Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Akhir ajal anak yatim

Arbain disangka memperkosa aluh yang berusia enam tahun. setelah itu, keponakannya itu ditembaknya karena menangis terus-menerus. ia panik.

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENAPAN angin merek Canon kaliber 4,5 mm di tangan Arbain itu meletus. Pelornya bersarang di belakang kuping Aluh. Gadis cilik berusia 6 tahun itu terjungkal. Ia mengerang kesakitan. Paman korban yang tidak menduga bedil di tangannya itu meletus saat dikokang tentu menjadi panik. Buru-buru lelaki berusia 35 tahun itu berlari ke sawah untuk mengabarkan kecelakaan itu pada ibu Aluh, Tuminah, yang juga kakak kandungnya. Begitu wanita yang telah menjanda dua tahun ini tahu anaknya sekarat, tubuhnya kontan lemas. Celakanya, upaya membawa korban ke rumah sakit terhalang hujan deras. Dan akhirnya, setelah bocah yatim itu bertahan sekitar tiga jam dalam penderitaan, ia meninggal pada tengah hari Minggu di awal bulan Ramadan lalu. Jenazahnya tak langsung dikuburkan karena hujan tidak juga reda. Kisah tragis di Dusun Pahirangan, Kecamatan Pulau Laut Utara, Kotabaru, Kalimantan Selatan, itu telah menyebar pada warga sekitar. Bahkan, polisi sudah mendengar kematian itu tak wajar. Paginya, sebelum mayat Aluh dikebumikan, beberapa petugas dari Kepolisian Resor Kotabaru muncul di rumah Tuminah. Aparat itu meminta jenazah Aluh diotopsi. Mayat itu kemudian diusung ke rumah sakit. Ternyata, hasil visum mengejutkan. "Pihak rumah sakit menemukan sperma di vagina Aluh," kata Letnan Kolonel M. Athif Ali M.D., Kepala Kepolisian Resor Kotabaru, kepada Almin Hatta dari TEMPO. Lalu muncul dugaan: korban disebadani dulu sebelum ditembak atau tertembak. Atas dasar itulah Arbain diciduk. Pria bertubuh kecil kurus yang menduda sejak tujuh tahun lalu itu selama ini tinggal di gubuk ibunya, Mala. Jarak gubuk Mala dan Tuminah sekitar 10 meter. Tak jarang Arbain menginap di rumah Tuminah. Di gubuk tanpa kamar itu, ia kerap tidur bersama Aluh. Jadi, bisa saja berahinya terusik. Rupanya, di hadapan polisi, Arbain tidak berbelit-belit. Ia mengakui memperkosa dan menembak keponakannya. Kisahnya, hari itu, Aluh tinggal sendirian menunggui adiknya, Marhat, 3,5 tahun. Sedangkan kakaknya, Idah, 10 tahun, dan Yana, 8 tahun, ikut membantu ibunya di sawah. Selagi sepi itulah, menurut Arbain pada polisi, ia melampiaskan nafsunya. Setelah si paman mengumbar nafsunya, korban tak juga mau diam. Maka, penembakan itu pun terjadi. "Arbain panik menghadapi Aluh yang menangis terus. Ia takut keluarganya keburu pulang dari sawah. Lalu, Arbain menakut-nakuti keponakannya dengan mengacungkan senapannya, dan meletus," kata Athif Ali. Cerita yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan itu diakui oleh tersangka tak menyimpang. "Tapi sebenarnya saya tak pernah melakukan perkosaan. Penembakan itu terjadi begitu saja. Saya kira semua itu karma bagi saya," kata Arbain. Mengapa? "Karena kenyataannya Aluh tewas oleh senapan di tangan saya. Jadi, apa yang dituduhkan polisi saya iyakan saja. Tapi sesungguhnya saya tak pernah memperkosanya," katanya. Tentang ada sperma di tubuh Aluh? "Itu bukan dari saya. Entah dari mana," katanya. Hanya saja, Arbain secara terus terang mengakui bahwa selama ini Aluh sering membangkitkan berahinya manakala keponakannya itu tidur telentang di gubuk tanpa kamar itu. Tapi, untuk berbuat tak senonoh pada Aluh tak terpikir oleh Arbain. Adik Arbain, Fatimah, juga tidak percaya kakak kandungnya senekat itu. Tuduhan perkosaan itu dianggapnya tak masuk akal. "Itu fitnah. Walau kami semua tak melihat kejadiannya, Kak Arbain itu tak sengaja menembak Aluh. Itu kecelakaan," kata Fatimah, Selasa pekan lalu. Sementara itu, Mala, Tuminah, dan anak-anaknya tak dapat ditemui TEMPO karena mereka sedang bermalam di hutan, menunggu durian jatuh.WY

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum