SERANGKAIAN kereta api, terdiri dari sebuah lok disel dan dua gerbong barang, berangkat dari Sukabumi menuju Bogor -- malam hari. Sampai di km 3 dan 4/5 sesudah stasiun kecil Batutulis kira-kira tinggal belasan kilometer saja dari stasiun Bogor, kereta api itu terguling. Lima orang awak KA 2181, masinis Ahmad Dhana, juru api Tino pelayan rem Pian dan Sulaiman dan kondektur Masran, luka-luka. Kecuali korban di atas -- tiga di antaranya luka berat -- perusahaan kereta api, PJKA menanggung kerugian berupa kerusakan gerbong dan rel kereta. Semuanya lebih dari Rp 22 juta. Peristiwa itu terjadi sudah lama, 18 Mei 1974 jam 00.55. Urusannya ditangani oleh tim pemeriksa PJKA sendiri yang dibentuk oleh Kopkamtib. Awal tahun ini pemeriksaan selesai. Hasilnya, tak sekedar kecelakaan biasa saja: sabotase dari karyawan PJKA sendiri. Dan usut punya usut, ternyata, para pelaku sabotase punya sejarah erat dengan kegiatan PKI pada masa sebelum dan sesudah pecahnya Gestapu. Apalagi kalau bukan perkara subversif? Setidaknya begitu kesimpulan jaksa, dalam surat tuduhannya pada pemeriksaan perkara ini di Pengadilan Negeri Bogor, 9 Mei lalu. Pemeriksaan dilakukan oleh majelis hakim I Ketut Sugriwa (Ketua), Simatupang dan Syamsu Effendy (anggota). Jaksa penuntut umum Kepala Kejaksaan Negeri Bogor sendiri, Alfian Husen dibantu jaksa Saragih, Ny. Hatinurbaya Sitinjak dan Ny. Misnar. Urut-urutan peristiwanya: September 1965, para tertuduh Lasimin Karijosetomo (45 tahun), M Ilyas bin Saim (39 tahun), Aos bin Saleh (54 tahun) dan Aim bin Itak (56 tahun) -- 13 tahun yang lalu tentu masih muda-muda -- bersama anggota SBKA (Serikat Buruh KA) lain dari Distrik 18A Jalan & Bangunan, mengadakan kesiapsiagaan. Itu atas instruksi pimpinan PKI sehubungan dengan situasi dalam negeri makin gawat Presiden Sukarno sakit, ada Dewan Jenderal yang anti PKI dan ada sejumlah perwira muda angkatan darat revolusioner yang menentang DD." 28 September 1965, ada peringatan hari ulang tahun SBKA di Senayan, Jakarta Para tertuduh hadir bersama anggota lain. 1 Oktober 1965, para tertuduh berkumpul di stasiun Batutulis. 2 Oktober 1965, tertuduh bersama anggota SBKA yang ada, menyatakan dukungannya terhadap Dewan Revolusi. Sesudah meletusnya G30S, SBKA Bogor mendapat instruksi dari Aidit, sumbernya dari Solo, agar buruh KA melakukan kegiatan ilegal: Dari mulai menggarap tanah milik perusahaan sampai anjuran agar bekerja seenaknya sendiri saja. Misalnya, tak usah melaporkan kepada atasan, walaupun diketahui ada jalan-jalan KA yang rusak. Sebab, katanya, pemerintah anti buruh. Pun, para buruh kereta api mendapat janji Aidit: Apabila PKI menang, maka seluruh anggota SBKA akan memperoleh kenaikan pangkat dan jabatan. Para tertuduh, begitu menurut jaksa, kenyataannya memng mentaati perintah Aidit. Buktinya, antara 21- 23 Pebruari 1974 terjadi tanah longsor di daerah tugas para tertuduh. Dalam perbaikan rel, pemborong Sambri yang seharusnya memasang empat bronjong (sejumlah batu kali yang diikat dengan kawat, ternyata hanya memasang satu bronjong saja. Para tertuduh tak melaporkan ketidakberesan Sambri. Mereka malah membuat keadaan jadi ruwet tidak memasang kode atau semboyan bahaya di daerah tugasnya. Bahkan semboyan yang adapun mereka cabut. 17 Mei 1974, jam 7 pagi, terjadi longsor lagi di tempat yang sama akibat hujan lebat. Rel jadi miring. Keadaan demikian itu tak dilaporkan kepada atasan: Malah mereka bersepakat hendak membuat jalan KA makin miring. Tengah hari mereka bekerja. Karja dan Sainim, di bawah perintah Aos, menggali tanah yang menyangga rel. Sementara Aim mengendorkan baut-baut bantalan rel. Sorenya salah seorang dari para tertuduh melapor kepada atasan: "semua rel aman". Nah, 9 jam kurang 5 menit setelah laporan anggota SBKA itulah, KA Sukabumi-Bogor anjlog. Lalulintas terhenti sampai 42 hari. Keempat tertuduh membantah dakwaan jaksa. Pemeriksaan belum selesai. Tapi jaksa sudah menyiapkan sekitar 20 orang saksi (di antaranya juga calon tertuduh dalam sidang berikutnya termasuk ir. Darussalam (Kepala Inspeksi Jalan dan Bangunan PJKA), Endang (Kepala Stasiun KA Bogor) dan Tulud (Kepala Stasiun KA Ratutulis). Perkara subversif ini, tentunya, terlepas dari betapa sulitnya bagi buruh kereta api untuk tidak menjadi anggota SBKA waktu itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini