Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kapok, Pak Hakim Berang Kapok

Mustain yang menabrak orang sampai tewas diperberat vonisnya menjadi 18 bulan di PN Lamongan, gara-gara memakai pengacara & pengacaranya bentrok dengan hakim. ulah hakim tersebut. Diadukan.

15 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOEHARJONO, pengacara di Surabaya, kontan mengamuk di ruang sidang Pengadilan Negeri Lamongan, begitu kliennya, Mustain, divonis setahun enam bulan penjara akibat menabrak orang sampai tewas. Sebab, sebelumnya, jaksa hanya menuntut kliennya dengan hukuman enam bulan penjara. "Saudara itu overacting, tidak manusiawi, dan subyektif. Saya akan memperhitungkan latar belakangnya," kata Soeharjono, sambil bertolak pinggang di hadapan Hakim Unsal Simanunsong, yang memimpin sidang. "Silakan. Saudara tahu, saya sudah 15 tahun menjadi hakim," tantang Simangunsong, yang tak kurang pula berangnya. Insiden antara hakim dan pengacara itu, sampai kini, masih berlanjut terus, walau akhir bulan lalu pengadilan tinggi telah memperbaiki vonis itu menjadi 5 bulan 17 hari penjara -- klop dengan masa penahanan. Sebab, Soeharjono melapor ke petinggi-petinggi hukum di Jakarta bahwa sebelum membacakan vonisnya, 2 Januari, Hakim Simangunsong mengancam kliennya dengan hukuman berat bila memakai pengacara. Menurut Soeharjono, ancaman itu terjadi ketika terdakwa memohon kepada hakim agar vonis ditunda, karena ia akan mencari pembela. "Kalau kamu memakai pengacara, hukumannya akan saya perberat," ujar Soeharjono, menirukan ucapan Hakim Simangunsong. Ucapan itu, kata Soeharjono, didengar para penonton sidang dan juga jaksa -- ia bahkan mengaku mempunyai rekamannya. Tapi Mustain tetap mencari pembela. Nyatanya, ia memang dihukum tiga kali lipat dari tuntutan jaksa. "Yang saya sesalkan bukan berat ringannya hukuman, tapi ucapan yang mengandung ancaman itu," ujar Soeharjono. Perkara Mustain, pelajar kelas II SMA PGRI Lamongan, sebenarnya perkara kecelakaan lalu lintas biasa. Ketika mengendarai sepeda motor, 16 Agustus, anak petani itu menabrak Mbok Suri, 80, sehingga nenek itu meninggal dunia. Ia sempat melarikan diri sebelum keesokan harinya ditangkap polisi. Hari-hari pertama disidangkan, Mustain tidak didampingi pembela. Ia baru mencari pembela setelah Jaksa Martin Hutabarat menuntutnya 6 bulan penjara. Waktu itu, akhir tahun lalu, ia ingin mendapat tahanan luar untuk mengikuti ujian sekolahnya. Tapi usahanya mencari pengacara itu, ternyata, hanya menambah berat penderitaannya. Sebab, ketika pengacara Soeharjono pertama kali muncul di sidang untuk membacakan pembelaannya, ia langsung diusir Hakim Simangunsong. Sebab, Soeharjono belum mendaftarkan diri sebagai pengacara di pengadilan itu. Soeharjono, yang merasa dipermalukan, menolak meninggalkan sidang. Simangunsong berang. "Saudara, keluar. Tahu, sudah berapa pengacara yang saya usir dari sini?" ujar Simangunsong, seperti dikutip Soeharjono. Soeharjono terpaksa meninggalkan ruang sidang. Selain itu, usaha Soeharjono melepaskan terdakwa dari tahanan juga gagal total. Padahal, pengacara itu sudah melampirkan surat permintaan Kepala SMA PGRI Lamongan, yang mengharapkan Mustain bisa keluar tahanan untuk mengikuti ujian sekolah. "Tidak perlu itu. Saya sudah perintahkan kepala sekolahnya untuk memecat dia," ujar Simanungsong kepada Soeharjono. Pertentangan-pertentangan itu mencapai puncaknya, ketika hakim membacakan vonis. Menurut beberapa sumber, ketika itu hampir saja terjadi baku hantam antara hakim dan pengacara. Sebab itu, setelah vonis dijatuhkan, Soeharjono mengadukan tingkah hakim itu kepada petinggi-petinggi hukum. "Pengaduan saya itu benar dan berdasarkan bukti-bukti. Apa pun akibatnya, karier sebagai pengacara saya pertaruhkan," ujar Soeharjono, setelah dipanggil Ketua Pengadilan Lamongan, Wartawan. Simangunsong, 40, tamatan Sekolah Hakim dan Jaksa di Palembang, 1970, membantah keras telah mengancam Mustain agar tidak memakai pengacara. "Bah! Kalau saya dituduh mengancam terdakwa, buat apa saya tunda sidang? 'Kan untuk memberi kesempatan kepada terdakwa mendapatkan pembela," kata Simangunsong. Sebab itu, ia balik menuduh Soeharjono yang mengada-ada. "Baru kali ini saya bertemu pengacara yang kekanak-kanakan," ujar Simangunsong, yang berbadan kekar itu. Vonisnya yang berat buat Mustain, katanya, semata-mata menurut keyakinannya. "Tugas saya sudah selesai. Pengaduan pengacara itu menginjak-injak harga diri saya. Pokoknya, lahir batin saya sudah mempertanggung-jawabkan tugas itu kepada Tuhan dan atasan saya," ujar Simangunsong. Ia mengaku telah menghadap hakim pengawas di pengadilan tinggi di Surabaya. "Jangankan disemprot atasan, malah saya disuruh membina pengacara itu," kata Simangunsong bangga. Atasan Simangunsong memang tidak melihat hakim itu salah. "Pengacara itu nekat berani-beraninya memojokkan hakim, padahal ia tidak mendengar sendiri ancaman itu," ujar sebuah sumber di pengadilan tinggi. Pejabat di peradilan banding itu malah menyebut pihaknya sekarang justru tengah menyorot ulah pengacara itu. "Kenapa dia meributkan sikap hakim setelah vonis?" katanya. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Lamongan, Salam Basjah, pun sependapat. Ia menganggap wajar saja bila Simangunsong sampai menggertak terdakwa. "Hakim 'kan bebas, main gertak itu pun biasa ... kalau terdakwanya berbelit-belit," kata Basjah. Ia malah menertawakan pengaduan Soeharjono yang meminta Simangunsong diperiksa. "Ah, memangnya yang membuat vonis itu pamong praja?" kata Basjah, terkekeh. Sikap atasan melindungi bawahannya di kalangan peradilan Jawa Timur itu bukan kali ini terjadi. Tahun lalu, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya menskors Pengacara (almarhum) Pamudji, karena pengacara itu bersama kawan-kawannya memprotes tindakan seorang hakim yang dianggap menyalahi hukum acara (KUHAP). Skorsing itu sempat membuat geger kalangan pengacara, karena di saat berstatus skorsing itu Pamudji meninggal dunia akibat serangan jantung. "Tindakan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya itu dilakukannya untuk menyembelih profesi hukum," ujar Ketua Peradin, Adnan Buyung Nasution, ketika mengantar jenazah Pamudji ke pemakaman. Apalagi, setelah ribut-ribut itu, Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya mengeluarkan ketentuan wajib daftar pengacara yang berpraktek di wilayahnya (TEMPO, 2 Maret 1985). Ribut-ribut antara advokat dan hakim tidak saja mencelakakan pengacara yang membuat protes. Tapi juga kliennya. Mustain, yang dibela Soeharjono di Lamongan, misalnya, sampai kini masih mendekam di penjara walau, menurut vonis peradilan banding, ia seharusnya sudah bebas. Ternyata, vonis itu sampai kini belum sampai ke LP. "LP tidak mau mengambil risiko. Kami baru akan membebaskannya bila vonis itu sudah kami terima," ujar seorang pejabat LP yang tidak bersedia disebut namanya. Mustain sendiri kini pasrah, apalagi ia kemungkinan besar tidak bisa ikut ujian kenaikan kelas, Mei mendatang. "Saya sudah kapok. Saya takut pada Pak Hakim," katanya ketika ditanya TEMPO. Karni Ilyas Laporan Saiff Bakham (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus