PERLAWANAN hukum para tersangka kasus Bank Bali memang gencar. Kamis pekan lalu, salah seorang tersangka kasus Bank Bali, Joko S. Tjandra, mempraperadilankan Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Melalui pengacara O.C. Kaligis, Joko menganggap institusi hukum itu telah sewenang-wenang menahan dirinya.
Sebagaimana banyak diberitakan, Joko bersama mantan Direktur Utama Bank Bali, Rudy Ramli, Direktur Utama PT Era Giat Prima (EGP) Setya Novanto, dan mantan Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pande Lubis dituduh membobol Bank Bali melalui perjanjian cessie (pengalihan hak menagih piutang) antara Bank Bali dan PT EGP. Dengan modus itu, ia berhasil menagih piutang Bank Bali sebesar Rp 904 miliar dari Bank Dagang Nasional Indonesia.
Untuk itu, Joko, selaku Direktur PT EGP merangkap bos kelompok bisnis Mulia, memperoleh imbalan yang tak tanggung-tanggung, yakni Rp 546 miliar. Uang imbalan itulah yang kemudian dibagi-bagikan kepada segenap pejabat, politisi, dan pengusaha, seperti diungkapkan dalam laporan panjang hasil audit PricewaterhouseCoopers.
Sewaktu kasus itu diusut kepolisian, Joko sempat ditahan—sejak 29 September 1999. Penahanan itu kemudian diteruskan oleh Kejaksaan Agung. Namun, terhitung sejak 28 Desember 1999, kejaksaan mengubah jenis penahanan Joko menjadi penahanan kota. Dengan demikian, pengusaha ini tak perlu lagi mendekam di sel tahanan jaksa. Rencananya, status tahanan kota itu akan berlanjut sampai 26 Januari 2000.
Ternyata, pada Jumat, 14 Januari 2000, menurut Kejaksaan Agung, Joko diketahui berada di Bogor. Padahal, selaku tahanan kota, ia tak boleh keluar dari Jakarta tanpa seizin kejaksaan. Maka, sore itu juga, petugas kejaksaan memanggil Joko, dengan alasan hendak diperiksa sebagai saksi dalam perkara Pande Lubis. Tak disangka, seusai pemeriksaan, Joko dimasukkan ke sel tahanan Kejaksaan Agung. Selain itu, jenis penahanan Joko diubah dari penahanan kota menjadi penahanan dalam rumah tahanan negara.
Rupanya, tindakan tersebut tak bisa diterima oleh pengacara Joko. Seharusnya, kata Y.B. Purwaning M. Yanuar dari kantor pengacara O.C. Kaligis, perubahan jenis penahanan Joko harus disetujui dulu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sebab, jenis penahanan kota yang sebelumnya dikenakan terhadap Joko juga melalui penetapan pengadilan.
Selain itu, menurut Purwaning, Joko sama sekali tak berniat melarikan diri. Seminggu dua kali, setiap Senin dan Kamis, Joko selalu melakukan "wajib lapor" ke Kejaksaan Agung. Dan pada 14 Januari 2000 itu, ujarnya, Joko berada di Jakarta, bukan di Bogor. Waktu itu, Joko baru selesai menjalani operasi gigi di Plaza Senayan.
Setelah petugas Kejaksaan Agung menghubunginya berkali-kali melalui telepon genggam, Joko langsung ke Kejaksaan Agung. "Meski pemanggilannya melalui telepon genggam—bukan lewat surat yang seharusnya disampaikan tiga hari sebelumnya—Joko tetap memenuhi panggilan itu," ujar Purwaning. Ternyata, panggilan itu berbuntut petaka bagi Joko.
Namun, kuasa hukum Kejaksaan Agung dalam persidangan praperadilan itu, Tarwo Hadi Sadjuri, berpendapat bahwa pengalihan jenis penahanan Joko sudah berdasarkan hukum dan sesuai dengan prosedur. "Joko berstatus tahanan jaksa penyidik. Jadi, pengalihan jenis penahanannya tak perlu meminta izin dari pengadilan," kata Tarwo.
Ia juga menandaskan bahwa masalah pengalihan jenis penahanan tidak termasuk materi praperadilan. Yang bisa diuji lewat praperadilan, katanya, hanyalah soal sah-tidaknya penahanan.
Boleh jadi ganjalan berupa gugatan praperadilan Joko bisa melampaui Kejaksaan Agung. Dengan kata lain, pada Kamis pekan ini, pengadilan akan berpihak pada kejaksaan. Namun, tuntutan yang lebih serius dari masyarakat, yakni penuntasan kasus Bank Bali, tetap menjadi tugas berat bagi Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Happy S., Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini