Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kekejaman antarwanita

Wanita barat cenderung menyabot sesama kaumnya. mereka tak suka kalau wanita lain lebih sukses. dengan makin derasnya minat untuk menjadi wanita karier, persaingan otomatis menghebat diantara kaum pria.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI masa jayanya, Syah Iran pernah mencetus begini, "Wanita, kalau diberi kekuasaan, akan lebih kejam dari pria." Tak jelas bagaimana reaksi wanita Iran waktu itu. Yang pasti, Maharani Farah Diba diberi keleluasaan bergerak untuk memajukan kaumnya. Dan ini cocok dengan kondisi sosial politik di masa pra-Khomeini. Iran tergolong negara Islam paling sekuler di dunia, dengan kaum wanita yang tampaknya tidak terbelenggu "dominasi pria". Namun, dua tahun lalu muncul seorang Cory Aquino di pentas politik Filipina. Pribadi wanita yang lebih suka disebut sebagai ibu rumah tangga ini, dan gaya kepemimpinannya, membuktikan bahwa pendapat Syah Iran tersebut tidak berdasar. Di mata rakyatnya Cory adalah lambang kejujuran dan welas asih, dua hal yang tak pernah bisa diberikan oleh bekas Presiden Marcos. Ia justru mengangkat beberapa menteri wanita - sedang Marcos cuma bersedia mengorbitkan Imelda. Terlepas dari soal mana yang benar, pernyataan Syah Iran itu agaknya perlu dikaji dari sisi lebih sempit. Pasalnya, kalau yang dimaksud Syah Iran adalah "lebih kejam pada sesama kaumnya", bisa jadi dia tak meleset. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa persaingan di antara sesama kaum wanita bisa lebih keji dari antara sesama pria, atau antara pria dan wanita. Salah satu penelitian dilakukan oleh Judith Briles, yang hasilnya diterbitkan dalam buku Woman to Woman: From Sabotage to Support. Dia mengumpulkan 300 kesaksian yang menyatakan bahwa kaum wanita di tempat kerjanya saling menyerang dengan melontarkan racun kebusukan yang dikemas sangat rapi. "Bila ada wanita menyabot seseorang, sasarannya lebih banyak tertuju pada wanita lain," ujarnya. Kasus Laurie Bernstein, pengacara wanita di sebuah kantor pengacara di AS, agaknya sangat cocok mewakili teori Briles. Ketika baru bekerja di sana, sambutan paling dingin justru datang dari seorang pengacara wanita, yang sebelumnya tak punya rekan kerja wanita. Dan suatu saat, ketika Laurie kehilangan dokumen-dokumen penting pengadilan, dia berhasil menemukan dokumen-dokumen itu di kotak surat wanita tadi. Persoalan yang dihadapi pengacara wanita Deborah Dugan lain lagi. Di tempat kerja barunya, sebuah kantor pengacara di Los Angeles, seorang sekretaris wanita menolak mentah-mentah semua perintahnya, kendati sekretaris ini bawahannya langsung. Alasannya: dia akan mendapat kesulitan jika menerima perintah dari wanita lain. Sedangkan Mary Mc Carthy, Wakil Presiden Senior MGM/UA, yang pernah mengatakan bahwa wanita di perusahaannya punya solidaritas tinggi - justru mengalami hal yang jauh dari sedap. Dia pernah disabot seorang wanita sekretaris eksekutif, yang iri pada kedudukannya. Penelitian Luise Eichenbaum dan Susie Orbach, yang diterbitkan dalam buku Between Women: Love, Envy, and Competition in Women's Friendship, juga menunjukkan kesimpulan hampir serupa dengan Briles. "Hubungan akrab di antara kaum wanita telah retak," ujar kedua peneliti wanita itu. Dengan kata lain, persahabatan di antara wanita sering malah jadi penghalang untuk sukses. Soalnya, promosi yang dicapai wanita yang satu bisa menimbulkan kekecewaan bekas rekan setingkat, dan teman wanita yang terpaksa jadi bawahannya. Andai kata promosi itu tetap diterima, persoalan laten akan terus mengintip wanita tadi. Tak hanya soal kecewa atau iri hati, tapi juga menyangkut hubungan kerja. Kathy Schirer, administrator serikat buruh di Manhattan, sampai mengaku cenderung untuk tidak membuka hubungan langsung dengan wanita bawahannya, kendati dia tahu sikapnya menyakitkan mereka. "Sebagian wanita tak bisa melihat kenyataan," ujarnya. Tapi bagaimanapun kenyataan membuktikan, adalah solidaritas yang kuat yang membuat wanita bisa menerobos berbagai posisi eksekutif, manajer, dan bidang profesi yang dahulu melulu dikuasai kaum pria. Ingat, kaum wanita mulai deras menyerbu jabatan-jabatan penting di kantor-kantor pada awal tahun 1970-an, bersamaan dengan masa gencarnya gerakan persamaan hak kaum wanita hampir di seluruh dunia (di AS gerakan Women's Lib paling populer kala itu, kendati sering dicibirkan kaum pria). Sampai sekarang pun masih ada usaha atau bisnis yang dikelola berdasarkan solidaritas kaum wanita. Renee Berliner Rush dan Julie Anne Banon, keduanya wanita pengacara, bisa dijadikan contoh. Dahulu, ketika masih bekerja di sebuah kantor pengacara di Manhattan, keduanya sepakat untuk salin mendukung karier mereka. Kini kedua wanita itu sudah mendirikan perusahaan sendiri, yang bergerak di bidang pencarian bakat calon pengacara. Di Indonesia, ada Djeumpa Kemala, manajer kantor International Business Center. Di tempat kerjanya, hampir semua manajernya terdiri atas kaum wanita, kecuali beberapa kursi eksekutif. Dia merasa puas dan bahagia. "Bekerja sama dengan sesama wanita lebih enak, karena mereka menyelesaikan tugas sampai detail. Kalau dengan pria, wah cukup repot. Mereka kurang suka pada hal-hal kecil," katanya. Bertolak dari kenyataan itulah, para ahli ilmu jiwa tak menganggap peri laku itu berkaitan dengan genetika atau bawaan sejak lahir, tapi lebih terkait pada keadaan lingkungan. Sebab, dengan makin derasnya minat untuk menjadi wanita karier, persaingan otomatis menghebat, sementara dominasi kaum pria belum surut. "Mereka didorong untuk menjadi agresif," tulis Eichenbaum dan Orbach. Tapi ada juga pandangan lain. Menurut Niles Newton, ahli ilmu peri laku dari Northwestern Medical School, kecenderungan wanita untuk cemburu kepada kaumnya disebabkan pengalaman mereka. "Itu berasal dari perasaan tak aman, karena di tempat kerja, mereka kalah melulu dengan pria," ujarnya. Kapan wanita bisa meninggalkan peri laku tak terpuji itu? Sulit ditebak. Coba simak pengalaman Laura Srebnik, guru sebuah sekolah komputer di Manhattan. Suatu hari ia menghadiri sebuah lobbying partai politik. Di sana dia baru tahu bahwa seorang rekan sekerjanya, ternyata, jadi ketua. Sebaliknya, sang teman juga baru tahu bahwa dia anggota lobby itu. Lalu apa yang terjadi ? Temannya tiba-tiba bersikap bermusuhan. Sejak saat itu pula, Laura terdorong untuk melakukan hal yang sama. Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus