Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jika eksekusi dipentung massa

Eksekusi sengketa rumah & sawah di Penyabungan, Tapanuli Selatan, beberapa kali gagal karena dihadang massa. Bermula dari kisah sengketa antara anak-anak almarhum Abdul Hamid N dengan pihak asmah.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR seribu orang penduduk Penyabungan, Tapanuli Selatan, Selasa pekan lalu, berkumpul menyaksikan peristiwa yang jarang terjadi di kampung itu: eksekusi putusan pengadilan. Lepas sembahyang lohor, seorang petugas Pengadilan Negeri Padangsidempuan, Maruhum Harahap, dikawal sekitar 10 petugas Polri, membacakan perintah instansinya untuk mengeksekusi rumah Almarhum Abdul Hamid Nasution, yang kini ditinggali anak-anaknya. Tapi belum selesai Maruhum membacakan surat perintah ketua pengadilan itu, seorang gadis sekitar 20 tahun, Leliana Nasution, salah seorang putri Almarhum, merampas surat itu. Maruhum terkesiap. Tapi Leli dengan tenangnya mengoyak-ngoyak surat itu sehingga jadi serpihan kecil. Menariknya, penduduk yang menonton, rupanya, berada di pihak Leli. Spontan mereka bertepuk tangan dan bersorak memben semangat kepada anak yatim itu. Sebaliknya, Nasrun Batu Bara, salah seorang pihak -ang memohon eksekusi neledak. Ia muncul dengan parang di tangan, dan memburu Leli beserta saudara-saudaranya. Suasana menjadi hingar-bingar. Massa pun kalang kabut menyelamatkan diri. Beberapa polisi, yang nengamankan eksekusi tadi, membuang tembakan ke udara. Nasrun segera diboyong Lurah Haji Bustomi Habuan dari kegalauan itu. Tapi massa rupaya sudah palak, mereka berteriak histeris lalu memburu Nasrun dengan lemparan batu. Hiruk-pikuk itu akhirnya bisa diamankan polisi. Tapi korban sudah berjatuhan: Kening kiri dan pelipis kanan Nasrun terluka memuncratkan darah, sementara Maruhum luka kecil pada lengannya. Di pihak Leli, dua saudara lelakinya dari 10 orang saudaranya - Nisat dan Asat, terpaksa dirawat bersama Nasrun dan Maruhum di RS Penyabungan. Tapi, pihak Leli berhasil mengagalkan eksekusi itu untuk keempat kalinya. . Adalah 2 pintu rumah dan sebidang sawah -an- melatarbelakangi kisah ini. Sedianya ketiga harta Abdul Hamid Nasution itu akan dilelang BRI Padangsidempuan pada September 1972. Sebab, pengusaha bis di Penyambungan itu tak sanggup melunasi kredit ke BRI sebesar Rp 3 juta. Tapi pelelangan itu tidak bisa dilaksanakan. Sebab, seorang adik perempuan dari Kari Nasution, ayah Abdul Hamid (namboru) Hajah Asmah Nasution, mengajukan perlawanan ke pengadilan (verzet). Asmah menganggap sebagian harta sengketa itu adalah warisan dari orangtuanya, yang belum dibagi. Hanya saja perlawanan Asmah itu, Januari 1973, ditolak Pengadilan Negeri Padangsidempuan. Ia banding. Ternyata, di peradilan banding dan kasasi Asmah menang. Amar putusan Mahkamah Agung, Maret 1983, menyebutkan harta sengketa milik Asmah. Tapi pada putusan itu tidak diperintahkan penyerahan harta dari Abdul Hamid kepada Asmah. Sebab itu, permohonan Asmah, melalui Pengacara A.I. Rambe, untuk mengeksekusi harta itu ditolak pengadilan. Asmah terpaksa menggugat Nisat, salah seorang putra Abdul Hamid--Abdul Hamid sendiri meninggal dunia pada 1985. Gugatan itu Agustus 1987 dimenangkan Pengadilan Negeri Padangsidempuan. Begitu pula di peradilan banding dan kasasi. Bahkan pada putusan peradilan banding, disebutkan putusan itu bisa dilaksanakan lebih dahulu, kendati ada perlawanan atau kasasi (uitvoerbaar bij voorraad). Berdasarkan itu, Rambe memohon pelaksanaan eksekusi putusan. Lagi-lagi dikabulkan pengadilan. Tidak disangka, ternyata bukan hanya anak-anak Abdul Hamid yang menantang eksekusi itu tapi juga penduduk. Pada eksekusi pertama dan kedua, 22 dan 29 Desember 1987, misalnya, tak kurang dari 400 penduduk menghadang petwgas pengadilan dengan pentungan di tangan. Mereka menguber petugas hingga terbirit-birit. Kejadian itu berulang pada eksekusi berikutnya, sampai menemui puncaknya pekan lalu. Penduduk Penyabungan nekat membela anak-anak Abdul Hamid, rupanya, tak lepas dari kebaikan Mendiang semasa hidupnya. Konon, Almarhum gemar menolong orang. "Dia dulu kaya, tapi kini anak-anaknya yang sudah yatim, hidup miskin. Semua o rang 'kan tahu, memakan harta anak yatim itu haram hu kumnya," ujar Hasyim Salel Batu Bara, ayah Aktor Cok Simbara, yang tinggal di Panyabungan. Lebih dari itu, Nisat tetap yakin harta sengketa itu milik orangtuanya. "Buktinya waktu mereka verzet dulu kami menang," ujar Nisat. Kekalahan pihaknya di peradilan banding dan kasasi, katanya, karena mendiang ayahnya tak pernah diberi proses itu dipengadilan sehingga tak sempat menangkisnya. "Jika sempat membikin tangkisan, kar yakin bisa menang," ujar Nisat, yang Januari lalu mengajukan kasasi, kendati vonis kasasi sudah turun. Pengacara Asmahi, Rambe, menolak pembicaraan tentang materi perkara itu "Yang relevan kita bicara kan sekarang adalah soal eksekusi yang gagal itu,' ujarnya. Rambe malah me nyalahkan pihak polisi tidal keras sehingga eksekusi itu gagal berkali-kali." Meng apa mereka cuma jadi penonton," ujarnya, jengkel. Wakapolres Tapanuli Selatan, Athif Ali M.D., menyangkal kegagalan eksekusi itu karena pihaknya kurang keras. Ia menganggap eksekusi itu tugas pengadilan, sementara Polri hanya sebagai pengamanan. Tapi, katanya, polisi tak berpangku tangan dalam kasus gagalnya eksekusi itu. "Orang-orang yang menghalangi eksekusi itu kini tengah disidik walau belum ditahan," ujarnya Hanya ia menyayangkan pihak pengadilan tidak melakukan pendekatan kultural sebelum eksekusi dilaksanakan. "Jika pemuka masyarakat diajak musyawarah, saya yakir eksekusi berhasil," ujar Athif. Ketua Pengadilan Negeri Padangsidempuan, I Ketut Sugriwa, menganggap tak perlu melakukan pendekatan kultural itu untuk eksekusi itu. Ia tetap ngotot eksekusi itu harus berjalan. "Terserah mereka untuk memilih dengan sukarela atau kekerasan," ujar Sugriwa. Tapi, Nisat dan 10 saudaranya kelihatannya juga sudah siap. "Lihat saja apa nanti yang terjadi," ujar Nisat, dengan suara bergetar, dan mata berkilat. Agaknya cerita eksekusi ini akan bersambung. Perlukah pasal contempt of court untuk mengatasinya? Bersihar Lubis & Syafruddin Nst.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus