Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kandasnya gugatan seribu rupiah

Melalui kuasa hukumnya menkeh ismail saleh menang atas gugatan buyung nasution. pn jak-sel menolak gugatan karena skors yang dijatuhkan wewenang menkeh. buyung divonis membayar biaya perkara rp 47.500.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUGATAN Pengacara Adnan Buyung Nasution terhadap Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, seperti diduga, kandas di meja hakim. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, menilai tindakan Menteri menskors Buyung dari praktek pengacara selama setahun itu sesuai dengan kewenangan Menteri sebagai pengawas advokat seperti disebutkan Undang-Undang Peradilan Umum. Kendati undang-undang itu lahir pada 8 Maret 1986, atau dua bulan setelah Buyung menginterupsi majelis hakim dalam perkara H.R. Dharsono -- yang belakangan dianggap contempt of court -- toh majelis menganggap undang-undang itu bisa berlaku surut. Dan karena itu pula bisa dipakai Menteri untuk menindak Buyung. Sebab, ketentuan undang-undang tak bisa berlaku surut, atau dikenal dengan asas post factum, menurut hakim, hanya berlaku untuk hukum pidana, demi kepastian hukum bagi tersangka. Sementara itu, tindakan Menteri terhadap Buyung, kata hakim, termasuk hukum administrasi, sehingga asas tadi bisa dikesampingkan. Berdasarkan itu, majelis hakim yang diketuai Sakir Ardiwinata menolak gugatan Buyung, yang meminta pengadilan agar menyatakan putusan Menteri menskorsnya sebagai tidak sah. Selain itu, Buyung juga menuntut Menteri membayar ganti rugi Rp 1.000 dan merehabilitasikan nama baiknya. Ternyata, selain menolak semua gugatan itu, majelis hakim malah menghukum Buyung untuk membayar biaya perkara Rp 47.500. Menteri Kehakiman menskors Buyung 11 Mei 1987, gara-gara insiden di peradilan Dharsono tadi. Selama masa skors itu Buyung dilarang memberikan nasihat, bantuan, ataupun jasa hukum di semua pengadilan. Tapi Buyung, yang waktu itu sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Utrecht, Belanda, menolak keputusan itu. Ia menganggap putusan itu sebagai kesewenang-wenangan Menteri Kehakiman. "Itu keputusan nekat, bisa merendahkan martabat negara kita di dunia internasional," katanya. Selain itu, Buyung menganggap skors itu tak berdasar hukum. Sebab, Undang-Undang Mahkamah Agung, yang berlaku mulai 30 Desember 1985, menyatakan wewenang pengawasan terhadap advokat, yang sedang bertugas, ada pada Mahkamah Agung. Sementara itu, Undang-Undang Peradilan Umum dilahirkan setelah insiden persidangan Dharsono terjadi. Itu sebabnya, April lalu, hanya sebulan sebelum masa skorsingnya habis, Buyung menggugat Menkeh melalui kuasa hukumnya di Indonesia, Yap Thiam Hien, Abdul Hakim G. Nusantara, serta Luhut M.P. Pangaribuan. Buyung menganggap tindakan Menterl itu sebagai perbuatan melawan hukum dan karena itu ia meminta pengadilan menyatakan tidak sah. Menteri Kehakiman rupanya menganggap gugatan itu "serius". Sebab itu, Menteri menurunkan dua pengacara senior, Prof. Oemar Senoadji dan Prof. Sudargo Gautama, untuk melayani Buyung. Dalam tangkisannya, kedua ahli hukum itu membantah tindakan Ismail Saleh sebagai suatu perbuatan melawan hukum baik dari segi hukum perdata maupun menurut hukum tata usaha negara. "Keputusan itu masih dalam lingkungan kewenangan Menteri Kehakiman mengawasi penasihat hukum," kata guru besar itu. Wewenang Menteri Kehakiman itu, menurut mereka, berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Peradilan Umum. Dan kedua peraturan tersebut kata mereka, identik dengan peraturan pengawasan advokat dalam Rechtelijke Organisatie, yang berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848. Selain itu kata mereka, kasus Buyung itu bukan tergolong perdata ataupun pidana, melainkan administratif, yang harus diperiksa secara tertutup (raadkamer). Majelis hakim sependapat dengan dalih kedua ahli hukum kawakan itu. Gugatan Buyung ditolak. Majelis menilai, selain berdasar hukum, keputusan Menteri itu sudah melalui prosedur yang baik. Sebab, putusan itu diambil Menteri berdasarkan laporan dan pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta, bahkan pendapat Mahkamah Agung, dan saran organisasi advokat Ikadin. Atas putusan itu pengacara Buyung, Luhut M.P. Pangaribuan, langsung menyatakan naik banding. Buyung, yang sudah menyelesaikan setengah bagian dari disertasinya tentang Sejarah Konstitusi Indonesia, tertawa mendengar vonis hakim yang menyatakan Undang-Undang Peradilan Umum bisa berlaku surut. "Seperti zaman abad XVII di Prancis saja, orang bisa ditangkap dan digantung, baru kemudian diadakan undang-undangnya," ujar Buyung. Hp. S., Bunga S., dan Muchsin Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus