Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Bukan Cuma

Besarnya jumlah hutang MNA membuat pemerintah mengambil keputusan untuk meleburkan perusahaan itu ke dalam Garuda. Diharapkan prosesnya akan selesai akhir tahun ini. (eb)

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMAM merger yang terjadi di hampir semua perusahaan penerbangan di AS, rupanya merembet juga di Indonesia. Bedanya, kalau di AS merger itu terjadi gara-gara persaingan di pasaran, maka leburnya penerbangan Merpati Nusantara Airlines (MNA) ke dalam tubuh Garuda, perlu memakai suatu Peraturan Pemerintah (PP). Maka sejak 26 Oktober lalu, sahlah semua kekayaan (assets) MNA, dipindahkan ke dalam PT Garuda. Mengapa harus pakai senjata PP, tentunya disebabkan karena selain keduanya punya negara, MNA merasa masih bisa berdiri sendiri. Tapi nyatanya, hutang-hutang MNA yang besar itu, membuat pemerintah mengambil putusan merger tadi. Berapa hutangnya, sulit untuk diketahui dengan pasti. Sebab, seperti kata seorang pejabat Keuangan, neraca MNA sejak zaman Dir-Ut Santoso di tahun 1974 sampai sekarang, belum lagi diaudit. Dengan kata lain, belum pernah diperiksa oleh akuntan negara. Dan setiap tahun, dengan mengambil patokan 1974, "hutangnya milyaran rupiah," katanya. Bahwa perusahaan punya negara ditimbun hutang, memang bukan barang baru di Indonesia. Mulai contoh ekstrim krisis Pertamina, sampai pada PT HII yang terpaksa dijual pada Sheraton, atau PT Pelni, perusahaan negara rupanya hidup dengan "kenikmatan" hutang. Tapi yang jadi pertanyaan adalah: Apakah besarnya hutang itu karena risiko dagang, atau lebih disebabkan ketidak-beresan manajemen alias boros? Beberapa pihak yang mengetahui, berpendapat hal yang kedua itulah yang lebih menonjol. Dir-Ut MNA Ramli Sumardi mengakui adanya kerugian itu, terutama dalam penerbangan perintis. Tapi ia menghibur kita, bahwa "kerugian materiil itu terimbangi dengan keuntungan secara idiil." Maksud Ramli, selain "keuntungan politis, ideologi, kesatuan bangsa, keamanan dan sebagainya, juga keberhasilan membangkitkan potensi daerah", begitulah katanya setelah diterima Presiden pekan lalu. Penerbangan Aktentas Barangkali, di luar Amerika, hanya Indonesialah yang memiliki banyak perusahaan penerbangan, tak terhitung usaha khusus seperti taksi udara dan helikopter. Di India misalnya, hanya ada dua perusahaan penerbangan: Air India sebagai flag carrier dan Indian Air yang khusus melayani lin dalam negeri. Di Inggeris juga demikian. Bahkan di Jerman Barat dan Belanda, hanya dikenal satu perusahaan: KLM. Jepang, di samping raksasa JAL yang milik campuran pemerintah dan swasta, hanya mengenal All Nippon Airlines (ANA), di samping satu perusahaan kecil lainnya (feeder line). Malaysia dan Singapura juga cuma punya satu penerbangan. Ada anggapan dilarangnya penerbangan bukan Garuda memakai pesawat jet itulah yang membuat perusahaan sulit bersaing. Pendapat demikian memang ada benarnya. Memakai pesawat jet DC9 dan Fokker-28 seperti dinikmati Garuda memang lebih ekonomis daripada harus berpayah-payah pakai Fokker-27, Vickers Viscount dan pesawat non jet lainnya. Keistimewaan yang didapat Garuda memang ikut membikinnya sukses. Tapi tentu saja keistimewaan itu bukan satu-satunya penyelamat. Seorang pejabat yang berurusan dengan bidang Perhubungan, tidak yakin "kalaupun MNA dikasih jet, bisa untung." Sebabnya karena faktor lemahnya manajemen perusahaan itu. Dalam hal ini rupanya Wiweko dari Garuda lebih dipercaya Pemerintah. Terkenal pintar menghemat dan keras, hampir-hampir otoriter, Dir-Ut Garuda yang gemar naik motor dan biasa memakai mobil VW kodok itu, dianggap berhasil membebaskan perusahaan penerbangan yang dipimpinnya dari sekedar glamour. Dan ia yakin pendekatannya benar. Ketika ditanya tentang perusahaan penerbangan lain, jawabnya: "Kalau pada tahun 1950-an kita mengeritik pengusaha aktentas (pengusaha yang cuma jual lisensi - Red.), mengapa sekarang tak kita lakukan terhadap perusahaan penerbangan aktentas di Indonesia?". Apakah Garuda bukan aktentas? Sebanyak 60% dari penghasilannya memang berasal dari dalam negeri. Dalam jumlah uang, sebuah sumber yang mengetahui, memperkirakan untungnya selama tahun lalu sama dengan Singapore Airlines, saingannya, yakni US$ 30 juta. Kini Wiweko harus membangun kembali MNA. Selepas menghadap Presiden di Bina Graha akhir pekan lalu, ia memang belum berjanji banyak. Tapi, katanya, di akhir tahun ini juga proses masuknya MNA ke dalam Garuda sudah akan selesai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus