Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kampung narkoba masih marak meski berulang kali dirazia.
BNN mengupayakan narkoba tidak melembaga di Indonesia.
BNN menggunakan strategi pendekatan kepada masyarakat untuk menghadapi kampung narkoba.
PADA pertengahan Juli 2024, Kepolisian Resor Metropolitan Jakarta Barat mengobrak-abrik kawasan Kampung Boncos, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat. Sebanyak 42 orang diciduk dari tempat yang disebut sebagai kampung narkoba itu setelah hasil tes urine menunjukkan mereka positif mengkonsumsi sabu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa hari sebelumnya, Polres Metro Jakarta Utara juga menggerebek kawasan Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dalam penggerebekan pada 13 Juli 2024 itu, polisi menangkap 22 orang yang positif menggunakan narkoba. Polisi juga menyita 103 gram narkotik jenis sabu, 26 paket kecil sabu, dan 12 timbangan digital.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 25 Juli 2024, tim gabungan Satuan Narkoba Kepolisian Resor Kota Pekanbaru dan Kepolisian Daerah Riau juga menggerebek kampung narkoba dan mengamankan tiga orang yang diyakini sebagai bandar narkotik. Lokasi yang digerebek adalah Gang Pargo di Jalan Pangeran Hidayat dan Kampung Dalam, Pekanbaru, Riau.
Kawasan-kawasan tersebut merupakan wilayah yang terkenal sebagai kampung narkoba. Penggerebekan yang dilakukan kepolisian di kawasan itu bukanlah yang pertama, tapi praktik narkotika masih tumbuh subur di sana.
Direktur Tindak Pidana Narkoba Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Mukti Juharsa mengakui kepolisian kesulitan menertibkan peredaran narkoba di kampung narkoba, seperti Kampung Boncos. Menurut dia, jumlah pengguna dan luasnya wilayah kampung itu menjadi faktor sulitnya aparat bertindak.
"Dari zaman saya sebagai Direktur (Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya), Kampung Boncos, Kampung Bahari, dan Kampung Ambon saya razia, betul apa tidak? Tapi memang susah," kata Mukti kepada wartawan, Senin, 22 Juli 2024.
Namun kepolisian masih berupaya mencari solusi agar peredaran gelap narkotik di suatu wilayah dapat dihentikan. Salah satu upaya itu adalah polisi berkomitmen memiskinkan para bandar narkoba yang tertangkap. Sedangkan pengguna narkoba bakal direhabilitasi.
"Untuk bandar, kami miskinkan," ujarnya.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan salah satu tantangan kepolisian dalam menertibkan peredaran narkotik di sebuah wilayah adalah aturan perundang-undangan. Kepolisian bisa saja mengetatkan sebuah wilayah kampung narkoba dan menargetkan orang tak dikenal yang masuk ke wilayah tersebut.
"Tapi penangkapan seseorang harus melalui proses berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Kalau penangkapan tidak sesuai dengan prosedur, tentu akan fatal bagi kepolisian karena bakal diajukan praperadilan dan rawan terjadi pelanggaran hak asasi manusia," ucapnya kepada Tempo, Ahad, 28 Juli 2024.
Namun, kata Bambang, upaya yang bisa dilakukan kepolisian adalah menghentikan peredarannya sejak dari pemasok atau bandar besar. "Secara normatif, ya, dengan menutup jalur pasoknya," tuturnya.
Senada dengan pendapat tersebut, Direktur Institute for Criminal Justice Reform Erasmus Napitupulu mengatakan pemberantasan narkoba akan berjalan mundur apabila pendekatan yang dilakukan adalah penindakan pengguna. Menurut dia, jumlah pengguna tak akan pernah habis apabila pemasoknya tidak dihentikan.
"Narkoba ini kejahatan yang terorganisasi," katanya.
Kepala Kepolisian Resoe Metro Jakarta Barat, Komisaris Besar M. Syahduddi memberikan keterangan pers dalam Operasi Nila Jaya 2024 di Kampung Boncos, Palmerah, Jakarta, 17 Juli 2024. Dok. Humas Polri
Erasmus menyatakan kesalahan aparat penegak hukum di Indonesia dalam memberantas peredaran narkotik adalah menghukum para penggunanya dengan ancaman pidana. Seharusnya, kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) punya taktik untuk menghentikan peredarannya dengan pendekatan kesehatan.
"Pendekatan selama ini enggak tepat, harus menggunakan pendekatan kesehatan," ujarnya.
Erasmus menuturkan pendekatan kesehatan bisa dilakukan dengan dekriminalisasi, yakni mengubah cara pandang pengguna narkoba dari pelaku pidana menjadi penyalah guna obat yang harus disembuhkan melalui pendekatan kesehatan.
"Tidak akan mungkin selesai kalau fokus aparat kita menindak pengguna," ucapnya.
Erasmus mengatakan aparat penegak hukum tak mungkin tidak mengetahui bandar besar narkotik. Namun belakangan justru bandar besar narkotik berkongkalikong dengan kepolisian, sementara penyalah gunanya dipidana. Narkoba menjadi obyek korupsi bagi aparat penegak hukum.
"Kita bisa lihat kasus Teddy Minahasa. Dia menjual dan menjadi perantara," tuturnya.
Seharusnya, kata Erasmus, pemberantasan tindak pidana narkotik bisa selesai oleh BNN. Alasannya, BNN diberi tanggung jawab oleh negara untuk menyelesaikan persoalan narkoba.
"Kalau BNN masih bertindak seperti polisi, sibuk nangkapin pengguna narkotik, bubarin aja, deh. Jadi kita berfokus aja di kepolisian," ujarnya.
Sejumlah warga diamankan dalam Operasi Nila Jaya 2024 di Kampung Boncos, Palmerah, Jakarta, 17 Juli 2024. Dok. Humas Polri
Menurut Erasmus, BNN semestinya melakukan riset soal narkoba, dari jaringan hingga sumbernya. Dengan demikian, dalam pemberantasan tindak pidana narkotik, kepolisian dan BNN memiliki fokus berbeda.
"Selama fokusnya masih pengguna narkotik, sampai kapan pun sistem ini akan korup," katanya.
Menyitir laporan majalah Tempo edisi 14 Juli 2024, BNN sebenarnya sudah berupaya agar narkotik tidak melembaga di Indonesia. Banyaknya kampung narkoba membuat BNN geram dan berupaya menggunakan strategi pendekatan kepada masyarakat.
"Khususnya di daerah yang tak bisa dimasuki polisi. Saat masuk, polisi malah dikeroyok. Contohnya kampung narkoba di Beting, Pontianak, Kalimantan Barat; Sokobanah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur; dan Batam, Kepulauan Riau," ucap Kepala BNN Komisaris Jenderal Marthinus Hukom.
Marthinus mengatakan BNN sudah berupaya memutus simbiosis mutualisme antara pengguna dan pengedar. Salah satu upaya itu adalah membekali masyarakat setempat untuk melakukan aktivitas lain sesuai dengan keterampilannya.
"Kami mencoba mencari cara baru dengan membuat mereka bergantung kepada BNN, bukan narkotik. Kalau mereka sudah bergantung, barulah kami pengaruhi agar menjauhi narkotik," katanya.
Untuk menghentikan penggunaan narkotik di Indonesia, Marthinus mengatakan, BNN juga sudah memiliki layanan klinik Institusi Penerima Wajib Lapor di kantor pusat BNN di Cawang, Jakarta Timur, dan ratusan klinik di berbagai daerah. Mereka melayani konseling, rehabilitasi sosial, dan konsultasi medis bagi pecandu.
Sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pecandu serta korban penyalahgunaan narkotik wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Marthinus yakin cara ini menjadi salah satu solusi menekan penggunaan narkotik di Indonesia. "Survei pada 2003 melaporkan ada sekitar 3,3 juta pengguna narkoba," tuturnya.
Selain mengkampanyekan proses rehabilitasi, Marthinus melanjutkan, BNN tetap memburu bandar narkotik. Di masa depan, BNN akan berfokus pada analisis intelijen. Jadi yang ditangkap bukan hanya bandar kecil, tapi juga bandar besar. "Kami ingin memperkuat intelijen untuk memetakan jaringan, aktor, termasuk siapa saja orang yang bisa membantu kami," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo