Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Surat Terakhir untuk Bagir

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menolak memenuhi panggilan Komisi Yudisial. Perlu dibuat prosedur pemanggilan hakim agung.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT berkop “Komisi Yudisial” itu sudah melayang ke meja Ketua Mahkamah Agung RI sejak Kamis dua pekan silam. Itulah surat kedua yang dikirim Komisi Yudisial ke Bagir Manan. “Ini yang terakhir. Kalau Bagir Manan tidak menanggapi, kami akan melapor ke DPR dan presiden,” kata Irawady Joenoes, Koordinator Bidang Pengawasan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim Komisi Yudisial.

Dalam surat yang terdiri atas dua halaman itu, Komisi meminta Bagir “menghadap” Irawady pada Kamis pekan depan. Sebelumnya, Komisi telah meminta Ketua MA datang pada 22 Desember lalu untuk dimintai keterangan seputar kasus Probosutedjo dan ditangkapnya sejumlah pegawai MA oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Oktober silam. Namun, Bagir menampik panggilan pertama itu.

Pada September silam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap lima karyawan Mahkamah Agung dan pengacara Probo, Harini Wiyoso, berikut barang bukti uang sekitar Rp 5 miliar milik Probosutedjo. Uang itu, menurut pengakuan Pono Waluyo, salah seorang karyawan yang ditangkap, akan diberikan ke Bagir Manan. Tujuannya agar majelis hakim kasasi yang dipimpin Bagir membebaskan Probo.

Kasus Probo memang menarik. Pada 29 Desember 2003, Pengadilan Tinggi Jakarta memvonis Probo dua tahun penjara. Vonis lebih ringan dua tahun dari putusan pengadilan negeri ternyata tak memuaskan pengusaha ini. Probo berkukuh ia tak mengkorupsi dana reboisasi senilai Rp 100 miliar seperti yang dituduhkan jaksa. Maka, kasus ini pun melompat ke Mahkamah Agung. Probo mengajukan kasasi.

Di sinilah mafia peradilan itu terjadi. Kepada penyidik KPK, Harini, pengacara Probo, “bernyanyi”. Ia, misalnya, mengaku pernah menemui Bagir Manan di ruang kerjanya. Sementara itu, Pono mengaku pernah mendengar Harini menyatakan telah “membereskan” dua anggota majelis hakim kasus Probo lainnya, Paman Suparman dan Usman Karim.

Bagir Manan sendiri membantah dirinya terlibat kasus ini. Ia juga membantah pernah menerima Harini pada hari dan tanggal yang disebutkan wanita itu. “Dia mengatakan bertemu saya pada 10 September. Lha, 10 September itu hari Sabtu, kantor kami tutup,” kata Bagir dalam wawancara khusus dengan majalah ini (Tempo edisi 23 Oktober 2005).

Soal seputar pertemuan Probo dengan Harini ini yang akan ditanyakan Komisi Yudisial kepada Bagir. Selain soal pertemuan, Komisi juga akan mempertanyakan sejumlah pengakuan Pono, seperti pernyataannya bahwa sebagian uang itu akan diteruskan ke Bagir Manan. “Jadi, yang kami undang ini bukan Ketua Mahkamah Agung, melainkan Bagir Manan selaku ketua majelis hakim,” kata Irawady. Sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Komisi Yudisial, kata Irawady, pihaknya berhak memanggil Bagir Manan.

Tapi, Bagir Manan tampaknya tetap tak akan datang. Sikap semacam ini pernah ditunjukkan Bagir saat KPK memanggilnya untuk kasus yang sama. KPK sendiri akhirnya mengalah dan kemudian pada 14 November silam KPK memeriksa Bagir di ruang kerjanya, di lantai 2 gedung MA.

Dalam suratnya tertanggal 21 Desember lalu kepada Komisi Yudisial, Bagir menjelaskan alasan penolakannya itu. Menurut Bagir, ia telah memberi keterangan kepada KPK tentang kasus Probo dan penyuapan yang dikait-kaitkan dengan dirinya. “Namun, bila Komisi Yudisial masih memerlukan penjelasan, Mahkamah Agung akan dengan senang hati menerima kedatangan Komisi Yudisial di Mahkamah Agung,” begitu surat Bagir.

“Perlawanan” Bagir ini mendapat dukungan sejumlah hakim agung. Menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung Mariana Sutadi, sampai kini juga belum ada aturan mengenai tata cara pemanggilan hakim agung oleh Komisi Yudisial. “Karena itu, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi perlu duduk bersama membahas hal-hal yang berkaitan dengan pemanggilan tersebut,” ujarnya.

Ketua Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Rifqi Syarief Assegaf, melihat Bagir memang menghadapi dilema dalam masalah pemanggilan oleh Komisi Yudisial ini. “Kalau tidak datang, image pengadilan akan makin buruk. Tapi, kalau datang, kapasitasnya itu sebagai apa? Terlapor atau saksi?” kata Rifqi. Jika sekadar saksi, menurut Rifqi, akan lebih baik jika Komisi Yudisial memeriksa Bagir di tempat netral.

Menurut Rifqi, Komisi Yudisial harus memiliki dasar yang kuat dan tak hanya berdasar satu atau dua laporan saja untuk memanggil seorang hakim agung. “Ini soal harga diri. Apalagi kalau ia seorang Ketua Mahkamah Agung. Prosesnya juga jangan sampai terbuka ke publik, diam-diam saja, walaupun nanti hasilnya bisa diumumkan,” katanya.

Ketua Komisi Hukum DPR, Trimedia Pandjaitan, juga menyatakan prihatin melihat terjadinya “gesekan” antara Bagir Manan dan Komisi Yudisial. Menurut Trimedia, tak ada salahnya Komisi Yudisial meniru langkah KPK, mengalah, dan mendatangi Bagir Manan di Mahkamah Agung. Trimedia juga menolak Komisi Yudisial melibatkan presiden dalam masalah ini. “Ini bahaya, jangan sampai presiden mengintervensi persoalan hukum,” katanya.

L.R. Baskoro, Dewi Rahmarini, Nuraini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus