Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Minyak Bekas Itu Kotor Dan Mubazir

Jakarta tiap tahun menghasilkan 18 juta liter minyak pelumas (oli) bekas yang dapat mencemarkan air & tanah. Perda tentang pemurnian minyak bekas belum terlaksana, beberapa pengusaha mulai mengolah minyak tersebut. (ling)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA satu rancangan "Perda" (Peraturan Daerah), yang sudah berbulan-bulan hanya terselip di tumpukan berkas saran buat Menteri Lingkungan. Judulnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Pemurnian Minyak Bekas. Boleh jadi, penyampaiannya kepada Menteri Negara PPLH agak salah alamat. Sebab konsep itu sebenarnya ditujukan kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), cq Dinas Perindustrian. Pertimbangan para konseptornya ada tiga. Pertama "Minyak bekas dalam jumlah yang cukup besar telah dibuang melalui cara-cara yang dapat mengganggu kelestarian air dan tanah di Jakarta." Padahal, dan ini pertimbangan kedua, "minyak bekas tersebut merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi pada kehidupan kota Jakarta, apabila dikonservasikan." Tapi manfaat ekonomi itu belum -- atau kurang -- tercapai, karena "belum ada peraturan yang mengatur sirkulasi minyak bekas ini." Seperti yang sudah dibeberkan ir Biallpoen dan ir Aboeprajitno dalam Lokakarya Standar Air Buangan, Januali 1977, kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik di Jakarta setiap tahun menelan 18 juta liter minyak pelumas (oli). Oli bekas yang kemudian dibuang dan merembes ke selokan, akhirnya lewat sungai mengalir ke perairan Teluk Jakarta. Ini bisa tampak di hilir Kali Besar yang bermuara di Pasar Ikan. Di situ banyak bengkel dan pabrik membuang sisa-sisa olinya ke sungai. Atau di tempat pertemuan Sungai Cideng dan Sungai Krukut, di mana buangan dari pabnk gas tampak pada perubahan warna air. Ringkas kata, perairan Pasar Ikan hingga Kali Besar jadi tempat penimbunan genangan oli. Baik bawaan dari sungai, maupun buangan minyak bekas yang mungkin berasal dari kapal-kapal yang berlabuh di situ. Akibatnya, air Kali Besar digambarkan oleh kedua peneliti PPMPL (Pusat Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan) itu sebagai "kotor, hitam, dan bau." Tentang minyak bekas yang datang dari daratan DKI, kedua staf ahli PPMPL itu merasa usaha pengolahan kembali (recycling) minyak bekas di Jakarta "belum memadai". Sampai waktu itu -- dan kabamya juga sampai sekarang -- baru ada tiga pengusaha pengolah minyak bekas. atu di antaranya adalah bekas pemain sepakbola nasional, Tan Liong Houw. Diperkirakan kemampuan mengolah minyak bekas ketiga pengusaha itu masing-masing 200 ribu liter sebulan. Setahun ketiganya hanya dapat menampung kembali 7,2 juta liter oli bekas. Itu belum separuh dari seluruh konsumsi minyak pelumas di Jakarta, yang setahunnya 18 juta liter. Mau diapakan kelebihan 11 jutaliter minyak bekas yang mubazir tiap tahun? Inilah yang mendorong ahli-ahli lingkungan dalam Kelompok Pertambangan & Enerji Seminar Nasional yang lampau, menyusun rancangan Perda tersebut di atas. Di situ diusulkan, agar semua bengkel servis mobil dan motor menyediakan fasilitas penampungan minyak bekas. Juga semua industri yang langsung atau tak langsung menghasilkan minyak bekas. Tak cuma kedua jenis usaha itu yang terkena tapi juga pengecer-pengecer bensin dan oli di pinggir jalan. Mereka nantinya diharuskan menyediakan tiga tempat pembuangan minyak bekas di dekat kios atau raknya. Dan, supaya si pengendara motor yang mau ganti oli tak gegabah membuang oli bekasnya ke tanah, si pengecer oli dan bensin itu harus memasang papan pengumuman, yang sedikitnya berukuran 50 x 60 cm. Isinya mengingatkan adanya larangan membuang oli sembarangan, sambil menunjuk ke kaleng yang disediakan. Rancangan Perda itu memang teknis sekali. Di situ juga ditentukan, persyaratan apa yang harus dipenuhi oleh industri pengolah minyak bekas itu nantinya. Misalnya: harus bebas dari air dan partikel lain, terutama yang dapat mengikis permukaan logam yang justru harus dilumasinya. Viskositas (keenceran atau kekentalan), titik nyala terendah, bahkan warnanya pun harus memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan standar Society of Automotive Engineers (SAE), API, ASTM dan entah apa lagi. Perangsang Untuk Swasta Hukum untuk pelanggaran Rancangan Perda itu pun sudah difikirkan. Yakni maksimal 6 bulan, atau denda yang belurn ditetapkan jumlahnya. Namun satu hal yang mungkin masih perlu difikirkan adalah: perangsang apa yang mau diberikan Pemerintah DKI buat orang-orang swasta yang mau terjun ke bidang itu? Sebab makin ramai orang berjualan minyak bekas yang sudah diolah kembali, harganya boleh jadi akan jatuh. Setidak-tidaknya tak begitu menggairahkan seperti sekarang ini, tatkala ketiga pengusaha yang bergerak di bidang ini masih menikmati semacam monopoli. Terang saja ada pihak yang porsi rezekinya bakal berkurang kalau recycling oli bekas secara besar-besaran menjadi ketentuan pemerintah. Misalnya livisi BBM (bahan bakar motor) Pertamina, yang merupakan salah satu distributor minyak pelumas yang terbesar di Indonesia. Tapi mungkin Pertamina sendiri mau terjun dalam usaha recycling ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus