Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Makassar - Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan mendorong pihak kampus Universitas Hasanuddin (Unhas) menjatuhkan sanksi terhadap dosen pelaku perundungan mahasiswa fakultas hukum. Peristiwa itu terjadi saat penerimaan mahasiswa baru di Baruga Baharuddin Lopa, Kampus Unhas, Kamis pagi, 18 Agustus 2022.
Alita Karen, pendamping korban, mengatakan manajemen kampus harus memberikan sanksi terhadap pelaku. Jika tidak ada saksi, Alita khawatir kasus tersebut akan terulang kepada mahasiswa lain. “Alangkah bijaknya kalau manajemen kampus menjatuhkan sanksi ke dosen bersangkutan, sehingga tak ada korban lain,” ucap Alita kepada Tempo, Ahad 21 Agustus 2022.
Menurut Alita kasus serupa bisa saja pernah terjadi. Namun, ada relasi kuasa di kampus merah tersebut, sehingga akhirnya penyintas (korban) tak berani bersuara. Padahal, ucap Alita, kode etik dosen Pasal 11 sudah jelas bahwa tak ada diskriminasi termasuk orientasi seksual seseorang. Apalagi kedua pelakunya doktor, yakni dosen perempuan dan Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum Unhas, Hasrul. “Sudah jelas diatur kode etik dosen,” tutur Alita.
Alita mengakui bahwa langkah Rektor Unhas Jamaluddin Jompa yang langsung meminta maaf sudah tepat. Apalagi, kasus tersebut menyangkut isu sensitif. Sebenarnya, di tingkat korban ada kesepakatan dengan Dekan FH Unhas yang menjamin kasus serupa tak bakal terulang lagi. Meski demikian, kata Alita, pendampingan hukum sementara dilakukan untuk mematangkan antikekerasan seksual di kampus itu. “Kalau dibutuhkan, dukungan psikologi kami upayakan.”
Juru bicara Unhas, Supratman Supa Athana, mengaku masalah perundungan itu baru akan dibicarakan secara terbatas. Kampus, kata dia, bakal membentuk tim untuk menentukan sikap universitas. “Saya belum tahu kapan,” tutur Supratman.
Adapun pelaku perundungan sekaligus Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum Unhas, Hasrul, menyerahkan kasus tersebut ke Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Hamzah Halim. “Sama Pak Dekan ya,” kata Hasrul ketika dikonfirmasi.
Kasus perundungan yang dialami penyintas bermula ketika rombongan mahasiswa baru masuk ke Ruang Baharuddin Lopa, Kamis sekitar pukul 08.00 WITA. Saat itu korban memegang kipas elektrik kecil menuju ruangan bersamaan dengan Hasrul. Cara berjalan korban dianggap gemulai, sehingga dia ditegur. Korban juga dipanggil agar naik ke atas panggung.
Rekaman video peristiwa itu beredar di media sosial. Seorang dosen perempuan dalam video itu mengatakan bahwa undang-undang harus ada pilihan status antara laki-laki dan perempuan. “Harus ada pilihan, KTP-mu apa ditulis?” ucap dosen perempuan itu.
Percakapan itu ditimpali Hasrul. Komunikasi pun terjadi dengan si korban. “Di KTP apa?" Hasrul mengulangi pertanyaan, yang dijawab penyintas dengan menyebut laki-laki. Wakil Dekan kembali bertanya, di kartu siswa jenis kelaminnya apa? Korban pun kembali menjawab laki-laki.
Wakil Dekan lalu bertanya penyintas mau jadi perempuan atau laki-laki. Korban pun menjawab tidak mau kedua-duanya, ia memilih gender netral. Hasrul menimpali bahwa tak ada status netral. Korban menjawab bahwa ia mengidentifikasi (dirinya) seperti itu. Hasrul langsung mengambil mikrofon yang sedang dipegang korban.
Dia lalu memanggil panitia dan meminta korban dibawa keluar. "Kau ke sana, ambil tasmu. Kita hanya terima salah satunya laki-laki atau perempuan di sini," kata pelaku perundungan itu.
Baca Juga: Kampanye Hentikan Perundungan Digencarkan pada Hari Anak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini