Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kampus Polisi untuk Komisi

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Subuh belum lagi datang di Akademi Kepolisian Semarang, Jawa Tengah, ketika lonceng pagi dibunyikan. Tampang-tampang kusut sehabis tidur beringsut satu-satu dari kamar. Bersicepat, warga satu blok asrama itu saling berbenah. Senam pagi dan apel sudah menunggu. Kegiatan hari itu akan dimulai, dan baru berakhir pukul 9 malam nanti. Begitulah irama setiap hari.

Padahal mereka itu bukanlah taruna dan taruni Akademi Kepolisian (Akpol). Mereka, jumlahnya 38 orang, adalah calon pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 12 di antaranya wanita. Sejak akhir November lalu, mereka dikirim ke Candi, tempat kampus Akpol berada. Selama satu setengah bulan mereka digembleng kesamaptaan jasmani. Awal tahun ini, mereka akan memasuki materi pendidikan khusus profesi. “Kami sudah melakukan tes psikologi. Hasilnya sudah dikirim ke KPK,” kata Gubernur Akpol, Irjen MD Primanto.

Gemblengan untuk para calon penyelidik dan penyidik lembaga yang kerap dijuluki superbody itu--karena kewenangannya berdasar Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK amat luas--lumayan berat. Selain baris-berbaris, lari pagi, dan senam, mereka masih dianggap perlu dilatih bela diri. Alasannya, untuk kesigapan. Juga latihan menembak dengan senjata laras pendek. “Meski sipil, para investigator KPK bakal berpenampilan disiplin, berfisik kuat, dan mampu membela diri,” kata Komisaris Polisi Pepen Supena, salah seorang instruktur fisik.

Sedangkan untuk materi khusus profesi, seperti kode etik KPK, cara penyidikan, pembongkaran korupsi, membaca data, investigasi, sampai pada pemberkasan, instruktur khusus didatangkan dari Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri. Untuk materi ini, KPK memang sudah menyiapkan silabus sendiri.

Pendidikan di Akpol, menurut jadwal, baru akan berakhir April nanti. Tapi bukan berarti para calon pegawai KPK ini sudah langsung bisa bekerja. “Mereka akan menjalani pendidikan lanjutan di Sekolah Lanjutan Perwira Ciputat, Jakarta,” ujar Primanto. Di Ciputat, para pegawai ini harus menjalani pelatihan selama tiga bulan. Salah satunya adalah program magang di berbagai lembaga dan instansi hukum.

Selain di Akpol, sejumlah calon pegawai KPK juga tengah dilatih di Sukabumi, Jawa Barat. Bedanya, mereka yang menjalani pelatihan di Sekolah Calon Perwira Polri ini cukup hanya satu bulan. “Mereka disiapkan untuk menduduki pos-pos fungsional,” kata Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, kepada Tempo, pekan lalu. Sedangkan calon pegawai yang dilatih di Akpol diarahkan menjadi penyelidik dan penyidik korupsi. “Mereka sengaja kami titipkan di Akpol supaya punya kemampuan seperti polisi, tapi khusus tindak pidana korupsi,” kata Erry.

Dengan tumpukan pengaduan di KPK--data terakhir sampai pada angka 9.500 laporan--tenaga yang dimiliki KPK amat minim. Total pegawai KPK, termasuk staf administrasi, hanya sekitar 150 orang. Dari jumlah itu, cuma ada 16 jaksa dan 35 polisi yang bertugas sebagai penyelidik dan penyidik. “Akan ada tambahan 17 orang polisi baru. Tapi belum efektif karena sedang pendidikan di Sukabumi,” kata Erry.

Meski mereka yang ditugasi dianggap mumpuni, karena jaksa di KPK minimal berpangkat IIIC atau jaksa pratama, dan polisi harus berpangkat minimal ajun komisaris polisi dan lulus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, toh tetap kewalahan juga. Apalagi, para jaksa juga harus merangkap sebagai penuntut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

“Jujur saja, kami terseok-seok,” kata Erry. Sepanjang tahun 2005, satu tim penyidik harus menangani 2-3 kasus. Dengan batasan penyidikan tiga bulan dan penuntutan dua minggu, jelas tenaga amat terkuras. Belajar dari pengalaman ngos-ngosan selama dua tahun itulah Komisi akhirnya memutuskan membentuk penyelidik dan penyidik sendiri. Tujuannya agar Komisi lebih bergigi.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2002, yang masih menyatakan penyidik KPK harus seorang polisi dan jaksa, kini dalam proses revisi. Aturan lama, menurut Penasihat KPK Abdullah Hehamahua, membuat KPK jadi bergantung pada kepolisian dan kejaksaan. Undang-undang ini sarat konflik kepentingan, lantaran tugas pokok Komisi di antaranya justru memberantas korupsi di lingkungan penegak hukum. “Padahal kita ingin independen,” kata Erry lagi. Status para jaksa dan polisi di Komisi pun, dari lembaga asal mereka, ternyata cuma diperbantukan. Artinya, suatu saat bakal ditarik.

Dalam amendemen Undang-Undang KPK baru, yang direncanakan efektif awal 2007, KPK akan diizinkan memiliki penyelidik dan penyidik sendiri. Cikal-bakalnya adalah mereka yang kini “sekolah” di Candi dan Sukabumi itu.

Arif A. Kuswardono, Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus