Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kecuali untuk bernafas

Penyerahan hadiah bagi pemenang penulisan hukum & hak-hak azasi manusia di press club, jakarta, dihadiri oleh wapres adam malik & dirut lbh adnan buyung nasution, yang mengadakan ceramah tentang uu anti subversi.(hk)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADAM Malik berdirl di sebelah Adnan Buyung Nasution dalam suatu acara penyerahan hadiah bagi pemenang penulisan hukum yang berkenaan dengan hak-hak asasi manusia. Acara bersama Wakil Presiden itu, dua minggu lalu di Press Club, sungguh berarti banyak bagi advokat dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu. "Saya harapkan sejak saat ini kita, masyarakat dan pemerintah, akan lebih terbuka bicara soal hak-hak asasi manusia. Memang, seharusnya, tak ada yang terlarang untuk bicara soal keadilan," kata Buyung. Adam Malik menyambut acara yang diselenggarakan LBH bersama PWI itu dengan tak kurang pula terbukanya. "Hak asasi bukan untuk diteriakkan saja. Tapi harus ditunjukkan dengan cara yang sederhana agar masyarakat dan pemerintah mengetahuinya." Bukan itu saja. Tapi pidato Presiden Suharto di muka DPR dan dipertegas lagi ketika menyambut hari Nuzulul Qur'an, tentang "pemerataan keadil an hukum," juga dinilai Buyung sebagai pertanda baginya untuk angkat bicara lebih bebas. Itulah sebabnya, barangkali, tak ada halangan baginya untuk bicara tentang undang-undang anti subversi, 26 Agustus kemarin, dalam suatu ceramah umum di Gedung Kebangkitan Nasional. Sebenarnya tak ada hal baru yang dikemukakan advokat ini dalam ceramah itu. Sebab sudah biasa dilontarkannya dalam ceramah di berbagai kampus menjelang ia ditahan dengan tuduhan subversi dalam Peristiwa Malari tempo hari. "Saya tetap konsisten dengan pendapat saya dulu: Undang-undang anti subversi harus dihapuskan dan lembaga Kopkamtib harus dibubarkan dan diganti dengan lembaga lain yang lebih konstitusionil ! Perihal Kopkamtib tidak dibicarakannya lagi. Pun undang-undang anti kejahatan subversi (UU No. 11/Pnps/1963) dibahas biasa-biasa saja -- seperti diketengahkan setiap pleidoi pembela perkara-perkara subversi atau diskusi mengenai hal itu. Rancangan undang-undang subversi, kata Buyung, sebenarnya telah ditolak oleh semua fraksi -- termasuk fraksi PKI -- ketika pemerintah orla hendak mengundangkannya. Sebab, jika undang-undang itu gol, menurut semua fraksi waktu itu, berarti negara telah menganut sistem totaliter: tak ada pendirian, fikiran atau program politik selain manipol. Dan dalam manipol, tentunya, hanya dikenal kawan atau lawan politik. Lawan politik dianggap selalu cenderung merongrong pemerintah. Itu subversi. Hingga pemerintah orla memerlukan undang-undang anti subversi. Gagal menggolkan RUU tapi ketentuan anti subversi tetap saja terbit melalui Penetapan Presiden (Penpres 11/1963). Namun, menurut Buyung, justru di zaman orde-barulah Penpres yang penuh pertentangan itu disahkan oleh DPR sebagai undang-undang. Ada yang bilang DPR orba kebobolan. Ada pula yang menyatakan, seperti kata advokat Harjono Tjitrosubono dalam kongres para advokat tahun lalu, "Penpres itu sengaja diselundupkan untuk disahkan DPR." Tak ada penilaian lain, kata Buyung, kecuali hal itu sebagai "pengingkaran cita-cita orde-baru!" Sewenang-wenang Pengingkaran itu berkenaan dengan apa yang disebut Buyung Nasution sebagai "bahaya-bahaya" yang terkandung dalam undang-undang subversi. "Perumusan deliknya terlalu luas dan jauh barangkali hanya bernafas saja yang masih dibolehkan oleh undang-undang itu." Dalam pasal hukum pidana biasa memang ada rumusan delik materiil begitu. Tak usah disebutkan cara bagaimana kejahatan, misalnya penganiayaan, dilakukan oleh seorang pesakitan. Tapi akibat perbuatannya, selalu "dirumuskan secara terperinci, jelas dan terbatas." Misalnya, karena suatu penganiayaan, yang menyebabkan korbannya luka parah atau mati dapat dibuktikan melalui keterangan dokter. Sedangkan jaksa, dalam pembuktian perkara subversi selalu terang-terangan menganggap tak perlu membuktikan akibat perbuatan tertuduh. Cukup bila dinyatakan saja, "diketahui atau patut diketahui" saja dapat berakibat "merongrong kewibawaan pemerintah . . . " Menurut Buyung, sikap jaksa yang demikian itu, tak lain menunjukkan "penafsiran yang sewenang-wenang." Bahkan undang-undang subversi, katanya, boleh mengatur hukum acaranya sendiri. Mulai dari soal penahanan, penyitaan barang, ancaman hukumannya sampai cara mengadilinya. Pada dasarnya undang-undang itu hanya menjerat suatu kegiatan yang berlatarbelakang politik. Belakangan Mahkamah Agung makin memperluas rumusan. Yang tak ada sangkut-pautnya dengan politik pun, asal dapat diduga dan diketahui dapat merongrong kewibawaan pemerintah dan seterusnya, boleh diancam dengan undang-undang subversi. Jadi, kata Buyung, "bentuk dan sifat undang-undang subversi itu tidak jelas, kabur." Sehingga penyelundup, cendekiawan, budayawan sampai tokoh kebatinan dapat terjerat. Undang-undang itu juga menimbulkan kecemasan. Berapa lama seorang boleh ditahan dengan tuduhan subversi? Undang-undang itu memang telah mengaturnya. Hanya sangat berbeda dengan hukum acara penahanan yang berlaku secara umum. HIR mengatur, polisi hanya boleh menahan pesakitannya paling lama 20 hari. Jaksa boleh sampai 30 hari. Lalu hakimpun berwenang memperpanjang masa penahanan 30 hari setiap kali -- tanpa ditegaskan sampai berapa lama. Ketentuan yang umum itu "sudah terasa sewenang-wenang dan telah menimbulkan banyak penderitaan dan kesengsaraan." Lebih payah lagi penahanan cara undang-undang subversi. Seorang bisa ditahan selama setahun. Mending kalau habis waktu penahanannya si pesakitan terus dibawa ke pengadilan atau dibebaskan. Prakteknya, bila habis waktu yang dibenarkan untuk menahan, sering kali terbit surat penahanan baru yang juga berlaku setahun sejak dikeluarkannya. "Ini sangat kejam!" kata Buyung. Satu pertanyaan sederhana, tapi agaknya menarik, datang dari Pak Diro, tokoh tua yang hadir dalam ceramah Buyung tadi. "Lha, bagaimana cara yang tepat dan cepat untuk mencabut undang-undang subversi itu?" Tentu saja Buyung sudah siap menjawab. "Kalau mau cepat, ya Presiden sendiri harus mengeluarkan Penetapan Presiden sebagai pengganti undang-undang yang dapat mencabut undang-undang subversi." Sebab, kalau musti menunggu DPR turun tangan, "wah, biasanya jadi berlarut-larut" ujar Buyung. Lalu, sebagai penggantinya, Buyung Nasution kembali mengusulkan -- seperti yang diusulkan dan diterima sebagai salah satu resolusi para advokat tahun lalu-"baiknya segera disusun suatu undangundang keamanan nasional yang konstitusionil." Gayungpun bersambut. Belum seminggu Buyung berceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Menko Pokam Jenderal M. Panggabean, Senin kemarin bicara juga soal undang-undang keamanan nasional. Katanya, sudah ada persiapan untuk membuat rancangan undang-undang keamanan nasional, yang gunanya juga untuk memberantas segala kejahatan yang berbau subversi. Hanya, belum lagi pasti, adakah dengan demikian UU No 11/Pnps/1963 berarti akan tercabut dengan sendirinya. Sebab agaknya banyak orang mengharapkan begitu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus