PEMERIKSAAN perkara korupsi Rp 800 juta lebih atas bekas bendaharawan Pemda Sumatera Utara, Machmud Siregar, agaknya tidak selancar dugaan semula. Sebab, setelah empat bulan pejabat daerah itu ditahan, baru Rabu pekan lalu perkaranya diteruskan ke pengadilan. Itu sebabnya, keesokan harinya pengacara Machmud, Faisal Oloan Nasution dan Syaiful Jalil, terpaksa mempraperadilankan kejaksaan. "Sebab, menurut hitungan kami, seharusnya terdakwa sudah dilepaskan dari tahanan pada tanggal 17 Januari lalu," ujar Faisal. Perkara Machmud memang agak bertele-tele. Sejak Mei lalu, inspektur wilayah di daerah itu mencium kebocoran kas Pemda di tangan Machmud, sebanyak Rp 824 juta. Tapi perkaranya, saat itu, ditangani Pemda sendiri. Sebab, Machmud berjanji akan mengembalikan uang negara itu, 15 Juli 1985. Janji itu tidak ditepati. Tapi, ternyata, perkara tidak juga dilimpahkan ke kejaksaan. Barulah, setelah datang lampu hijau dari Departemen Dalam Negeri, 30 September Machmud diserahkan ke kejaksaan. Pihak kejaksaan yang menerima kasus itu memerintahkan terdakwa ditahan sejak awal Oktober lalu. Namun, karena terlalu lama perkara itu terkatung-katung, pihak kejaksaan mendapat kesulitan menemukan barang-barang bukti. Pejabat daerah yang semula diketahui mempunyai beberapa mobil dan sebuah rumah mewah itu, ketika diusut kejaksaan, hanya memiliki sebuah rumah cicilan BTN dan sebuah jip tua. "Padahal, bukti penyelewengannya di segi administrasi hampir setinggi dua meter, dan uang yang diselewengkan pun bisa mencapai Rp 2 milyar," ujar seorang pejabat di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Machmud, menurut pejabat kejaksaan itu, hanya mengakui menikmati Rp 200 juta dari uang korupsi itu. Sisanya? Machmud, 48, ayah lima anak itu menunjuk 54 orang pejabat lainnya di kantor Pemda: dari atasan sampai ke bawahan. Uang yang dikelola Machmud sejak 1981 untuk 7 buah biro nonfisik di kantor Pemda itu, memang, tidak bisa dicairkan pejabat itu sendirian. Prosedurnya, katanya, harus melewati pengesahan dari DPRD dan persetujuan dari Mendagri. Untuk mendapat persetujuan Mendagri itu, Machmud harus membiayai ongkos tiga orang pejabat daerah ke Jakarta. Setelah ada persetujuan Menteri, uang itu pun harus melewati pintu yang berliku-liku. Disebutkan di antaranya, pintu Tim Penyusunan Lembaran Kerja Bappedasu, Biro Pembangunan Daerah, Biro Keuangan, sampai ke Sekwilda. "Semua orang di sana itu harus diberi uang pelicin," ujar Machmud. Setelah itu, katanya barulah ia meneken cek untuk mencairkan uang itu, yang harus pula mendapat kontratanda tangan dari atasannya, Pimpinan Proyek Nonfisik, Bahrum Siregar. Setelah cek dicairkan, ia pun menyetorkan uang itu ke Bahrum., "Saya hanya menerima dari beliau tanda terima untuk dibukukan," ujar Machmud. Karena itu pula Pembela Faisal menganggap bukan hanya kliennya yang bersalah dalam kasus itu. "Seharusnya beberapa pejabat lain juga dijadikan terdakwa. Machmud itu 'kan hanya boneka yang baru berjalan kalau diperintah," ujar Faisal. Sumber TEMPO di kejaksaan membenarkan hal itu. Tapi di situ pula letak kesulitan kejaksaan mengusut kasus itu. "Sebab, tidak seorang pun dari pejabat yang dituding Machmud mengaku ikut menikmati hasil korupsi itu." Tentu saja. "Tapi, belum tertutup kemungkinan untuk mengajukan terdakwa lain ke pengadilan," ujar sumber di kejaksaan. Drs. Bahrum, atasan Machmud, kepada pemeriksa mengaku tidak tahu-menahu permainan anak buahnya itu. Ia juga membantah menikmati hasil korupsi itu. "Semua uang itu dikantungi Machmud," kata pemeriksa, menirukan ucapan Bahrum. Kepada TEMPO, beberapa waktu lalu, Bahrum memang menolak menjelaskan persoalan keuangan Pemda yang bobol itu. "Untuk memberi keterangan harus seizin Gubernur," katanya. Namun, karena kesulitan mengusut jaringan Machmud itu pula, kejaksaan berurusan dengan pengacara Machmud. Menurut Faisal, semula kliennya ditahan oleh penyidik selama 20 hari, dengan perpanjangan 40 hari. Pada 29 November, penahanan diambil alih penuntut, selama 20 hari. Tapi, entah kenapa, pada hari yang sama pengadilan berdasarkan pasal 25 KUHAP -- juga memperpanjang penahanan untuk penuntutan selama 30 hari. Berdasarkan kedua surat itu, Faisal menghitung, Machmud harus bebas 17 Januari lalu. Ternyata, sampai 20 Januari, Machmud masih tetap diperiksa dan tidak dilepaskan dari tahanan. Hari itu para pengacara tadi menuntut kejaksaan melepaskan kliennya. Ternyata, kejaksaan berkilah. Melalui surat Kepala Kejaksaan Tinggi Amir Danuhusodo, 21 Januari, disebutkan bahwa kejaksaan telah mencabut surat penahanannya tertanggal 29 November itu. Dengan demikian, status Machmud pada saat itu, katanya, masih dalam taraf pemeriksaan dan karena itu hakim-- sesuai dengan pasal 29 KUHAP -- bisa memperpanjang penahanan itu selama 30 hari lagi, hingga tanggal 27 Januari. Setelah tanggal 27 Januari, barulah kejaksaan melanjutkan penahanan Machmud, selaku penuntut. "Keberatan pengacaranya itu tidak prinsip, hanya kesalahan teknis administratif saja 'kok. Manusia 'kan bisa khilaf," kata sumber TEMPO di kejaksaan. Tapi Faisal dan Syaiful tetap tidak bisa menerimanya. Sebab, pencabutan surat penahanan kejaksaan itu dilakukan setelah ditandatangani kliennya. "Kok enak saja mereka main cabut," kata Faisal, yang mempraperadilan kejaksaan setelah usahanya gagal memprotes ke pengadilan tinggi. Hanya saja, bisa diperkirakan, praperadilan itu tidak akan sempat disidangkan. Sebab, kejaksaan buru-buru mengajukan perkara Machmud ke pengadilan, pekan lalu. Kalau perkara pokok sudah disidangkan, praperadilan gugur dengan sendirinya. KI Laporan Bersihar L. (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini