Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat kuburan

Hak penguburan mendiang janda tua, Sadima, di Barus, Tapanuli Tengah, diperebutkan Peterus Marpaung & Barus Sihite Situmorang. Berlatar perebutan warisan. Kini asusnya di PN Sibolga.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SADIMA boru Sihite meninggal dunia pada 10 November 1985. Tapi hak untuk memakamkan jenazah janda tua tanpa turunan itu masih diperebutkan kelompok marga Marpaung dan Situmorang hingga kini. Bahkan pekan-pekan ini perkara unik dengan latar belakang perebutan warisan Mendiang itu menjadi urusan Pengadilan Negeri Sibolga. Pada waktu Sadima, 75 tahun, meninggal, Peterus Marpaung telah mempersiapkan penguburan di Desa Sihorbo, Barus, Tapanuli Tengah. Peti matinya sudah ada, begitu pula plang salibnya. Sebab, Mendiang, menurut Peterus, adalah janda dari abang ayahnya, Raja Pardame Marpaung. Bahkan suami Sadima itu, yang meninggal 1956, dikuburkan di sebelah makam orangtuanya. "Siapa lagi yang harus memakamkannya jika bukan kami?" ujar pensiunan jaksa ini. Tapi ketika itulah muncul Camat Barus, Mangisi Simatupang, yang meminta pemakaman jenazah ditunda, sampai jelas siapa yang berhak memakamkan janda itu. Rupanya, ada orang lam yang merasa berhak, yaitu anak angkat Sadima, Barus Sihite. Barus sudah mengantungi akta hibah wasiat Mendiang, dari Notaris Mastoer Harahap, - tertanggal 19 Februari 1979, yang menyebutkan bahwa Sadima menghibahkan - seluruh hartanya kepada Barus dan Holong Situmorang. Barus pada akta itu disebutkan sebagai anak angkat Sadima sejak berusia 2 tahun, sementara Holong diwajibkan mengurus penguburan Sadima, jika kelak ia meninggal dunia, karena mendiang suaminya bukan bermarga Marpaung, tapi Situmorang. Berdasarkan akta itu, akhirnya Camat Simatupang memutuskan, marga Situmoranglah yang berhak menyelenggarakan penguburan. Walaupun Peterus protes, penguburan dilakukan marga Situmorang. Peterus rupanya tak puas. Bersama dua orang saudaranya, 1980, ia menggugat Barus Sihite dan Holong Situmorang ke Pengadilan Negeri Sibolga. Kedua tergugat dituduhnya menyerobot harta peninggalan bapak mereka, Raja Pardame Marpaung, berupa rumah, sawah, kebun cengkeh, kelapa, dan karet. Tapi ketika perkara tengah berlangsung, Desember lalu, tak diduga, Holong berbalik. Ia membuat pernyataan, menolak akta hibah wasiat itu. "Setahu saya, Peterus dan saudaranyalah yang berhak mewarisi harta Raja Pardame," ujarnya. Ia, katanya, sadar betul Raja Pardame bermarga Marpaung, bukan Situmorang. Tapi perkara belum selesai. Sebab, Barus Sihite tetap bertahan bahwa ia berhak atas warisan itu. Pada 1969, kata Barus, sebenarnya Peterus pernah menggugat Sadima karena menjual sebagian harta peninggalan suaminya. Padahal, ketika Raja Pardame meninggal, disepakati bahwa Sadima hanya boleh mengurus dan menikmati harta peninggalan suaminya itu. Sebab, berdasarkan hukum adat Batak, jika seorang pria tak punya keturunan, maka ahli warisnya jatuh ke keluarga terdekat yaitu saudara kandung, baik secara horisontal maupun vertikal. Gugatan itu ternyata ditolak oleh Hakim. Sebab, Peterus, tak bisa membuktikan Raja Pardame bermarga Marpaung. Sebaliknya, Sadima, istri ketiga Pardame, dengan terinci membeberkan mendiang suaminya justru bermarga Situmorang. Menariknya, Pengadilan Tinggi berpendapat, Raja Pardame bermarga Marpaung, berdasarkan kesaksian istri pertama Mendiang, Salome boru Galingging. Hanya saja di sidang terbukti semua harta itu hasil Jerih payah Sadima bersama suaminya. Sementara itu, menurut yurisprudensi Indonesia, seorang janda adalah pewaris harta peninggalan suaminya. Karena itu, Hakim memutuskan, Sadima berhak atas harta peninggalan suaminya. "Berdasarkan putusan itu, akta hibah wasiat itu dikeluarkan?" kata Barus Sihite. Pengacara Peterus, Basyrah Hakim, pekan lalu merasa penasaran, karena dalam tiga kali sidang ia belum melihat akta asli hibah wasiat itu. Selama sidang, katanya, Barus hanya memperlihatkan fotokopinya saja. "Mana tahu di akta itu Sadima mengakui suaminya bermarga Marpaung," katanya. Artinya, bukan hanya hartanya yang bisa digugat, tapi juga hak penguburannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus