Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kasus Paul Handoko: Mengadili

Paul Handoko dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan korupsi, pemalsuan dokumen & penggelapan, dibebaskan hakim PN Jak-Pus. Wartawan SH yang gencar mengusut kasus itu akan dituntut Paul ke pengadilan. (hk)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DANDANNYA melebihi kerapihannya yang biasa. Hari itu, 18 Oktober, dia memerlukan berdasi untuk tampil ke-18 kalinya di pengadilan. Langkahnya enteng. Di tangga gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di Jalan Gajahmada, ia sempat melambaikan tangan dan melemparkan senyum manis ke arah Jaksa G.A. Tumilaar, yang masih duduk di mobil menanti jam sidang. Kelihatan seperti sudah tahu- ada kabar baik baginya, yang akan disampaikan hakim hari itu. Tuntutan Tumilaar, yang minta agar hakim menghukumnya 11 tahun penjara dan denda Rp 20 juta, tampak tidak menggentarkannya ketika menunggu keputusan. Bahkan, menurut pandangan jaksa, "dia acuh tak acuh saja mendengarhakim membaca vonis." Habis mau apa lagi? "Saya 'kan tidak merasa membuat angka merah selama persidangan" kata yang bersangkutan kemudian. Betul saja. Jangankan angka merah. Kartu merah pun tidak. Paul Handoko dibebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan hukum. "Saya masih kaget juga mendengar putusan hakim, kata Paul, bujangan 27 tahun, yang hari itu lolos dari tuduhan korupsi, pemalsuan dokumen dan penggelapan. Keputusan majelis hakim, yang dipimpin oleh Ruijanto SH, melebihi apa yang diharapkan oleh Paul sendiri. Bebas murni alias vrijspraak. Padahal hukuman kurang dari setengah tuntutan jaksa dipotong tahanan saja, bagi Paul, "sudah cukup menggembirakan." Sejenak Jaksa Tumilaar terpuku oleh vonis Hakim Ruwijanto. Kemudian, saat itu juga, ia langsung menolak keputusan dan menyatakan hendak naik banding ke Pengadilan Tinggi. Pembebasan murni begitu, menurut undang-undang, tak membenarkan jaksa menggunakan upaya banding mengejar hukuman bagi terdakwanya. Tapi, Kabag Operasi Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Soeharto SH, menganggap lolosnya Paul Handoko dari tuduhan bukanlah merupakan pembebasan murni. Masih "pembebasan terselubung," katanya. Pembebasan murni -- yang memang sering dimintakan banding oleh jaksa -- masih merupakan perdebatan hukum. Tak jelas benar duduknya "pembebasan terselubung" itu dalam undang-undang. Namun yang jelas, pembebasan Paul Handoko segera -- untuk kesekian kalinya -- menjadi tumpuan kritik dan yang menggenjot wajah mahkamah pengadilan Indonesia. "Putusan gila! " begitu tuduh F.H. Punu, Direktur Pabean Bea Cukai, yang berkepentingan dengan pungutan bea yang macet di tangan Paul Handoko. "Sangat memalukan!" tuduh yang lain, Amin Iskandar, anggota DPR RI dari FPP. "Seperti halilintar di siang bolong, mengejutkan semua pihak yang clnta keadilan." Opstib, yang diketuai oleh Laksamana Sudomo, juga memalingkan teropongnya ke gedung pengadilan. Yang akan dipersoalkan konon bukan putusan hakim yang berkenan dengan kekuasaan kehakiman namun sedang diteliti "hal-hal lain" yang mungkin menghasilkan vonis pembebasan Paul. Apakah pengadilan -- betapapun pihak kejaksaan telah membongkar dan mengekspos besar-besaran perkara Paul Handoko -- tercela jika membebaskan terdakwanya? Tentu saja belum pasti demikian. Bahkan kewenangan hakim membebaskan pesakitannya, menurut seorang hakim, "justru dapat mengingatkan kita, bahwa asas pra-duga tidak bersalah bagi seorang tertuduh harus tetapkita hormati." Paul Handoko, Direktur PT KMU (Kencana Murni Utama), dituduh tiga pasal. Sekitar 1975 s/d 1977, sebagai Badan Penyalur kendaraan bermotor bekas pakai Kedutaan Besar dan Lembaga Internasional, KMU telah membeli dan menjual kembali 98 mobil tanpa memenuhi kewajibannya membayar bea masuk, pungutan pabean lain kepada Bea Cukai, pajak bea balik nama dan SWP3D. Untuk itu negara, menurut jaksa, telah dirugikan sampai lebih dari Rp 427 juta. Ini tuduhan kejahatan korupsi. Tuduhan berikutnya, pemalsuan dokumen aplikasi dari Departemen Luar Negeri dan penggelapan uang pembayaran pajak dari pihak ketiga, pembeli mobil dari KMU. Menurut jaksa, KMU telah membeli dan menyalurkan mobil eks CD dan CC -- di samping ketiga tuduhan di atas -- tanpa mengindahkan peraturan. Ada mobil yang sudah disalurkan padahal belum cukup dua tahun dipakai di Indonesia oleh pemiliknya, pejabat kedutaan dan lembaga asing secara pribadi. Atau belum cukup 3 tahun dipakai di sini sebagai kendaraan resmi pejabat asing. Soal penjualan mobil yang 'belum cukup umur' oleh pejabat asing di sini, tampaknya, tak dipersoalkan secara mendalam di pengadilan. Tentu karena menyangkut nama baik beberapa oknum kedutaan asing. Tak ada pertimbangan hakim mengenal hal itu. Namun, ketiga tuduhan utama jaksa, ditimbang terperinci oleh majelis. KMU, yang ditunjuk Menteri Keuangan sebagai badan penyalur kendaraan eks CC dan CD, menurut hakim, tujuannya memang "memperoleh keuntungan materiil". Tentu saja dalam bentuk uang. Misalnya, untuk sebuah mobil Jepang, keuntungan KMU Rp 100 ribu. Untuk mobil luks, seperti Mercedes atau BMW, keuntungan bisa sampai Rp 500 ribu. Selama KMU bekerja begitu, kata hakim, keuntungan Paul terbukti hanyalah berbentuk sebuah mobil BMW dan sebuah ruang kantor kontrakan, di Jalan Antara, lengkap dengan perabotannya. Itu saja -- setidaknya, kekayaan selain tersebut di atas, tak dapat dibuktikan oleh jaksa. Rumah tinggal pun terbukti tak dimiliki oleh Paul. Ia tinggal di rumah keluarganya. Hakim menilai, "kekayaan dan penambahan kekayaan terdakwa selama melakukan kegiatan sebagai badan penyalur seimbang dengan penghasilannya." Unsur memperkaya diri sendiri dengan merugikan keuangan negara tidak terbukti. Paul memang mengakui ketidakberesannya melunasi kewajiban membayar berbagai pajak seperti uduhan jaksa. Namun keterangan saksi ahli dari sea Cukai, drs. Sutardjo, digunakan hakim sebagai bahan pertimbangan: Kewajiban Paul yang belum ditunaikan itu, "merupakan piutang negara yang setiap saat bisa ditagih oleh BUPN (Badan yang mengurus piutang negara)." Untuk kelalaiannya itupun KMU sudah ditindak. Sejak Pebruari tahun lalu KMU diberhentikan sebagai badan penyalur. Kegiatannya diawasi agar segera melunasi tunggakan pajaknya. Dua bulan setelah skorsing ternyata KMU belum-belum juga menyelesaikan tunggakan pajaknya. Bea Cukai, untuk itupun, telah langsung mencari penyelesaian melalui BUPN. Hanya, belum lagi BUPN selesai menggarap piutang negara pada KMU, Paul Handoko sudah keburu berurusan dengan jaksa. Begitu keterangan saksi ahli dari Dinas Pajak DKI, Zainal Abidin, kepada pengadilan. Sampai di situ majelis hakim berkesimpulan, perbuatan Paul tak memenuhi kewajibannya sebagai pembayar pajak-apalagi menurut istilah Bea Cukai, kewajiban Paul itu hanya merupakan "sisa tunggakan bea masuk." Jadi, "bukan tindak pidana korupsi." Tuduhan pemalsuan surat aplikasi yang telah disetujui Deplu bagi penyaluran mobil-mobil eks CD dan CC, menurut majelis hakim, tidak terbukti. Juga soal penggelapan. Hakim merasa tak jelas dengan tuduhan jaksa: Berapa banyak uang pajak, yang diterima dan digelapkan oleh Paul, dari para pembeli mobil lewat KMU yang mestinya disetorkan ke kas negara? Dari siapa dan untuk mobil mana saja? Dengan pertimbangan tersebut di atas majelis hakim pun merasa yakin akan keputusannya: membebaskan Paul Handoko dari segala tuduhan. Menarik, bahwa selain celaan, keputusan itu juga dapat pujian. Dengan asumsi, "putusan itu diambil secara jujur dan bersih," begitu komentar Advokat Adnan Buyung Nasution SH, "saya puji keberanian hakim memutuskan perkara secara lebih rasionil." Advokat yang lantang bicara ini menyatakan ingin koruptor dan manipulator dihukum, cuma "kita ingin agar jaksa memilih dasar hukum yang tepat untuk menuduh." Kata Buyung pula: "Bukan berarti semua tuduhan jaksa, atau opstib, itu selalu sudah benar." Pujian Buyung juga ditujukan kepada hakim-hakim yang belakangan ini "berani" membebaskan beberapa orang terdakwa dari tuduhan subversi. Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga, yang dipimpin oleh Anton Abdurahman SH, akhir bulan lalu telah membebaskan 3 orang tertuduh dari tuduhan subversi Padahal, biasanya, sulit bagi para tertuduh untuk lolos dari ancaman Undang-Undang Subversi yang mempunyai rumusan delik sangat luas dan menjerat itu. Apalagi belum lama ini telah beberapa kali Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah membebaskan beberapa tertuduh, penyelundup yang terjaring Operasi 902, dari tuduhan-tuduhan melakukan kejahatan subversi (lihat: Apa Itu Subversi!?). Angin apakah yang bertiup dan menghimbau para hakim? Kini terasa oleh umum adakah hakim kita mulai bersikap 'lain' sekarang? "Maunya bagaimana? " kata Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Seno Adji. "Menghukum tertuduh, ramai. Membebaskannya, juga ramai! " Begitu katanya kepada pers, selesai pertemuan dengan Wapangab Sudomo dan Ka Bakin Yoga Sugama. Maunya bagaimana? Dalam kata-kata Buyung Nasution, "sikap hakim seperti terakhir ini mudah-mudahan dapat merubah sikap penguasa, yang cenderung menganggap kebenaran itu datangnya selalu dari yang sedang berkuasa." Mengharapkan wajah Dewi Keadilan dibersihkan oleh para hakim sendiri, hanya dengan mengambil putusan yang berani membebaskan tuduhan subversi, agaknya belum cukup meyakinkan. Coba saja. Setelah keputusan Ruwijanto, timbul desas-desus: Pembebasan Paul Handoko diatur dengan sejumlah uang! Ruwijanto dan para hakim anggota, Abunasor dan Hartomo, membantah cerita uang suap tersebut. "Saya bisa kaya dong, kalau menerima Rp 30 juta," kata Hakim Abunasor. Memang belum terbukti ada permainan kotor dalam kasus pembebasan Paul Handoko. Kopkamtib sedang menelitinya. Juga belum terbukti ada perubahan sikap. Hakim Soemadijono, misalnya, menganggap keputusan bebas subversi di pengadilannya, seperti beberapayang ditanganinya sendiri, tak ada urusan dengan "pembaharuan sikap terhadap penerapan Undang-Undang Subversi." Tapi kalau keputusan Hakim Ruwijanto dan keputusan bebas beberapa perkara subversi ternyata bukan berart apa-apa bagi kemajuan penerapan hukum, lalu apa artinya kritik selama ini terhadap badan peradilan? Sawito Kartowibowo bersama pembelanya, Mr Yap, pagi-pagi sudah mempersoalkan integritas hakim yang mengadili perkaranya. Fahmi Basya membungkam dari segala pertanyaan hakim. Di luar pengadilan Soenarto, Ketua Peradin Jakarta, mencela "lembaga peradilan dewasa ini kurang memancarkan kewibawaan " Dari Banjarmasin seorang ahli hukum GT Ibrahim, Lektor FH Unlam, sebelumnya secara terbuka dalam pidato Dies Natalis Universitas Lambungmangkurat mengeritik lembaga peradilan. "Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menikmati keadilan .... " Dan dikatakannya, "ada satu hal yang sulit bagi pengadilan untuk melepaskan pengaruh kekuasaannya dari pengaruh uang." Kritik itu memang cepat disambut oleh organisasi para hakim (Ikahi) sebagai "merendahkan martabat dan wibawa pengadilan" (TEMPO, 15 Oktober 1977). Tak kurang dari Ketua Mahkamah Agung sendiri, Prof. Oemar Seno Adji, dalam suatu rapat kerja Ketua-Ketua Pengadilan Tinggi dengan Departemen Kehakiman, awal tahun ini, menganggap beberapa kritik terhadap hakim dan pengadilan telah "melampaui batas-batas yang diperkenankan oleh etik, moral dan bahkan oleh hukum." Tak disebutkan kritik macam mana yang telah melampaui batas tersebut. Hanya, kalau dianggap perlu, kata Seno Adji, perlulah kiranya mendapat perhatian dan penelitian soal "hak-hak asasi hakim" yang harus dilindungi. Apakah sebenarnya yang tengah terjadi dalam dunia peradilan kita -- melihat beberapa kasus, yang oleh banyak hakim, dianggap telah melampaui batas dan menghina pengadilan? Beberapa hakim senior dapat menjawab pertanyaan demikian dengan terus-terang. "Belum ada sesuatu yang dapat kita anggap sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan." Kecuali, kata seorang hakim senior, "kalau hakim sendiri yang menganggap kritik keras itu sebagai penghinaan." Yang jelas, "kalau kritik-kritik tak ditanggapi secara baik, makin lama -- bahkan sudah mulai kita rasakan - ada krisis kepercayaan terhadap kewibawaan, kejujuran dan kebersihan pengadilan dan hakim-hakimnya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus