Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kesaksian bekas dubes

Wawancara TEMPO dengan Marshall Green, Dubes AS di Indonesia tahun 1965, tentang pengalamannya pada saat G30S/PKI meletus, CIA dituduh terlibat, jumlah korban yang jatuh, dst.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari dua puluh tahun lalu, ketika baru saja mendarat di Jakarta, ia disambut sejumlah poster di sepanjang jalan. Antara lain berbunyi: "Green go home". Marshall Green, bekas duta besar AS untuk Indonesia (1965-1968) itu, pekan ini muncul lagi di Jakarta. Kali ini pensiunan pegawai Deplu AS - dalam kunjungan singkatnya yang cuma dua hari - akan berbicara di Deplu dan Lemhanas. Selain itu, tokoh yang aktif dalam organisasi kependudukan dunia ini juga akan makan siang bersama Kepala BKKBN Dr. Haryono Suyono. Kepada TEMPO dan Foreign Service Jornal ia bercerita tentang pengalamannya pada saat-saat G-30-S meletus. Berikut ini adalah petikannya: Anda tiba di Indonesia April 1965. Apa kesan Anda ketika itu? Pada 1965 Indonesia berada di bawah kekuasaan Presiden Soekarno, yang sangat mengandalkan dukungan PKI, partai paling dominan saat itu. Soekarno tak mempedulikan krisis ekonomi yang mengancam negaranya. Ia sedang berperang dengan Malaysia dan dalam proses menasionalisasikan perusahaan asing, termasuk Caltex serta Goodyear. Hubungan RI-AS saat itu buruk, dan mengarah ke lebih buruk lagi. Kami sedang mengurangi kehadiran serta bantuan kami di Indonesia. Kendati demikian, kami berupaya menjaga hubungan dengan Soekarno, karena dia satu-satunya kekuatan yang efektif di Indonesia. Tetapi pada 1964 sikap pemerintah AS terbelah dua, antara mendukung dan melawan Soekarno. Duta besar AS saat itu adalah Howard Jones, orang yang lembut, yang berusaha mencari segi terbaik setiap orang. Beliau mempunyai hubungan yang akrab dengan Soekarno. Sebab, kendati ia mengetahui keburukan Soekarno dan bahayanya tokoh ini bagi AS, ia percaya betul bahwa kami sebaiknya tetap menjaga hubungan. Yakni tetap meneruskan program bantuan dan hubungan baik hingga ada perubahan sikap. Soekarno menyayangkan kepulangan Jones. Ia melihat saya sebagai orang muda yang lugas, dan karenanya memutuskan untuk membuat kehidupan saya tak nyaman. Kedatangan saya disambut oleh poster-poster di seluruh jalan, yang berbunyi "Green go home". Tetapi di bawah sebuah poster ada juga yang menulis dengan lipstik ". . . and take me quith you". Itulah sebabnya saya tetap teguh. Apalagi saya percaya pada rakyat Indonesia, terutama para pelajar/mahasiswa, yang belakangan memegang peran besar dalam menjatuhkan Soekarno. Bahkan pada suatu demonstrasi di kedutaan AS beberapa waktu kemudian, seorang pemimpin mahasiswa membisikkan pada saya bahwa mereka harus berdemonstrasi di situ agar dapat izin berdemonstrasi di kedutaan Cina. Kami tertawa bersama, dan saya pesan pada mereka agar jangan terlalu ganas di kedutaan Cina. Gestapu berlangsung tak lama setelah Anda tiba. Apa yang terjadi? Yang paling penting untuk dipahami adalah pada saat itu Soekarno sedang mencanangkan pemerintahan Nasakom, yaitu pemaduan antara nasionalisme, agama, dan komunisme. Soekarno sangat didukung partai komunis, dan musuh utamanya adalah angkatan darat. Itu bukan berarti angkatan darat tak mematuhi perintahnya: mereka patuh. Tapi kebanyakan perwira militer bersikap antikomunis. Pada saat itu kesehatan Soekarno menurun pesat. PKI merasa khawatir, kalau Soekarno meninggal, angkatan darat akan menghancurkannya. Karena itu, PKI, mungkin setahu Soekarno, mengembuskan tuduhan bihwa angkatan darat berniat menghantam mereka. Ini jelas merupakan pembenaran PKI untuk melakukan percobaan kudeta. Dan itu mereka lakukan pada 30 September atau - sebenarnya - pada dinihari 1 Oktober. Mereka berhasil membunuh lima jenderal penting, namun gagal menculik Menteri Pertahanan Nasution dan Jenderal Soeharto. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, Soekarno berniat mendirikan pemerintahan Nasakom begitu kudeta ini berhasil. CIA dituduh terlibat dan pemerintah AS dianggap berdiri di belakang Jenderal Soeharto serta angkatan darat. Apa komentar Anda? Tak ada sedikit pun peran CIA atau kedutaan dalam kudeta ini. Hal pertama yang saya tekankan pada Washington ketika terjadi peristiwa ini adalah agar tak mengaku punya peran atau mengetahui sebelumnya rencana kudeta. Washington memperhatikan saran saya. Itu adalah saatnya berdiam. Namun, dengan berdiam itu menyebabkan media tak memperhatikan peristiwa ini seperti seharusnya. Jadi, apa yang Anda ketahui ketika kudeta terjadi? Kami bingung seperti semua orang. Pada malam terjadinya kudeta itu saya sedang menonton wayang bersama rekan saya dar Selandia Baru. Ketika pulang, sekitar puku satu pagi, saya tak melihat atau mendenga hal yang luar biasa di jalan. Rupanya, penyerangan berlangsung pukul dua atau tiga pagi. Ketika saya datang ke kantor pukul delapan pagi, saya melihat banyak tentara berjaga-jaga di jalan. Ternyata, atase militer saya pun tak dapat mengenal kesatuan tentara-tentara itu. Lantas isu mulai beredar. Apakah telah terjadi kudeta atau apa? Kami bingung seperti masyarakat lainnya. Dikabarkan, ratusan ribu korban jatuh ketika itu. Bagaimana pendapat Anda? Mungkin, jumlah korban yang jatuh jauh lebih sedikit daripada yang kami laporkan. Pada November 1965 kami mulai menerima laporan terjadinya pembunuhan-pembunuhan masal. Tapi laporan itu tak jelas, karena tak ada foto, dan kebanyakan cuma dengar-dengar. Tak satu pun di kedutaan kami yang melihat sendiri mayat-mayat korban atau bertemu dengan orang yang melihat sendiri pembunuhan itu. Dan ketika saya dipanggil ke Washington pada Februari 1966, saya tahu bahwa jumlah korban akan ditanyakan. Namun, kami tak tahu persis. Karena itu, saya menanyakannya pada semua anggota tim kami, untuk mencoba memperkirakannya, lantas saya mengambll rata-rata dari perkiraan itu. Maka, ketika di Washington saya ditanya berapa jumlah korban tewas, saya menjawab, "Saya tak tahu, tapi jika saya harus membuat perkiraan kasar berdasarkan cerita burung, jumlahnya mungkin sekitar 300 ribu." Jawaban saya ternyata bocor ke luar, dan itulah yang menjadi angka yang diterima banyak pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus