TUNTUTAN ganti rugi US$ 270 juta yang ditujukan Robby Tjahjadi kepada Bambang Trihatmodjo sekaligus menjawab rasa penasaran banyak orang tentang carut-marut bisnis putra mantan presiden Soeharto itu. Dalam upaya menyukseskan gugatannya, Robby Tjahjadi, yang dulu adalah mitra bisnis Bambang Tri, justru membeberkan muslihat bisnis konglomerat Cendana itu sewaktu mengambil alih perusahaan tekstil Kanindotex milik Robby. Puncaknya Senin pekan ini, ketika Robby menggugat Bambang Tri dan si jago akuisisi Johannes B. Kotjo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pada mulanya adalah "kelalaian" Bambang Tri dan Kotjo yang tak kunjung memenuhi kewajiban ketika mengakuisisi Kanindotex. Akibatnya, Robby melalui pengacara Adnan Buyung Nasution menuntut ganti rugi US$ 270 juta lebih dari tergugat. Sebelumnya, pengadilan menyita pabrik Kanindotex di Bawen, Semarang, juga berbagai saham perusahaan itu dan rumah Kotjo di Jakarta Selatan. Aksi itu kemudian diiklankan oleh Adnan Buyung lewat empat koran Ibu Kota, pekan lalu.
Tampaknya, perang antarkroni lama itu di meja hijau akan seru. Mungkin pula hal itu akan menjadi semacam antiklimaks dari debut bisnis mereka, yang semasa Orde Baru telah melesat tinggi. Pada 1995, masyarakat sulit melupakan manuver spektakuler yang dilakukan Kotjo ketika mengakuisisi Kanindotex. Hanya dalam tempo dua tahun, Bambang Tri dan Kotjo berhasil mendirikan imperium baru di bisnis tekstil setelah lebih dulu membuat Kanindotex tampak gemerlap padahal sebelumnya nyaris sekarat.
Kanindotex merupakan kelompok bisnis tekstil berkapasitas 450 ribu mata pintal, yang terdiri dari tiga perusahaan, yaitu PT Kanindo Success Textile, PT Kanindo Prima Perkasa, dan PT Kanindo Mulia Utama. Ketiga perusahaan ini awalnya dibangun oleh Robby Tjahjadi pada 1989, seusai menjalani hukuman penjara dua setengah tahun—gara-gara divonis tujuh setengah tahun pada kasus penyelundupan mobil mewah (1975).
Pada tahun-tahun pertumbuhannya, Kanindotex mengalami kesulitan yang serius. Meski asetnya senilai Rp 1,1 triliun, utangnya mencapai Rp 936 miliar dan kredit macetnya sekitar Rp 800 miliar. Prospeknya jelas payah, toh pada 1994 Kotjo melihat peluang untuk menyelamatkan Kanindotex. Bekas chief executive officer kelompok bisnis Liem Sioe Liong ini—yang kemudian memiliki holding company Zeta Corporation—segera memainkan jurus-jurus ampuhnya. Kendati proses negosiasi untuk mengakuisisi Kanindotex belum lagi final, Kotjo berani menyuntikkan dana segar Rp 825 juta sehari. Katanya, supaya Kanindotex tak berhenti beroperasi. Namun, setelah dana terkucur sampai Rp 20 miliar, Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad justru menunjuk Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) sebagai pengelola Kanindotex.
Apakah Kotjo menyerah? Ternyata tidak. Terlebih lagi karena kepemilikan Kanindotex tetap berada di tangan Robby. Itu berarti tetap ada peluang untuk mengambil alih. Dalam kaitan dengan itu, Kotjo membentuk konsorsium empat orang, yang terdiri dari Kotjo, Bambang Trihatmodjo, Bambang Riyadi Soegama, dan Wisnu Suhardono. Benar saja. Konsorsium yang diketuai Bambang Tri itu, dan sangat dekat dengan kekuasaan masa itu, akhirnya berhasil mengambil alih saham Robby di Kanindotex.
Mereka pun merestrukturisasi utang Kanindotex, antara lain di Bank Bumi Daya (BBD) dan Bapindo—kedua bank ini sekarang merger ke dalam Bank Mandiri. Sembari merampungkan akuisisi Kanindotex, mereka pun memburu saham PT Mayatexdian Industry, yang juga perusahaan tekstil milik Robby. Mayatexdian kemudian melakukan rights issue II dan berhasil meraih dana Rp 484,5 miliar. Dana murah inilah yang digunakan Bambang Tri dan Kotjo untuk mengakuisisi Kanindotex.
Agar skenario akuisisi berjalan mulus, konsorsium itu tak lupa memoles berbagai nama perusahaan yang berkaitan dengan manuvernya, PT Apac Century Corporation (Apac), yang kemudian memiliki 96,34 persen saham Kanindotex, dibentuk. Nama Kanindotex pun diubah menjadi PT Apac Inti Corpora (AIC).
Sementara itu, Mayatexdian diganti menjadi PT Apac Centertex Corporation (ACC). Perusahaan ACC inilah yang selanjutnya menjadi raksasa tekstil, dengan aset Rp 1,74 triliun. Ini penggelembungan luar biasa, mengingat pada Desember 1995 perusahaan ini baru memiliki aktiva Rp 141,44 miliar. Berarti hanya dalam setahun, aset perusahaan itu menggelembung sepuluh kali lipat.
Namun, kisah sukses the gang of four itu kini dituding sebagai rentetan konspirasi akal bulus untuk mengambil alih Kanindotex dengan gampang, murah, dan cepat. "Dengan menggunakan modus seruwet mungkin, mereka melumpuhkan Kanindotex, dan pendiri asalnya (Robby Tjahjadi) dibuat tak bisa apa-apa," kata Maqdir Ismail dari kantor pengacara Adnan Buyung Nasution.
Sebagai contoh, suburnya sosok PT ACC, yang bahkan telah mengambil alih 94 persen saham PT AIC (nama baru Kanindotex). Sisa saham PT AIC kini dimiliki oleh 480 koperasi. Padahal, perusahaan yang semula direncanakan akan mengoperasikan Kanindotex adalah PT Apac, bukan ACC.
Sesuai dengan perjanjian akuisisi pada 25 Januari 1995, Robby diberi 30 persen saham di Apac dan boleh menunjuk orang-orangnya untuk mengawasi perusahaan tersebut. Namun, hak Robby untuk menempatkan orang-orangnya itu, menurut Maqdir, ditutup oleh para tergugat.
Konsorsium juga mendirikan PT AIC, 1 Juli 1995, tanpa setahu Robby. Bahkan saham para tergugat di AIC dialirkan pula ke ACC. Hebatnya, segala aset Kanindotex diambil alih oleh AIC. Padahal, perjanji-annya menyangkut pengalihan saham, bukan pengambilalihan aset. "Dengan diambilnya aset Kanindotex, praktis 30 persen saham Robby di PT Apac menjadi tak berharga, cuma tinggal kertas," kata Maqdir.
Robby merasa lebih geram karena konsorsium tak kunjung membayar mesin-mesin senilai US$ 70 juta yang diimpornya dari Taiwan. Kecuali itu, mereka juga tak menyediakan dana Rp 539 miliar untuk Kanindotex. Rencana merestrukturisasi utang Kanindotex pun tinggal janji belaka. Walhasil, Kanindotex menanggung utang sampai Rp 4,75 triliun kepada BBD dan Bapindo, yang kini dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Berdasarkan itu, Robby menuntut para tergugat membayar uang pembelian mesin senilai US$ 70 juta dan dana Rp 539 miliar yang dijanjikan. Robby juga menuntut ganti rugi dan denda US$ 200 juta, plus bunga 6 persen per tahun dari kewajiban utang itu.
Menanggapi gugatan Robby, pengacara Kotjo, T. Mulya Lubis, dan pengacara Bambang Tri, Juan Felix Tampubolon, berpendapat bahwa gugatan itu kurang berdasarkan hukum. Menurut Juan Felix, justru Robby yang banyak melanggar perjanjian akuisisi itu. Apa saja pelanggarannya, Juan Felix mengaku hanya akan mengutarakannya di persidangan gugatan tersebut.
Sementara itu, Direktur Utama PT AIC, Benny Sutrisno, menganggap tuntutan Robby berlebihan. Apalagi bila pengadilan sampai mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pabrik AIC. "PT AIC tak ada hubungannya dengan Robby ataupun Bambang Tri. Perjanjian akuisisi antara Robby dan Bambang Tri itu menyangkut PT Apac, bukan PT AIC," kata Benny Sutrisno.
Benny juga membantah tuduhan bahwa AIC tak melunasi utang Kanindotex kepada bank kreditur. Sampai kini, tambahnya, AIC sudah membayar utang Rp 175 miliar kepada bank kreditur. Begitu pula kewajiban menyediakan dana Rp 539 miliar, menurut Benny, sudah diselesaikan bersamaan dengan restrukturisasi utang Kanindotex.
Tudingan AIC tak membayar harga mesin senilai US$ 70 juta juga ditepis Benny. "Itu semua mesin bekas yang sudah dijaminkan kepada kreditur. Jadi, untuk apa harus membayar kepada Robby?" ujarnya. Pengambilalihan aset Kanindotex pun sudah sesuai dengan perjanjian kedua pihak, yang disetujui Menteri Keuangan.
Benny sebaliknya malah menuduh Robby, yang telah menyulitkan bisnis AIC dalam mengakuisisi Kanindotex. Itu karena Robby ternyata telah membengkakkan aset Kanindo, yang sebenarnya cuma sekitar Rp 400 miliar, sementara utangnya plus denda mencapai Rp 1,1 triliun.
Selain itu, Robby juga diduga telah mengemplang utang pajak Kanindotex sebesar Rp 70 miliar sejak 1991. "Itu, kan, perbuatan kriminal. Tapi utang itu sudah dilunasi PT AIC," ucap Benny.
Belum pasti, memang, Robby ataukah Bambang Tri-Kotjo yang benar. Yang jelas, Kanindotex kini termasuk harta yang dikuasai BPPN. Kalaupun kedua kubu berperkara itu tetap menuntut hak mereka, tentunya mereka pun mesti memperhitungkan kewajibannya kepada BPPN.
Hp. S., Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini