ADA satu rancangan "Perda" (Peraturan Daerah), yang sudah
berbulan-bulan hanya terselip di tumpukan berkas saran buat
Menteri Lingkungan. Judulnya Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pemurnian Minyak Bekas.
Boleh jadi, penyampaiannya kepada Menteri Negara PPLH agak salah
alamat. Sebab konsep itu sebenarnya ditujukan kepada Pemerintah
Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), cq Dinas Perindustrian.
Pertimbangan para konseptornya ada tiga. Pertama "Minyak bekas
dalam jumlah yang cukup besar telah dibuang melalui cara-cara
yang dapat mengganggu kelestarian air dan tanah di Jakarta."
Padahal, dan ini pertimbangan kedua, "minyak bekas tersebut
merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat mendatangkan
manfaat ekonomi pada kehidupan kota Jakarta, apabila
dikonservasikan." Tapi manfaat ekonomi itu belum -- atau kurang
-- tercapai, karena "belum ada peraturan yang mengatur sirkulasi
minyak bekas ini."
Seperti yang sudah dibeberkan ir Biallpoen dan ir Aboeprajitno
dalam Lokakarya Standar Air Buangan, Januali 1977, kendaraan
bermotor dan pabrik-pabrik di Jakarta setiap tahun menelan 18
juta liter minyak pelumas (oli). Oli bekas yang kemudian dibuang
dan merembes ke selokan, akhirnya lewat sungai mengalir ke
perairan Teluk Jakarta.
Ini bisa tampak di hilir Kali Besar yang bermuara di Pasar Ikan.
Di situ banyak bengkel dan pabrik membuang sisa-sisa olinya ke
sungai. Atau di tempat pertemuan Sungai Cideng dan Sungai
Krukut, di mana buangan dari pabnk gas tampak pada perubahan
warna air. Ringkas kata, perairan Pasar Ikan hingga Kali Besar
jadi tempat penimbunan genangan oli. Baik bawaan dari sungai,
maupun buangan minyak bekas yang mungkin berasal dari
kapal-kapal yang berlabuh di situ. Akibatnya, air Kali Besar
digambarkan oleh kedua peneliti PPMPL (Pusat Penelitian Masalah
Perkotaan dan Lingkungan) itu sebagai "kotor, hitam, dan bau."
Tentang minyak bekas yang datang dari daratan DKI, kedua staf
ahli PPMPL itu merasa usaha pengolahan kembali (recycling)
minyak bekas di Jakarta "belum memadai". Sampai waktu itu -- dan
kabamya juga sampai sekarang -- baru ada tiga pengusaha pengolah
minyak bekas. atu di antaranya adalah bekas pemain sepakbola
nasional, Tan Liong Houw. Diperkirakan kemampuan mengolah minyak
bekas ketiga pengusaha itu masing-masing 200 ribu liter sebulan.
Setahun ketiganya hanya dapat menampung kembali 7,2 juta liter
oli bekas. Itu belum separuh dari seluruh konsumsi minyak
pelumas di Jakarta, yang setahunnya 18 juta liter.
Mau diapakan kelebihan 11 jutaliter minyak bekas yang mubazir
tiap tahun? Inilah yang mendorong ahli-ahli lingkungan dalam
Kelompok Pertambangan & Enerji Seminar Nasional yang lampau,
menyusun rancangan Perda tersebut di atas.
Di situ diusulkan, agar semua bengkel servis mobil dan motor
menyediakan fasilitas penampungan minyak bekas. Juga semua
industri yang langsung atau tak langsung menghasilkan minyak
bekas.
Tak cuma kedua jenis usaha itu yang terkena tapi juga
pengecer-pengecer bensin dan oli di pinggir jalan. Mereka
nantinya diharuskan menyediakan tiga tempat pembuangan minyak
bekas di dekat kios atau raknya. Dan, supaya si pengendara motor
yang mau ganti oli tak gegabah membuang oli bekasnya ke tanah,
si pengecer oli dan bensin itu harus memasang papan pengumuman,
yang sedikitnya berukuran 50 x 60 cm. Isinya mengingatkan adanya
larangan membuang oli sembarangan, sambil menunjuk ke kaleng
yang disediakan.
Rancangan Perda itu memang teknis sekali. Di situ juga
ditentukan, persyaratan apa yang harus dipenuhi oleh industri
pengolah minyak bekas itu nantinya. Misalnya: harus bebas dari
air dan partikel lain, terutama yang dapat mengikis permukaan
logam yang justru harus dilumasinya. Viskositas (keenceran atau
kekentalan), titik nyala terendah, bahkan warnanya pun harus
memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan standar Society of
Automotive Engineers (SAE), API, ASTM dan entah apa lagi.
Perangsang Untuk Swasta
Hukum untuk pelanggaran Rancangan Perda itu pun sudah
difikirkan. Yakni maksimal 6 bulan, atau denda yang belurn
ditetapkan jumlahnya.
Namun satu hal yang mungkin masih perlu difikirkan adalah:
perangsang apa yang mau diberikan Pemerintah DKI buat
orang-orang swasta yang mau terjun ke bidang itu? Sebab makin
ramai orang berjualan minyak bekas yang sudah diolah kembali,
harganya boleh jadi akan jatuh. Setidak-tidaknya tak begitu
menggairahkan seperti sekarang ini, tatkala ketiga pengusaha
yang bergerak di bidang ini masih menikmati semacam monopoli.
Terang saja ada pihak yang porsi rezekinya bakal berkurang kalau
recycling oli bekas secara besar-besaran menjadi ketentuan
pemerintah. Misalnya livisi BBM (bahan bakar motor) Pertamina,
yang merupakan salah satu distributor minyak pelumas yang
terbesar di Indonesia. Tapi mungkin Pertamina sendiri mau terjun
dalam usaha recycling ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini