonya August dan keluarganya diusir dari rumah ter-sebut. Akibat pengosongan paksa, Nyonya August mengaku kehilangan harta benda senilai Rp 200 juta.
Namun, Pemerintah Daerah Kutai membantah cerita Nyonya August. "Kami tak pernah sewenang-wenang," ucap Bupati Kutai, Syaukani. Menurut Syaukani, instansinya malah telah menawarkan uang santunan Rp 600 juta kepada keluarga Nyonya August. Tapi Nyonya August meminta ganti rugi Rp 6 miliar. Jelas, tuntutan itu berlebihan. Apalagi pemilik rumah lain di sekitar rumah Nyonya August yang juga dituntut oleh Pemerintah Daerah Kutai mau menerima ganti rugi yang disodorkan. Malah ada penghuni yang bersedia meninggalkan rumah tanpa meminta ganti rugi.
Di dekat rumah Nyonya August, yang tak jauh dari Taman Lawang di bilangan Menteng itu, memang ada empat rumah yang telah diambil kembali oleh Pemerintah Da-erah Kutai. Rumah itu antara lain pernah ditempati Arya Jabar, cucu mantan Menteri Dalam Negeri almarhum Amir Machmud. Ada juga rumah pebalet Nani Lubis, persis di sebelah rumah Nyonya August. Lantas rumah Nyonya Vera Mawengkang, janda mendiang Jenderal Subiakto, dan rumah yang ditempati Adji Jamrul S. Winata, yang masih kerabat Sultan Kutai. Ditaksir, rumah-rumah itu bernilai Rp 6 miliar hingga Rp 14 miliar.
Menurut Heldiansyah, Kepala Seksi Pelayanan Hukum di Pemerintah Daerah Kutai, rumah-rumah itu dulunya milik Sultan Kutai yang dibeli dari pedagang Belanda bernama Everard Cornelis Antonius Bear seharga 150 ribu gulden, tahun 1948. Rumah-rumah itu dijadikan tempat istirahat keluarga Sultan Kutai. Setelah Kutai bergabung ke Republik Indonesia, tahun 1959, aset itu pun menjadi milik Pemerintah Daerah Kutai. Belakangan rumah-rumah itu ditempati oleh orang-orang yang disebut di atas.
Tapi bagaimana mendiang August Marpaung bisa memperoleh sertifikat HGB? Agaknya, kasus rumah di Jalan Cicurug itu cukup menggambarkan kisruhnya administrasi pertanahan, terutama menyangkut rumah peninggalan Belanda di kota-kota besar, termasuk di daerah Menteng, Jakarta.
Hendriko L. Wiremmer, Ahmad Taufik, Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini