BANYAK orang bertanya, kok harga beras naik terus? Di Solo, misalnya, beras Cisadane 1 masih ada yang dijual dengan harga Rp 600,00 per kg. Serta-merta Bulog (Badan Urusan Logistik) dijadikan biang keladinya. Dan seorang pedagang beras di Jakarta ringan bersuara, "Soalnya, harga gabah sudah naik, dan beras dari Bulog juga naik." Harga dasar gabah kering giling (GKG) memang sudah dinaikkan, dari Rp 190,00 menjadi Rp 210,00 atau naik 10,5%. "Kenaikan tersebut diharapkan dapat mendorong laju peningkatan produksi beras, meningkatkan pendapatan petani, sekaligus menyediakan stok pangan nasional," ujar Bustanil Arifin, Kepala Bulog, pada acara dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, awal bulan ini. Bisa diduga, kenaikan harga patokan itu membuat harga beras di pasaran terangkat naik, di samping pengaruh kemarau panjang - lebih dari 6 bulan tahun lalu. Para tengkulak jadi lebih berani menawar harga. Itu diakui E. Kosasih, 59 tahun, petani di Desa Telarsari, Karawang. "Mereka menawar Rp 26 ribu per kuintalnya," katanya. Harga itu berarti Rp 50,00 per kg di atas patokan Bulog. Di Desa Ngerong, Pasuruan, Jawa Timur, petani Shodiq - punya sawah sekitar 1,5 ha - mengatakan, tengkulak-tengkulak di sana berani membeli dengan harga sampai Rp 230,00 per kg. Padahal, kadar air gabah kering itu bisa mencapai 23%, jauh lebih tinggi dibandingkan standar Bulog, yang cuma 14%. Toh setelah musim "paceklik" lewat pelan-pelan harga itu akan turun dengan sendirinya. Dan petani seperti Kosasih tentu tak bisa mempengaruhi harga, kendati beberapa minggu lalu ia tahu ada tetangga yang bisa menjual sampai Rp 30 ribu per kuintal. Ia sendiri rela melepas bila tengkulak mau membayarnya Rp 27 ribu saja. Maklum, sebentar lagi panen raya - biasanya akhir Januari atau awal Februari - dan harga gabah akan ambruk seperti biasanya. Kendati harga di tingkat petani sudah cenderung turun, harga di tingkat konsumen masih di awang-awang. Padahal, Bulog sudah mencoba menetralkan. Akhir bulan lalu Bulog sudah mendrop sampai 400 ribu ton beras ke berbagai wilayah yang harga berasnya melonjak-lonjak. Jakarta saja sudah menghabiskan stok Bulog 136 ribu ton. Dan dalam waktu dekat masih akan melakukan operasi pasar sekitar 200 ribu ton lagi. Stok beras di gudang-gudang Bulog diperkirakan tinggal sekitar 800 ribu ton. Hal ini agak mengkhawatirkan, karena biasanya di saat menjelang panen raya, Bulog masih menyimpan kira-kira 2 juta ton. Bulog perlu tok untuk golongan anggaran 1,5 juta ton setahun, dan sekitar 1 juta ton lagi untuk mengamankan harga beras bila produksi merosot. Sementara itu, perkiraan produksi tahun ini 28,3 juta ton setara beras, meningkat 1 juta ton dari perkiraan tahun lalu, yang 27,3 juta ton. Namun, akibat kemarau panjang baru lalu, timbul keraguan apakah target itu bisa dicapai. Bahkan ahli-ahli pertanian di Amerika mengira, Indonesia tahun ini akan impor beras 500 ribu sampai 1,5 juta ton. Kalau benar, apakah ini berarti kita hanya anggup berswasembada beras satu-dua tahun? Menurut Dudung Abdul Adjid, Sekretaris Badan Pengendali Bimas, produktivitas padi di Indonesia tak kalah dibandingkan Cina, yang bisa mencapai sekitar 4 ton gabah. Tapi keyakinan bisa mencapai produksi 28,3 juta ton itu disandarkan pada paket supra-insus, yang kini luas arealnya mencapai lebih dari 590 ribu hektar. Dengan supra-insus itu, produktivitas bisa dikatrol menjadi 11 ton gabah kering panen per hektar. "Untuk meningkatkan 1 juta ton tahun ini, saya yakin bisa," tambahnya. Karena itu, ia tidak mempercayai ramalan ahli Amerika tadi. Apalagi tahun-tahun sebelumnya ramalan mereka meleset. Pada 1983, misalnya, Indonesia dikira akan impor 1,8 juta ton beras, kenyataannya cuma 800 ribu ton. Yang hampir pasti, Bulog boleh dikata agak kritis kini. Dengan stok akhir menjelang panen raya sebesar 800 ribu ton itu, berarti Bolog perlu menyerap hampir 2 juta ton setara beras, agar bisa menjalankan fungsinya. Pekerjaan itu berat, karena kreditnya dari BRI jadi membengkak, mengingat harga dasar naik. Sedangkan sebagian dana Bulog masih dalam bentuk piutang (lihat Bulog: Piutangmu Kini). Lantas apakah Bulog berani membeli, andai kata harga gabah ternyata di atas harga dasar? Menteri Pertanian Ir. Achmad Affandi pernah mengisyaratkan, kalau perlu Bulog beli di atas harga dasar Tapi Shodiq, yang mengikuti paket supra-insus di Ja-Tim itu, menduga tak akan bisa menjual gabahnya saat panen raya nanti, dengan harga Rp 200,00 seperti sekarang. Padahal, menurut Shodiq, dengan harga setinggi itulah ia baru merasa ada peningkatan keuntungan. Lagi pula, biaya produksinya juga sudah melonjak. Bayangkan saja, ia sudah menanggung kenaikan harga pupuk Rp 10,00 per kg sejak Oktober 1987 - bersamaan dengan pengumuman kenaikan harga dasar. Harga bibit IR-36 naik Rp 50,00 menjadi Rp 375,00 per kg. Insektisida naik Rp 2.000,00 per liter. Sedangkan ongkos tenaganya naik antara Rp 250,00 dan Rp 500,00. Total biaya per hektar yang harus dikeluarkan Shodiq mencapai Rp 500 ribu. Itu termasuk biaya sewa tanah biarpun tanah itu miliknya sendiri maklum, Pajak Bumi dan Bangunan juga harus dibayar. Sementara itu, produksi per hektarnya kira-kira mencapai 9 ton. Berarti pendapatannya sekitar Rp 2 juta, kalau dihargai Rp 210,00 per kg. Berarti Shodiq sudah harus puas dengan keuntungan kotor Rp 400 ribu, yang jumlahnya tak beda dengan laba sebelum harga dasar gabah kering giling dinaikkan. Karena itulah Shodiq, seperti juga Tarmin, yang bersawah di Delanggu, Jawa Tengah, lebih suka menjual ke tengkulak. Tapi "Kalau ditawar sangat rendah saat panen raya, baru saya jual ke KUD," kata ayah yang menghidupi seorang istri dengan empat anak itu. Hanya saja, Tarmin harus mengeluarkan tambahan biaya untuk mengeringkan gabahnya, agar sesuai dengan standar yang ditetapkan. "Kalau tidak, KUD tak mau beli," katanya. Memang KUD tidak seperti kebanyakan tengkulak, yang mau membeli dengan kualitas apa pun. KUD seperti dihinggapi "penyakit kualitas", pada hal mestinya menerima apa adanya - tentu dengan harga yang disesuaikan. Apa boleh buat, tampaknya petani belum juga akan beroleh hikmah dari kenaikan harga gabah. Suhardjo Hs, Budiono D (Surabaya), Kastoyo R. (Solo), Yanny R.S. (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini