Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Apa itu

Sejumlah penyelundup tekstil yang dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan Subversi, hanya dikenakan hukuman pidana ekonomi. Banyak ahli hukum berpendapat, perumusan UU subversi terlalu luas.

11 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA kabar Undang-Undang Subversi? Seperti ada apa-apa yang tengah terjadi atasnya. Tiga orang tertuduh, dari perkara penyelundupan eks Operasi 02, oleh Hakim Anton Abdurahman SH, dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhir bulan lalu dibebaskan dari tuduhan subversi. Kejahatannya dinilai hakim masih dalam batas-batas lingkup pidana ekonomi biasa. Drs. Arief Gunawan, Direktur EMKL Setia Basuki, dipersalahkan telah membantu Liem Keng Eng dalam penyelundupan tekstil yang merugikan keuangan negara meliputi Rp 7,6 milyar. Keng Eng sendiri telah dijatuhi hukuman penjara 11 tahun, terbukti melakukan kejahatan subversi. Arief sebaliknya lolos dari tuntutan subversi, yang oleh jaksa dituntut hukuman 7 tahun penjara. Hanya Arief tak luput dari hukuman pidana ekonomi, 2 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 3,5 juta. Sebelumnya jaksa menuntutnya 5 tahun penjara. Dua rekannya, Ahmad Bey dan Abdul Kadir, seperti juga Arief Gunawan, lolos dari tuduhan subversi namun terjerat ancaman pidana ekonomi. Mereka masing-masing kena 2 tahun penjara dan denda Rp 5 juta. Alasan Anton membebaskan ketiga tertuduh dari hukuman subversi sama kejahatan mereka tidak mempunyai latar belakang politik suatu apa. Bagi perkara subversi, menurut Anton, "Mahkamah Agung belum meninggalkan ketentuan suatu perbuatan yang berhubungan dengan politik." Beberapa waktu sebelumnya Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, HM Soemadijono -- yang sebelumnya telah beberapa kali menjebloskan tertuduh perkara Operasi 902, seperti Robby Korampis dan Keng Eng ke penjara karena dianggap melanggar Undang-Undang Subversi -- juga telah membebaskan penyelundup lain dari tuduhan subversi. Misalnya terhadap Bambang Kartawijaya berserta ketiga rekannya dari Insan Apollo. Padahal, dalam hangat-hangatnya kerja Operasi 902 menjerat penyelundupan, Insan Apollo terbukti telah mengeluarkan 780 unit motor Kawasaki dari gudang enterport secara gelap: membonkar pintu gudang dengan kunci palsu. Juga terbukti, sebelumnya, ada 563 unit suku cadang yang dimasukkan kemari tanpa di bayar bea masuk dan pungutan pabean semustinya. Apa boleh buat. Mereka lolos dari jaring undang-undang subversi. Begitu pula yang dialami penyelundup tekstil yang lain. Bahkan Hakim Syarbini, juga dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah membebaskan Tan A Bun, penyelundup tekstil, dari tuduhan subversi dalam suatu sidang yang tidak dihadiri terdakwa sendiri. Rumusan undang-undang tentang kejahatan subversi, UU No.11/Pnps/1963, masih tetap luas dan luwes. Artinya dapat menjerat semua perbuatan orang. Melihat beberapa kasus pembebasan diatas, adakah kini pengendoran penerapan hukumnya? Hakim yang bersangkutan tak hendak menyatakan begitu. "Kalau memang terdakwa terbukti subversi, ya dihukum. Kalau tidak, tentu dibebaskan," kata Hakim Soemadijono. Begitu juga pihak kejaksaan yang untuk kesekian kalinya tak berhasil mensubversikan terdakwa. "Sangat tidak sopan jika saya ikut mengomentari putusan pengadilan," kata Jaksa Agung Ali Said SH. "Karena kejaksaan terlibat dalam keputusan itu." Namun, melihat kesimpulan Lokakarya Pembangunan Hukum Melalui Peradilan, yang diselenggarakan Mahkamah Agung, akhir bulan lalu di Batu (Jawa Timur), memang tergambar sikap para hakim mengahadapi perkara subversi di masa datang. Undang-Undang Subversi masih berlaku, memang. Bahkan para hakim menyebutkan sebagai produk legislatif yang sah. Cuma, seperti dipergunjingkan para ahli hukum di luar lembaga peradilan, para hakim juga berpendapat: perumusan undang-undang yang kontroversial itu memang terlalu luas. Juga, ada satu bahaya dari undang-undang subversi itu, yang disimpulkan juga oleh lokakarya walaupun dengan netral. Yakni "Permasalahan penahanan di bawah kewenangan eklusif yang melampaui batas waktu yang wajar tanpa mengikut sertakan hakim serta pejabat hukum lain ...." Itu disebutkan sebagai sifat eksepsionil undang-undang subversi itu. Tapi menguji atau mengadakan "Judicial review" bukan tugas dan wewenang hakim. Mahkamah Agung hanya berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang. Namun hakim diminta untuk melakukan interpretasi dan diimbangi dengan sikap "menahan diri, sehingga penafsirannya tidak menimbulkan ekses. Juga tidak menjadikan undang-undang subversi itu menjadi undang-undang yang serba guna dan mencakup segala-gala kegiatan manusia. Demikianlah kesimpulan lokakarya. Caranya? "Hakim harus mengadakan pembatasan terhadap rumusan delik, sehingga merupakan penghalusan hukum." Pembatasan itu berkaitan dengan adanya latar belakang politik atau tidak sesuatu perkara. "Hakim harus kembali pada penjelasan undang-undang, yang menyatakan, faktor latar belakang politik sangat essensial dalam membuktikan sesuatu perkara subversi atau bukan." Begitu penjelasan Z. Asikin Kusumah Atmadja SH, Hakim Agung, yang memimpin lokakarya tersebut. Penafsiran terhadap rumusan delik yang luas itu, nampaknya, mulai diciutkan. Seorang hakim menyatakan, "dalam hati kecil para hakim pada umumnya, memang tak begitu mengerti, mengapa perkara-perkara pidana biasa seperti korupsi atau ekonomi, mesti diajukan jaksa sebagai perkara subversi." Bukankah pelanggaran kejahatan ekonomi juga diancam hukuman berat -- maksimal hukuman mati juga? Hakim, selama ini, menurut pengakuan hakim di atas, "memutuskan perkara subversi, walaupun bertentangan dengan hati kecilnya." Sebab, "pengarahan secara tidak resmi yang kami terima mengharuskan menerima subversi yang diajukan jaksa, tanpa bicara soal latar belakang politik." Sekarang bagaimana?. "Secara moril kesimpulan lokakarya mengenai penerapan undang-undang subversi ini bisa mengikat dan menjadi petunjuk bagi hakim," kata Hakim Agung Asikin. "Tanpa mengurangi kebebasan hakim untuk menilai dengan keyakinannya sendiri." Sebab, Asikin sendiri mengakui, arti "latar belakang politik" masih bisa berarti luas. Bukan merongrong kewibawaan pemerintah, dalam bentuk: makar atau permufakatan jahat, sebab itu sudah dirumuskan dalam kitab hukum pidana biasa (KUHP). Istilah subversi, "justeru untuk menampung kejahatan politik modern, yang belum tercantumkan dalam pembuatan KUHP," kata Asikin. "Kejahatan politik, menurut Asikin bisa dilakukan melalui kegiatan sabotase, kebudayaan, perekonomian sampai yang terselubung lebih dari itu. Kegiatan menyuap pejabat, jika sudah terorganisir sehingga melumpuhkan mekanisme aparat pemerintah, "juga boleh disebut subversi. " Pembatasan yang jelas bagi penerapan undang-undang subversi, juga dapat menumbuhkan kewibawaan hakim yang memutus perkara. "Jangan sampai ada kesan, jika pemerintah ingin menuntut seseorang dengan tuduhan subversi, hakimpun ikut-ikutan menerapkan hukum subversi," kata Asikin. "Setelah korban-korban berjatuhan, baru sekarang kelihatan ada penerapan cara yang lain," begitu komentar Soenarto, Ketua Peradin Jaya, menanggapi keputusan bebas beberapa perkara subversi akhir-akhir ini. Dulu hakim dan jaksa selalu sependapat latar belakang politik tak usah dibuktikan untuk menuntut dan menghukum perkara subversi. Perubahan dalam menerapkan hukum itu, dinilai Soenarto, menunjukkan suatu sikap yang tidak konsisten. Tapi 'kan ada kemajuan? "Lalu bagaimana orang yang sudah terlanjur dihukum subversi, tanpa diketahui ada latar belakang politik atau tidaknya?" kata Soenarto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus