Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampanye Keluarga Berencana 1970-an ternyata punya kesan khusus bagi Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry Riyana Hardjapamekas. Keberhasilan strategi kampanye keluarga kecil bahagia itu akan diterapkan Komisi untuk mempercepat pemberantasan korupsi. ”Kampanyenya ada nuansa indoktrinasi. Kami akan mengacu seperti itu,” kata Erry kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut Erry, ingin gaung kampanye pemberantasan korupsi melekat di benak setiap orang. Selama ini ia kecewa dengan kurangnya perhatian masyarakat terhadap kerja pemberantasan korupsi, terutama berkaitan dengan pendidikan antikorupsi dan pencegahan.
Kekecewaan itu memuncak ketika banyak pejabat tidak peduli terhadap kebijakan pemberantasan korupsi. Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah Hehamahua, menyebutkan, baru 12 persen dari semua pejabat yang telah membaca Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Padahal, instruksi presiden berfungsi sebagai pedoman dalam pemberantasan korupsi. ”Bagaimana mereka mau melaksanakan pemberantasan korupsi kalau instruksi presiden yang jadi guideline tidak dibaca,” ujarnya.
Keprihatinan ini bertambah dengan banyaknya pejabat yang belum melaporkan kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Persentasenya mencapai 49 persen dari semua pejabat negara. Bahkan ada pejabat eselon satu belum menyerahkan laporan kekayaannya. Dengan mencontoh pada strategi kampanye Keluarga Berencana, Erry berharap ego sektoral dan lemahnya kesadaran masyarakat dapat dikikis.
Sementara ini, hambatan kelembagaan masih jadi beban bagi Komisi. Dalam kasus pemeriksaan rekening bank, misalnya, Komisi sampai sekarang belum diizinkan memeriksa rekening seseorang sebelum statusnya jadi tersangka. Padahal, kata Erry, bank itu tahu maksud pemeriksaan.
Penyidik, kata Erry, harus yakin betul tersangka ini akan diputus bersalah oleh pengadilan sehingga bukti-buktinya harus kuat. Apalagi, Komisi tidak dibenarkan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Beban Komisi semakin berat karena menghadapi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengharuskan penyidik dari kepolisian dan penuntut dari kejaksaan, sementara jumlahnya terbatas dan ada kekhawatiran terjadi konflik kepentingan. Maka, Komisi pun harus melatih 38 calon penyidik dan penuntut di Akademi Kepolisian, Semarang, meski undang-undang itu belum pasti diamendemen. Pelatihan dimulai pertengahan Desember 2005.
Ke-38 orang itu memang bukan polisi atau jaksa aktif. Mereka sarjana dari berbagai disiplin ilmu dengan indeks prestasi akademik 3,5, kemampuan bahasa Inggris yang baik (TOEFL 500), dan dengan keahlian tertentu. ”Mereka memang kami persiapkan untuk dua tahun lagi,” kata Erry.
Namun, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Teten Masduki, menilai Komisi Pemberantasan Korupsi justru belum maksimal bekerja. Antara lain, Teten mempertanyakan alasan Komisi tidak melakukan koordinasi dan pengambilalihan kasus korupsi yang macet di kejaksaan dan kepolisian. Padahal, sekitar 20 kasus korupsi berstatus SP3 di Kejaksaan Agung dan tidak jelas tindak lanjutnya.
Begitu pula tentang skala prioritas penanganan kasus yang tidak jelas. ”Lebih pada apa yang mudah dan cukup bukti untuk diproses,” ujar Teten. Akibatnya, kasus-kasus yang ditangani tidak menciptakan efek pendorong besar yang membuat orang jera korupsi.
Ironisnya lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak paham kondisi counterpart alias mitra imbangannya, yakni kejaksaan. Berbeda dengan kepolisian. ”Komisi sampai sekarang tidak tahu ukuran standar kinerja kejaksaan menangani perkara,” ujar Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja ICW. ”Kenapa satu kasus macet, juga tidak ada diskusi antara Komisi dengan kejaksaan, misalnya.”
Ketua Bali Corruption Watch, Putu Wirata Dwikora, juga bingung atas kerja Komisi. Dia sudah tiga kali melaporkan kasus korupsi anggaran pendapatan dan belanja daerah Bali periode 1999-2004, namun Komisi malah menyarankan kasus itu dikembalikan ke kejaksaan. ”Padahal, kami ke Komisi karena sudah kehilangan kepercayaan terhadap kejaksaan,” ujarnya.
Erry membantah ketiadaan skala prioritas penanganan kasus. Komisi, katanya, merujuk kepada Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 30 Tahun 2002. Hanya saja untuk pengambilalihan kasus yang macet di kepolisian atau kejaksaan, Erry mengakui memang ada rasa sungkan secara kelembagaan.
Menurut Abdullah, dalam rapat kerja internal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, pertengahan Desember 2005, Komisi sudah sepakat untuk mengambil alih penanganan satu atau dua kasus. Hanya saja dia enggan menyebut kasus-kasus itu karena masih dipelajari.
Ketua Forum 2004, Romli Atmasasmita, juga memaparkan sejumlah kelemahan Komisi. Menurut Romli, Komisi sudah 80 persen menjalankan tugasnya. Hanya saja, dia menduga tekanan dari luar terhadap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi cukup kuat—tak ubahnya situasi di kejaksaan saat ini. Indikatornya, kata Romli, pada kasus technical assistance contract yang sempat menyeret bekas Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita. ”Bukti-buktinya kuat,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran ini.
Menurut Erry, Komisi sebenarnya ingin bekerja maksimal. Hanya saja perangkat aturan main harus dilengkapi. Itu sebabnya, Komisi meminta Presiden mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang tentang percepatan pemberantasan tindak pidana korupsi. Juga, agar Presiden segera membuat Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Pembuktian Terbalik. Selain itu, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana perlu segera diamendemen.
”Jika ada yang mau kasih kado ulang tahun kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, ya, itu saja diberi,” ujar Abdullah seraya tersenyum.
Maria Hasugian/Rofiqi Hasan (Denpasar, Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo