ENAM bulan dalam sebuah tahanan tjukup menjuburkan hal-hal
diluar dugaan. Pertama karena betapapun bui sudah mempunjai nama
baru, hidup dalam tahanan tidaklah sedamai hidup bebas diluar.
Lebih daripada katak dibawah tempurung, orang jang berada dalam
status tahanan selalu mendambakan kepastian: salahkah? Sementara
itu, bini jang belia sudah minta tjerai, dan akan anak, siapa
gerangan jang membela?
Maka adalah seorang pemuda bermuka botjah -- tanpa 2 buah gigi
seri. Sekitar 4 bulan jang lalu, ia masih berstatus tahanan dan
tinggal bertjampur baur dalam satu ruang besar dengan hampir 50
orang lainnja -- jang djuga diduga berbuat djahat S bin A,
pemuda itu menurut pengakuannja sudah berada di LPC Glodok
selama 6 bulan, sedangkan sebelumnja selama 2 bulan, ia adalah
simpanan Polisi Djatibaru. "Hingga sekarang saja belum pernah
dibawa kepengadilan", katanja melas. Pemuda 28 tahun itu,
sementara teman-temannja jang lain berkerumun, mendjelaskan asal
mulanja ia sampai kedaerah jang tak pernah diimpikan itu. "Pada
suatu hari saja beli 80 set gambar-gambar porno di Tandjungpriok
dan pulang dari sana disekitar Monas, saja ditangkap polisi",
berkata S bin A jang menurut pengakuannja sudah mengabulkan
permintaan tjerai isterinja jang berumur 22 tahun. Satu set
dibeli Rp 50 dan didjual Rp 75 dan dengan itu ia bermaksud
menghidupi keluarganja. Dengan nada mengadu ia berkali-kali
menanjakan mengapa sudah begitu lama belum djuga diadili.
Menit kemenit. Tidak djelas apakah S bin A sekarang ini masih
bertanja-tanja tentang nasibnja ataukah pengadilan sudah memberi
djawaban. Jang kelihatan djelas adalah bahwa S bin A jang lain
masih banjak. Misalnja baru-baru ini Lembaga Bantuan Hukum telah
mendatangi para tahanan di Glodok dan menangkal sedjumlah fakta,
jang selama ini tak banjak dipedulikan siapa-siapa. Ada 403
orang tahanan disana jang terdiri dari kelas A 1 (belum
disidangkan) 245 orang, A 2 (belum divonis) 131 orang dan A 3
(menunggu keputusan banding) sebanjak 27 orang.
Djumlah itu sendiri dibanding dengan keadaan 4 bulan jang lalu
mulai menurun (TEMPO, 10 April 1971), maknanja kerdja Djaksa dan
Pengadilan mulai nampak. Akan tetapi laporan Lembaga itu
menjebutkan bahwa rata-rata dari tahanan sementara itu sudah
berada disana selama 6 bulan, malah ada jang sudah 2 kali 6
bulan. Menurut Buyung Nasution, Direktur lembaga Bantuan Hukum,
inisiatif mempertjepat proses penjidangan sesuatu perkara bisa
datang dari LPC, jaitu membuat laporan bulanan mengenai para
tahanan jang ada di wilajahnja. Dan Glodok, seperti katanja
telah melakukan hal itu. Misalnja melapor ke Polisi dan ke
Kedjaksaan. Soalnja tanggapan dari jang dihubungi jang kurang
"Mereka tidak tahu bagaimana rasanja lama menunggu ditahanan
dari menit ke-menit, dari djam kedjam sampai berhari bahkan
berbulan-bulan kata Buyung pula.
Lalu dimana mentjongja? Sebagai seorang bekas djaksa, Buyung
Nasution banjak tahu akan liku-liku kisah sebuah perkara. Tapi
bagaimanapun ia kini hanjalah orang luar. Kalau begitu apa kata
orang dalam? "Betul, soal tahanan adalah soal Kedjaksaan",
berkata Poediono. djaksa berstrip dua dengan bintang satu
di-pundaknja. "Dan kami menjesalkan kenapa Lembaga tidak minta
izin dulu sebelum mengundjungi mereka". Sebagai Asisten II
Kedjaksaan Tinggi Djakarta Raya, sardjana Hukum itu kemudian
mentjoba mendudukkan perkara diporsinja Katanja kalaupun ada
laporan dari LPC, maka laporan itu disampaikan pada
Kedjari-Kedjari (Kedjaksaan Negeri) setempat. Dan laporan dari
Kedjari ke Kedjaksaan Tinggilah jang belum diterima dan karena
itulah ia sebagai perwira Kedjaksaan bidang Operasi belum
mengetahui tjerita tentang banjaknja orang-orang jang sudah lama
mendekam ditahanan. Namun begitu, katanja Kedjaksaan Tinggi
bukannja tidak menaruh perhatian pada soal-soal penahanan, malah
dalam waktu dekat fihaknja akan mengadakan penindjauan on the
spot.
Huruf-huruf. Kiranja betapapun Kedjaksaan Tinggi merasa dirinja
awam fakta-fakta sebagaimana ditemui Lembaga Bantuan Hukum,
sudah bukan rahasia lagi. Dan taruhlah Kedjaksaan Tinggi
mengetahui hal itu dari kabar angin atau pun huruf-huruf
suratkabar, lalu bagaimana soalnja? "Sebabnja banjak", kata
Soediono, jang menjatakan baru 13 hari memegang djabatannja itu.
Dan jang pokok, menurut bekas Kepala Kedjari Madiun itu adalah
bagaimana susahnja menghadirkan saksi-saksi. Alamat mereka
sering berobah atau tempat tinggal jang tidak diketahui.
"Misalkan ada saksi" landjutnja "tapi diantara mereka tak ada
saksi jang dianggap penting, djadi harus mentjari lagi". Disini
Poediono kelihatan punja alasan-alasan praktis. Betul djaksa
alat negara, jang nota bene harus lengkap segala peralatannja,
tapi umumnja petugas-petugas penegak hukum itu pada mengeluh,
karena untuk memanggil saksi harus keluar ongkos sendiri,
seperti djuga umpamanja untuk mentjari alat-alat bukti jang
lain. Apalagi kalau diluar kota.
Akan tetapi konon kabarnja, itu bukanlah alasan satu-satunja.
Ada penjebab lain, seperti soal birokrasi jang ketat
dilingkungan Kedjaksaan sendiri, dimana akibatnja berkas-berkas
perkara banjak jang tertimbun di Sekretariat dan belum
dilimpahkan kepada djaksa pemeriksa. Setidaknja ini adalah
pengalaman Adnan Buyung Nasution sewaktu ia masih mendjabat
sebagai djaksa. Ada djuga akibat jang dibuat karena keteledoran
djaksa, jaitu menumpuk berkas perkara orang jang ditahan lama
dan berka orang jang hanja ditahan luar Menurut Buyung jang
berkatja dari pengalamannja, hal-hal begini harus dipisahkan --
tapi itulah, seperti kata Buyung pula: "bahkan djaksa sendiri
tidak tahu menahu, berapa lama sudah ditahan orang jang
diperiksanja itu".
Demikianlah ternjata para warganegara jang sial karena
tertangkap, masih harus mengurut dada, menunggu-nunggu bagaimana
nasib mereka. Soalnja, hanjalah seperti garis besar suara hati
mereka: Katakanlah kami bersalah, tapi adililah kami semestinja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini