Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Polisi mengungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang calon pendeta Majelis Sinode GMIT di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur berinisial SAS. Jumlah korban kekerasan seksual yang awalnya enam orang, hingga Sabtu pekan lalu sudah bertambah menjadi 12 orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sampai dengan Sabtu (10/9) kemarin jumlah korban bertambah jadi 12 orang, setelah ada enam orang lagi yang memberikan keterangan kepada penyidik," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Alor Iptu Yames Jems Mbau saat dimintai keterangan dari Kupang pada Ahad, 11 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut beberapa fakta yang telah diketahui mengenai kasus ini.
1. Pelaku Sudah Ditangkap
Polisi telah menangkap SAS. Calon pendeta itu telah ditetapkan sebagai tersangka perkara kekerasan seksual dan ditahan.
Polisi masih terus melanjutkan penyelidikan perkara kekerasan seksual calon pendeta tersebut, yang terbongkar setelah korban melapor polisi pada 1 September 2022.
2. Gereja Tak Halangi Proses Hukum
Ketua Majelis Sinode GMIT Merry Kolimon sebelumnya mengatakan bahwa gereja telah mengenakan sanksi berupa penundaan pentahbisan menjadi vikaris dalam jabatan pendeta kepada SAS.
Majelis Sinode GMIT juga telah mengirim tim psikolog serta pendamping untuk membantu korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh SAS.
Merry mengatakan bahwa Majelis Sinode GMIT menghormati hak korban dan orang tua korban untuk menempuh jalur hukum dan akan mengawal proses hukum dalam penanganan perkara kekerasan seksual tersebut.
Merry juga mengatakan bahwa gereja tidak akan menghalang-halangi proses hukum terhadap SAS. "Majelis Sinode GMIT berharap semua pihak agar turut melindungi para korban dari kekerasan berlapis," katanya.
Selanjutnya Komnas Perempuan dorong penggunaan UU TPKS...
3. Komnas Perempuan Dorong Penerapan UU TPKS
Komnas Perempuan mendorong aparat kepolisian menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS dalam pengusutan kasus kekerasan seksual oleh calon pendeta SAS kepada belasan anak di Alor, NTT.
Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriani mengatakan bahwa UU TPKS dapat digunakan dalam pengusutan kasus tersebut serta pendampingan korban.
“Kami sudah dengar kasus ini, dan kami mendorong agar polisi dalam pengusutan kasus ini menggunakan UU TPKS,” katanya seperti dikutip Antara kemarin.
Pihaknya mengusulkan penggunaan UU tersebut karena UU itu dapat memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.
4. Terancam Hukuman Mati
Kepolisian Alor menyatakan tersangka dugaan kasus kekerasan seksual di Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berinisial SAS terancam hukuman mati akibat perbuatannya.
Kasat Reskrim Polres Alor Iptu Yames Jems Mbau mengatakan bahwa SAS dijerat dengan Pasal 81 ayat 5 Jo Pasal 76 huruf d Undang-undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak menjadi Undang-undang.
“Tersangka juga dikenakan pasal pemberatan karena korban lebih dari satu orang,” kata dia seperti dikutp Antara, Senin, 12 September 2022.
Selain terancam hukuman mati atau seumur hidup, tersangka juga terancam pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lambat 20 tahun.
Ia juga mengatakan bahwa tersangka juga selain terancam hukuman mati, SAS juga terancam dijerat dengan pasal 27 ayat 3 di Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal ini karena dalam melaksanakan aksinya tersangka merekam atau membuat video serta memotret para korbannya sebelum bahkan sesudah melaksanakan tindakan bejat tersebut.
Kasat Reskrim mengatakan dalam menjalankan aksinya juga tersangka melakukan tipu muslihat dan rangkaian kebohongan terhadap para korban.
“Berdasarkan laporan dari para korban juga, aksi yang dilakukan tersebut dilakukan secara berulang-ulang namun sayangnya para korban tak mengingat pasti berapa kali,” ujar dia.
5. Bupati Harap Tak Dikaitkan dengan GMIT
Bupati Alor Amon Djobo mengharapkan agar kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh calon pendeta berinisial SAS di kabupaten setempat tidak dikaitkan dengan Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) karena murni perbuatan pribadi.
“Masyarakat harus tahu bahwa GMIT menempatkan orang di suatu tempat khususnya di Alor untuk melayani umat gerejani di daerah ini bukan melakukan hal-hal tercela seperti yang sudah terjadi,” katanya saat dihubungi Antara dari Kupang, Senin.
Amon menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh SAS kepada 12 korbannya yang didominasi oleh anak-anak remaja usia 13-15 tahun yang berlangsung sejak Maret 2021 hingga Mei 2022.
Masyarakat juga diminta agar tidak menggiring kasus itu ke organisasi, karena hal tersebut tidak baik karena dikhawatirkan dampaknya akan lain.
Lebih lanjut kata dia, sebagai pimpinan daerah di kabupaten itu, ia menyesalkan hal tersebut terjadi di wilayahnya.
“Hal ini seharusnya tidak terjadi apalagi perbuatan tersebut terjadi di kompleks gereja,” tambah dia.