APA kabar Undang-Undang Subversi?
Seperti ada apa-apa yang tengah terjadi atasnya. Tiga orang
tertuduh, dari perkara penyelundupan eks Operasi 02, oleh Hakim
Anton Abdurahman SH, dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhir
bulan lalu dibebaskan dari tuduhan subversi. Kejahatannya
dinilai hakim masih dalam batas-batas lingkup pidana ekonomi
biasa.
Drs. Arief Gunawan, Direktur EMKL Setia Basuki, dipersalahkan
telah membantu Liem Keng Eng dalam penyelundupan tekstil yang
merugikan keuangan negara meliputi Rp 7,6 milyar. Keng Eng
sendiri telah dijatuhi hukuman penjara 11 tahun, terbukti
melakukan kejahatan subversi. Arief sebaliknya lolos dari
tuntutan subversi, yang oleh jaksa dituntut hukuman 7 tahun
penjara. Hanya Arief tak luput dari hukuman pidana ekonomi, 2
tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 3,5 juta. Sebelumnya jaksa
menuntutnya 5 tahun penjara.
Dua rekannya, Ahmad Bey dan Abdul Kadir, seperti juga Arief
Gunawan, lolos dari tuduhan subversi namun terjerat ancaman
pidana ekonomi. Mereka masing-masing kena 2 tahun penjara dan
denda Rp 5 juta.
Alasan Anton membebaskan ketiga tertuduh dari hukuman subversi
sama kejahatan mereka tidak mempunyai latar belakang politik
suatu apa. Bagi perkara subversi, menurut Anton, "Mahkamah Agung
belum meninggalkan ketentuan suatu perbuatan yang berhubungan
dengan politik."
Beberapa waktu sebelumnya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
HM Soemadijono -- yang sebelumnya telah beberapa kali
menjebloskan tertuduh perkara Operasi 902, seperti Robby
Korampis dan Keng Eng ke penjara karena dianggap melanggar
Undang-Undang Subversi -- juga telah membebaskan penyelundup
lain dari tuduhan subversi. Misalnya terhadap Bambang
Kartawijaya berserta ketiga rekannya dari Insan Apollo. Padahal,
dalam hangat-hangatnya kerja Operasi 902 menjerat penyelundupan,
Insan Apollo terbukti telah mengeluarkan 780 unit motor Kawasaki
dari gudang enterport secara gelap: membonkar pintu gudang
dengan kunci palsu. Juga terbukti, sebelumnya, ada 563 unit
suku cadang yang dimasukkan kemari tanpa di bayar bea masuk dan
pungutan pabean semustinya.
Apa boleh buat. Mereka lolos dari jaring undang-undang subversi.
Begitu pula yang dialami penyelundup tekstil yang lain. Bahkan
Hakim Syarbini, juga dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
telah membebaskan Tan A Bun, penyelundup tekstil, dari tuduhan
subversi dalam suatu sidang yang tidak dihadiri terdakwa
sendiri.
Rumusan undang-undang tentang kejahatan subversi, UU
No.11/Pnps/1963, masih tetap luas dan luwes. Artinya dapat
menjerat semua perbuatan orang. Melihat beberapa kasus
pembebasan diatas, adakah kini pengendoran penerapan hukumnya?
Hakim yang bersangkutan tak hendak menyatakan begitu. "Kalau
memang terdakwa terbukti subversi, ya dihukum. Kalau tidak,
tentu dibebaskan," kata Hakim Soemadijono.
Begitu juga pihak kejaksaan yang untuk kesekian kalinya tak
berhasil mensubversikan terdakwa. "Sangat tidak sopan jika saya
ikut mengomentari putusan pengadilan," kata Jaksa Agung Ali Said
SH. "Karena kejaksaan terlibat dalam keputusan itu."
Namun, melihat kesimpulan Lokakarya Pembangunan Hukum Melalui
Peradilan, yang diselenggarakan Mahkamah Agung, akhir bulan lalu
di Batu (Jawa Timur), memang tergambar sikap para hakim
mengahadapi perkara subversi di masa datang. Undang-Undang
Subversi masih berlaku, memang. Bahkan para hakim menyebutkan
sebagai produk legislatif yang sah. Cuma, seperti
dipergunjingkan para ahli hukum di luar lembaga peradilan, para
hakim juga berpendapat: perumusan undang-undang yang
kontroversial itu memang terlalu luas.
Juga, ada satu bahaya dari undang-undang subversi itu, yang
disimpulkan juga oleh lokakarya walaupun dengan netral. Yakni
"Permasalahan penahanan di bawah kewenangan eklusif yang
melampaui batas waktu yang wajar tanpa mengikut sertakan hakim
serta pejabat hukum lain ...." Itu disebutkan sebagai sifat
eksepsionil undang-undang subversi itu.
Tapi menguji atau mengadakan "Judicial review" bukan tugas dan
wewenang hakim. Mahkamah Agung hanya berwenang menguji peraturan
di bawah undang-undang. Namun hakim diminta untuk melakukan
interpretasi dan diimbangi dengan sikap "menahan diri, sehingga
penafsirannya tidak menimbulkan ekses. Juga tidak menjadikan
undang-undang subversi itu menjadi undang-undang yang serba guna
dan mencakup segala-gala kegiatan manusia. Demikianlah
kesimpulan lokakarya.
Caranya? "Hakim harus mengadakan pembatasan terhadap rumusan
delik, sehingga merupakan penghalusan hukum." Pembatasan itu
berkaitan dengan adanya latar belakang politik atau tidak
sesuatu perkara. "Hakim harus kembali pada penjelasan
undang-undang, yang menyatakan, faktor latar belakang politik
sangat essensial dalam membuktikan sesuatu perkara subversi atau
bukan." Begitu penjelasan Z. Asikin Kusumah Atmadja SH, Hakim
Agung, yang memimpin lokakarya tersebut.
Penafsiran terhadap rumusan delik yang luas itu, nampaknya,
mulai diciutkan. Seorang hakim menyatakan, "dalam hati kecil
para hakim pada umumnya, memang tak begitu mengerti, mengapa
perkara-perkara pidana biasa seperti korupsi atau ekonomi, mesti
diajukan jaksa sebagai perkara subversi." Bukankah pelanggaran
kejahatan ekonomi juga diancam hukuman berat -- maksimal hukuman
mati juga?
Hakim, selama ini, menurut pengakuan hakim di atas, "memutuskan
perkara subversi, walaupun bertentangan dengan hati kecilnya."
Sebab, "pengarahan secara tidak resmi yang kami terima
mengharuskan menerima subversi yang diajukan jaksa, tanpa bicara
soal latar belakang politik."
Sekarang bagaimana?. "Secara moril kesimpulan lokakarya mengenai
penerapan undang-undang subversi ini bisa mengikat dan menjadi
petunjuk bagi hakim," kata Hakim Agung Asikin. "Tanpa mengurangi
kebebasan hakim untuk menilai dengan keyakinannya sendiri."
Sebab, Asikin sendiri mengakui, arti "latar belakang politik"
masih bisa berarti luas. Bukan merongrong kewibawaan pemerintah,
dalam bentuk: makar atau permufakatan jahat, sebab itu sudah
dirumuskan dalam kitab hukum pidana biasa (KUHP). Istilah
subversi, "justeru untuk menampung kejahatan politik modern,
yang belum tercantumkan dalam pembuatan KUHP," kata Asikin.
"Kejahatan politik, menurut Asikin bisa dilakukan melalui
kegiatan sabotase, kebudayaan, perekonomian sampai yang
terselubung lebih dari itu. Kegiatan menyuap pejabat, jika sudah
terorganisir sehingga melumpuhkan mekanisme aparat pemerintah,
"juga boleh disebut subversi. "
Pembatasan yang jelas bagi penerapan undang-undang subversi,
juga dapat menumbuhkan kewibawaan hakim yang memutus perkara.
"Jangan sampai ada kesan, jika pemerintah ingin menuntut
seseorang dengan tuduhan subversi, hakimpun ikut-ikutan
menerapkan hukum subversi," kata Asikin.
"Setelah korban-korban berjatuhan, baru sekarang kelihatan ada
penerapan cara yang lain," begitu komentar Soenarto, Ketua
Peradin Jaya, menanggapi keputusan bebas beberapa perkara
subversi akhir-akhir ini. Dulu hakim dan jaksa selalu sependapat
latar belakang politik tak usah dibuktikan untuk menuntut dan
menghukum perkara subversi. Perubahan dalam menerapkan hukum
itu, dinilai Soenarto, menunjukkan suatu sikap yang tidak
konsisten.
Tapi 'kan ada kemajuan? "Lalu bagaimana orang yang sudah
terlanjur dihukum subversi, tanpa diketahui ada latar belakang
politik atau tidaknya?" kata Soenarto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini