Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kejari & Gigi Seri

Lbh dari lp glodok mendapatkan fakta, 245 orang tahanan belum disidang, 131 divonis, 27 menunggu keputusan. laporan-laporan lpc ke kejari belum sampai ke kejati, birokrasi ketat salah satu hambatan sidang.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM bulan dalam sebuah tahanan tjukup menjuburkan hal-hal diluar dugaan. Pertama karena betapapun bui sudah mempunjai nama baru, hidup dalam tahanan tidaklah sedamai hidup bebas diluar. Lebih daripada katak dibawah tempurung, orang jang berada dalam status tahanan selalu mendambakan kepastian: salahkah? Sementara itu, bini jang belia sudah minta tjerai, dan akan anak, siapa gerangan jang membela? Maka adalah seorang pemuda bermuka botjah -- tanpa 2 buah gigi seri. Sekitar 4 bulan jang lalu, ia masih berstatus tahanan dan tinggal bertjampur baur dalam satu ruang besar dengan hampir 50 orang lainnja -- jang djuga diduga berbuat djahat S bin A, pemuda itu menurut pengakuannja sudah berada di LPC Glodok selama 6 bulan, sedangkan sebelumnja selama 2 bulan, ia adalah simpanan Polisi Djatibaru. "Hingga sekarang saja belum pernah dibawa kepengadilan", katanja melas. Pemuda 28 tahun itu, sementara teman-temannja jang lain berkerumun, mendjelaskan asal mulanja ia sampai kedaerah jang tak pernah diimpikan itu. "Pada suatu hari saja beli 80 set gambar-gambar porno di Tandjungpriok dan pulang dari sana disekitar Monas, saja ditangkap polisi", berkata S bin A jang menurut pengakuannja sudah mengabulkan permintaan tjerai isterinja jang berumur 22 tahun. Satu set dibeli Rp 50 dan didjual Rp 75 dan dengan itu ia bermaksud menghidupi keluarganja. Dengan nada mengadu ia berkali-kali menanjakan mengapa sudah begitu lama belum djuga diadili. Menit kemenit. Tidak djelas apakah S bin A sekarang ini masih bertanja-tanja tentang nasibnja ataukah pengadilan sudah memberi djawaban. Jang kelihatan djelas adalah bahwa S bin A jang lain masih banjak. Misalnja baru-baru ini Lembaga Bantuan Hukum telah mendatangi para tahanan di Glodok dan menangkal sedjumlah fakta, jang selama ini tak banjak dipedulikan siapa-siapa. Ada 403 orang tahanan disana jang terdiri dari kelas A 1 (belum disidangkan) 245 orang, A 2 (belum divonis) 131 orang dan A 3 (menunggu keputusan banding) sebanjak 27 orang. Djumlah itu sendiri dibanding dengan keadaan 4 bulan jang lalu mulai menurun (TEMPO, 10 April 1971), maknanja kerdja Djaksa dan Pengadilan mulai nampak. Akan tetapi laporan Lembaga itu menjebutkan bahwa rata-rata dari tahanan sementara itu sudah berada disana selama 6 bulan, malah ada jang sudah 2 kali 6 bulan. Menurut Buyung Nasution, Direktur lembaga Bantuan Hukum, inisiatif mempertjepat proses penjidangan sesuatu perkara bisa datang dari LPC, jaitu membuat laporan bulanan mengenai para tahanan jang ada di wilajahnja. Dan Glodok, seperti katanja telah melakukan hal itu. Misalnja melapor ke Polisi dan ke Kedjaksaan. Soalnja tanggapan dari jang dihubungi jang kurang "Mereka tidak tahu bagaimana rasanja lama menunggu ditahanan dari menit ke-menit, dari djam kedjam sampai berhari bahkan berbulan-bulan kata Buyung pula. Lalu dimana mentjongja? Sebagai seorang bekas djaksa, Buyung Nasution banjak tahu akan liku-liku kisah sebuah perkara. Tapi bagaimanapun ia kini hanjalah orang luar. Kalau begitu apa kata orang dalam? "Betul, soal tahanan adalah soal Kedjaksaan", berkata Poediono. djaksa berstrip dua dengan bintang satu di-pundaknja. "Dan kami menjesalkan kenapa Lembaga tidak minta izin dulu sebelum mengundjungi mereka". Sebagai Asisten II Kedjaksaan Tinggi Djakarta Raya, sardjana Hukum itu kemudian mentjoba mendudukkan perkara diporsinja Katanja kalaupun ada laporan dari LPC, maka laporan itu disampaikan pada Kedjari-Kedjari (Kedjaksaan Negeri) setempat. Dan laporan dari Kedjari ke Kedjaksaan Tinggilah jang belum diterima dan karena itulah ia sebagai perwira Kedjaksaan bidang Operasi belum mengetahui tjerita tentang banjaknja orang-orang jang sudah lama mendekam ditahanan. Namun begitu, katanja Kedjaksaan Tinggi bukannja tidak menaruh perhatian pada soal-soal penahanan, malah dalam waktu dekat fihaknja akan mengadakan penindjauan on the spot. Huruf-huruf. Kiranja betapapun Kedjaksaan Tinggi merasa dirinja awam fakta-fakta sebagaimana ditemui Lembaga Bantuan Hukum, sudah bukan rahasia lagi. Dan taruhlah Kedjaksaan Tinggi mengetahui hal itu dari kabar angin atau pun huruf-huruf suratkabar, lalu bagaimana soalnja? "Sebabnja banjak", kata Soediono, jang menjatakan baru 13 hari memegang djabatannja itu. Dan jang pokok, menurut bekas Kepala Kedjari Madiun itu adalah bagaimana susahnja menghadirkan saksi-saksi. Alamat mereka sering berobah atau tempat tinggal jang tidak diketahui. "Misalkan ada saksi" landjutnja "tapi diantara mereka tak ada saksi jang dianggap penting, djadi harus mentjari lagi". Disini Poediono kelihatan punja alasan-alasan praktis. Betul djaksa alat negara, jang nota bene harus lengkap segala peralatannja, tapi umumnja petugas-petugas penegak hukum itu pada mengeluh, karena untuk memanggil saksi harus keluar ongkos sendiri, seperti djuga umpamanja untuk mentjari alat-alat bukti jang lain. Apalagi kalau diluar kota. Akan tetapi konon kabarnja, itu bukanlah alasan satu-satunja. Ada penjebab lain, seperti soal birokrasi jang ketat dilingkungan Kedjaksaan sendiri, dimana akibatnja berkas-berkas perkara banjak jang tertimbun di Sekretariat dan belum dilimpahkan kepada djaksa pemeriksa. Setidaknja ini adalah pengalaman Adnan Buyung Nasution sewaktu ia masih mendjabat sebagai djaksa. Ada djuga akibat jang dibuat karena keteledoran djaksa, jaitu menumpuk berkas perkara orang jang ditahan lama dan berka orang jang hanja ditahan luar Menurut Buyung jang berkatja dari pengalamannja, hal-hal begini harus dipisahkan -- tapi itulah, seperti kata Buyung pula: "bahkan djaksa sendiri tidak tahu menahu, berapa lama sudah ditahan orang jang diperiksanja itu". Demikianlah ternjata para warganegara jang sial karena tertangkap, masih harus mengurut dada, menunggu-nunggu bagaimana nasib mereka. Soalnja, hanjalah seperti garis besar suara hati mereka: Katakanlah kami bersalah, tapi adililah kami semestinja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus