DANDANNYA melebihi kerapihannya yang biasa. Hari itu, 18
Oktober, dia memerlukan berdasi untuk tampil ke-18 kalinya di
pengadilan. Langkahnya enteng. Di tangga gedung Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, di Jalan Gajahmada, ia sempat melambaikan
tangan dan melemparkan senyum manis ke arah Jaksa G.A. Tumilaar,
yang masih duduk di mobil menanti jam sidang. Kelihatan seperti
sudah tahu- ada kabar baik baginya, yang akan disampaikan hakim
hari itu.
Tuntutan Tumilaar, yang minta agar hakim menghukumnya 11 tahun
penjara dan denda Rp 20 juta, tampak tidak menggentarkannya
ketika menunggu keputusan. Bahkan, menurut pandangan jaksa, "dia
acuh tak acuh saja mendengarhakim membaca vonis." Habis mau apa
lagi? "Saya 'kan tidak merasa membuat angka merah selama
persidangan" kata yang bersangkutan kemudian.
Betul saja. Jangankan angka merah. Kartu merah pun tidak. Paul
Handoko dibebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan hukum. "Saya
masih kaget juga mendengar putusan hakim, kata Paul, bujangan
27 tahun, yang hari itu lolos dari tuduhan korupsi, pemalsuan
dokumen dan penggelapan. Keputusan majelis hakim, yang dipimpin
oleh Ruijanto SH, melebihi apa yang diharapkan oleh Paul
sendiri. Bebas murni alias vrijspraak. Padahal hukuman kurang
dari setengah tuntutan jaksa dipotong tahanan saja, bagi Paul,
"sudah cukup menggembirakan."
Sejenak Jaksa Tumilaar terpuku oleh vonis Hakim Ruwijanto.
Kemudian, saat itu juga, ia langsung menolak keputusan dan
menyatakan hendak naik banding ke Pengadilan Tinggi. Pembebasan
murni begitu, menurut undang-undang, tak membenarkan jaksa
menggunakan upaya banding mengejar hukuman bagi terdakwanya.
Tapi, Kabag Operasi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Soeharto SH,
menganggap lolosnya Paul Handoko dari tuduhan bukanlah merupakan
pembebasan murni. Masih "pembebasan terselubung," katanya.
Pembebasan murni -- yang memang sering dimintakan banding oleh
jaksa -- masih merupakan perdebatan hukum. Tak jelas benar
duduknya "pembebasan terselubung" itu dalam undang-undang. Namun
yang jelas, pembebasan Paul Handoko segera -- untuk kesekian
kalinya -- menjadi tumpuan kritik dan yang menggenjot wajah
mahkamah pengadilan Indonesia.
"Putusan gila! " begitu tuduh F.H. Punu, Direktur Pabean Bea
Cukai, yang berkepentingan dengan pungutan bea yang macet di
tangan Paul Handoko. "Sangat memalukan!" tuduh yang lain, Amin
Iskandar, anggota DPR RI dari FPP. "Seperti halilintar di siang
bolong, mengejutkan semua pihak yang clnta keadilan." Opstib,
yang diketuai oleh Laksamana Sudomo, juga memalingkan
teropongnya ke gedung pengadilan. Yang akan dipersoalkan konon
bukan putusan hakim yang berkenan dengan kekuasaan kehakiman
namun sedang diteliti "hal-hal lain" yang mungkin menghasilkan
vonis pembebasan Paul.
Apakah pengadilan -- betapapun pihak kejaksaan telah membongkar
dan mengekspos besar-besaran perkara Paul Handoko -- tercela
jika membebaskan terdakwanya? Tentu saja belum pasti demikian.
Bahkan kewenangan hakim membebaskan pesakitannya, menurut
seorang hakim, "justru dapat mengingatkan kita, bahwa asas
pra-duga tidak bersalah bagi seorang tertuduh harus tetapkita
hormati."
Paul Handoko, Direktur PT KMU (Kencana Murni Utama), dituduh
tiga pasal. Sekitar 1975 s/d 1977, sebagai Badan Penyalur
kendaraan bermotor bekas pakai Kedutaan Besar dan Lembaga
Internasional, KMU telah membeli dan menjual kembali 98 mobil
tanpa memenuhi kewajibannya membayar bea masuk, pungutan pabean
lain kepada Bea Cukai, pajak bea balik nama dan SWP3D. Untuk itu
negara, menurut jaksa, telah dirugikan sampai lebih dari Rp 427
juta. Ini tuduhan kejahatan korupsi.
Tuduhan berikutnya, pemalsuan dokumen aplikasi dari Departemen
Luar Negeri dan penggelapan uang pembayaran pajak dari pihak
ketiga, pembeli mobil dari KMU. Menurut jaksa, KMU telah membeli
dan menyalurkan mobil eks CD dan CC -- di samping ketiga tuduhan
di atas -- tanpa mengindahkan peraturan. Ada mobil yang sudah
disalurkan padahal belum cukup dua tahun dipakai di Indonesia
oleh pemiliknya, pejabat kedutaan dan lembaga asing secara
pribadi. Atau belum cukup 3 tahun dipakai di sini sebagai
kendaraan resmi pejabat asing.
Soal penjualan mobil yang 'belum cukup umur' oleh pejabat asing
di sini, tampaknya, tak dipersoalkan secara mendalam di
pengadilan. Tentu karena menyangkut nama baik beberapa oknum
kedutaan asing. Tak ada pertimbangan hakim mengenal hal itu.
Namun, ketiga tuduhan utama jaksa, ditimbang terperinci oleh
majelis.
KMU, yang ditunjuk Menteri Keuangan sebagai badan penyalur
kendaraan eks CC dan CD, menurut hakim, tujuannya memang
"memperoleh keuntungan materiil". Tentu saja dalam bentuk uang.
Misalnya, untuk sebuah mobil Jepang, keuntungan KMU Rp 100 ribu.
Untuk mobil luks, seperti Mercedes atau BMW, keuntungan bisa
sampai Rp 500 ribu. Selama KMU bekerja begitu, kata hakim,
keuntungan Paul terbukti hanyalah berbentuk sebuah mobil BMW dan
sebuah ruang kantor kontrakan, di Jalan Antara, lengkap dengan
perabotannya. Itu saja -- setidaknya, kekayaan selain tersebut
di atas, tak dapat dibuktikan oleh jaksa. Rumah tinggal pun
terbukti tak dimiliki oleh Paul. Ia tinggal di rumah
keluarganya.
Hakim menilai, "kekayaan dan penambahan kekayaan terdakwa selama
melakukan kegiatan sebagai badan penyalur seimbang dengan
penghasilannya." Unsur memperkaya diri sendiri dengan merugikan
keuangan negara tidak terbukti. Paul memang mengakui
ketidakberesannya melunasi kewajiban membayar berbagai pajak
seperti uduhan jaksa. Namun keterangan saksi ahli dari sea
Cukai, drs. Sutardjo, digunakan hakim sebagai bahan
pertimbangan: Kewajiban Paul yang belum ditunaikan itu,
"merupakan piutang negara yang setiap saat bisa ditagih oleh
BUPN (Badan yang mengurus piutang negara)."
Untuk kelalaiannya itupun KMU sudah ditindak. Sejak Pebruari
tahun lalu KMU diberhentikan sebagai badan penyalur. Kegiatannya
diawasi agar segera melunasi tunggakan pajaknya. Dua bulan
setelah skorsing ternyata KMU belum-belum juga menyelesaikan
tunggakan pajaknya. Bea Cukai, untuk itupun, telah langsung
mencari penyelesaian melalui BUPN. Hanya, belum lagi BUPN
selesai menggarap piutang negara pada KMU, Paul Handoko sudah
keburu berurusan dengan jaksa. Begitu keterangan saksi ahli dari
Dinas Pajak DKI, Zainal Abidin, kepada pengadilan.
Sampai di situ majelis hakim berkesimpulan, perbuatan Paul tak
memenuhi kewajibannya sebagai pembayar pajak-apalagi menurut
istilah Bea Cukai, kewajiban Paul itu hanya merupakan "sisa
tunggakan bea masuk." Jadi, "bukan tindak pidana korupsi."
Tuduhan pemalsuan surat aplikasi yang telah disetujui Deplu bagi
penyaluran mobil-mobil eks CD dan CC, menurut majelis hakim,
tidak terbukti. Juga soal penggelapan. Hakim merasa tak jelas
dengan tuduhan jaksa: Berapa banyak uang pajak, yang diterima
dan digelapkan oleh Paul, dari para pembeli mobil lewat KMU yang
mestinya disetorkan ke kas negara? Dari siapa dan untuk mobil
mana saja?
Dengan pertimbangan tersebut di atas majelis hakim pun merasa
yakin akan keputusannya: membebaskan Paul Handoko dari segala
tuduhan. Menarik, bahwa selain celaan, keputusan itu juga dapat
pujian. Dengan asumsi, "putusan itu diambil secara jujur dan
bersih," begitu komentar Advokat Adnan Buyung Nasution SH, "saya
puji keberanian hakim memutuskan perkara secara lebih rasionil."
Advokat yang lantang bicara ini menyatakan ingin koruptor dan
manipulator dihukum, cuma "kita ingin agar jaksa memilih dasar
hukum yang tepat untuk menuduh." Kata Buyung pula: "Bukan
berarti semua tuduhan jaksa, atau opstib, itu selalu sudah
benar."
Pujian Buyung juga ditujukan kepada hakim-hakim yang belakangan
ini "berani" membebaskan beberapa orang terdakwa dari tuduhan
subversi. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga,
yang dipimpin oleh Anton Abdurahman SH, akhir bulan lalu telah
membebaskan 3 orang tertuduh dari tuduhan subversi Padahal,
biasanya, sulit bagi para tertuduh untuk lolos dari ancaman
Undang-Undang Subversi yang mempunyai rumusan delik sangat luas
dan menjerat itu. Apalagi belum lama ini telah beberapa kali
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah membebaskan beberapa
tertuduh, penyelundup yang terjaring Operasi 902, dari
tuduhan-tuduhan melakukan kejahatan subversi (lihat: Apa Itu
Subversi!?).
Angin apakah yang bertiup dan menghimbau para hakim? Kini terasa
oleh umum adakah hakim kita mulai bersikap 'lain' sekarang?
"Maunya bagaimana? " kata Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno
Adji. "Menghukum tertuduh, ramai. Membebaskannya, juga ramai! "
Begitu katanya kepada pers, selesai pertemuan dengan Wapangab
Sudomo dan Ka Bakin Yoga Sugama.
Maunya bagaimana? Dalam kata-kata Buyung Nasution, "sikap hakim
seperti terakhir ini mudah-mudahan dapat merubah sikap penguasa,
yang cenderung menganggap kebenaran itu datangnya selalu dari
yang sedang berkuasa."
Mengharapkan wajah Dewi Keadilan dibersihkan oleh para hakim
sendiri, hanya dengan mengambil putusan yang berani membebaskan
tuduhan subversi, agaknya belum cukup meyakinkan. Coba saja.
Setelah keputusan Ruwijanto, timbul desas-desus: Pembebasan Paul
Handoko diatur dengan sejumlah uang! Ruwijanto dan para hakim
anggota, Abunasor dan Hartomo, membantah cerita uang suap
tersebut. "Saya bisa kaya dong, kalau menerima Rp 30 juta," kata
Hakim Abunasor.
Memang belum terbukti ada permainan kotor dalam kasus pembebasan
Paul Handoko. Kopkamtib sedang menelitinya. Juga belum terbukti
ada perubahan sikap.
Hakim Soemadijono, misalnya, menganggap keputusan bebas subversi
di pengadilannya, seperti beberapayang ditanganinya sendiri, tak
ada urusan dengan "pembaharuan sikap terhadap penerapan
Undang-Undang Subversi."
Tapi kalau keputusan Hakim Ruwijanto dan keputusan bebas
beberapa perkara subversi ternyata bukan berart apa-apa bagi
kemajuan penerapan hukum, lalu apa artinya kritik selama ini
terhadap badan peradilan? Sawito Kartowibowo bersama pembelanya,
Mr Yap, pagi-pagi sudah mempersoalkan integritas hakim yang
mengadili perkaranya. Fahmi Basya membungkam dari segala
pertanyaan hakim. Di luar pengadilan Soenarto, Ketua Peradin
Jakarta, mencela "lembaga peradilan dewasa ini kurang
memancarkan kewibawaan "
Dari Banjarmasin seorang ahli hukum GT Ibrahim, Lektor FH
Unlam, sebelumnya secara terbuka dalam pidato Dies Natalis
Universitas Lambungmangkurat mengeritik lembaga peradilan.
"Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menikmati keadilan ....
" Dan dikatakannya, "ada satu hal yang sulit bagi pengadilan
untuk melepaskan pengaruh kekuasaannya dari pengaruh uang."
Kritik itu memang cepat disambut oleh organisasi para hakim
(Ikahi) sebagai "merendahkan martabat dan wibawa pengadilan"
(TEMPO, 15 Oktober 1977). Tak kurang dari Ketua Mahkamah Agung
sendiri, Prof. Oemar Seno Adji, dalam suatu rapat kerja
Ketua-Ketua Pengadilan Tinggi dengan Departemen Kehakiman, awal
tahun ini, menganggap beberapa kritik terhadap hakim dan
pengadilan telah "melampaui batas-batas yang diperkenankan oleh
etik, moral dan bahkan oleh hukum." Tak disebutkan kritik macam
mana yang telah melampaui batas tersebut. Hanya, kalau dianggap
perlu, kata Seno Adji, perlulah kiranya mendapat perhatian dan
penelitian soal "hak-hak asasi hakim" yang harus dilindungi.
Apakah sebenarnya yang tengah terjadi dalam dunia peradilan kita
-- melihat beberapa kasus, yang oleh banyak hakim, dianggap
telah melampaui batas dan menghina pengadilan? Beberapa hakim
senior dapat menjawab pertanyaan demikian dengan terus-terang.
"Belum ada sesuatu yang dapat kita anggap sebagai penghinaan
terhadap lembaga peradilan." Kecuali, kata seorang hakim senior,
"kalau hakim sendiri yang menganggap kritik keras itu sebagai
penghinaan." Yang jelas, "kalau kritik-kritik tak ditanggapi
secara baik, makin lama -- bahkan sudah mulai kita rasakan - ada
krisis kepercayaan terhadap kewibawaan, kejujuran dan kebersihan
pengadilan dan hakim-hakimnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini