KENDATI ekspor rotan tahun silam melaju kencang ke pasar ekspor, tahun ini besar kemungkinan arus itu akan tersendatsendat. Para pengusaha rotan di daerah, yang menjadi kunci utama ekspor rotan selama ini sedang dihunjam shock. Bulan lalu Himpunan Pengusaha Rotan Indonesia (HPRI) cabang daerah berkeluhkesah di DPR. Ini tak lain karena kebijaksanaan pemerintah dan HPRI Pusat bagaikan gunung yang menjulang tiba-tiba di depan ekspor yang tengah melesat laksana pesawat jet. Ekspor rotan tahun 1987 memang menunjukkan perkembangan fantastis. Hasil hutan itu, pada data yang diumumkan PT Sucofindo 3 Februari lalu, mengumpulkan devisa US$ 180 juta. Padahal, hasil 1985 baru sekitar $ 98 juta. Ekspor barang jadi rotan juga semakin berperan. Barang jadi rotan berbentuk tikar, lampit, anyaman (webbing), mebel, dan keranjang tahun silam merebut pangsa 27% devisa rotan, yakni sebesar $ 50 juta, sedangkan pangsanya dua tahun sebelumnya baru sekitar 11% ($ 11 juta). Hal itu menunjukkan, ekspor barang jadi rotan meningkat hampir lima kali lipat sejak 1985. Ini ada kaitannya dengan ekspor rotan setengah jadi, yang masih dominan tahun silam. Rotan poles halus yang berangkat ke luar negeri berjumlah 194.000 ton, dan meraih $ 90,9 juta. Ekspor kulit dan hati rotan sebanyak 28.710 ton menghasilkan $ 39,1 juta. Sehingga pangsa kedua jenis itu masih sekitar 62% lebih. Sekilas tampak bahwa kebijaksanaan pemerintah yang menghentikan ekspor rotan mentah sejak Oktober 1986 telah membawa dampak positif. Tetapi, setelah dianalisa tim koordinasi ekspor industri hasil hutan, perkembangan ekspor di triwulan terakhir menunjukkan pertumbuhan merugikan. Di satu pihak, nilai ekspor secara total menggelembung sampai 42%, namun harga sebenarnya turun belasan persen. "Tetapi sebenarnya nilai tambah ekspor rotan setengah jadi dan barang jadi malah negatif. Karena harga terus jatuh, sementara nilai dolar juga menurun," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kumhal Djamil kepada TEMPO. Rupanya, menjelang diberhentikannya ekspor barang setengah jadi rotan, para importir di luar negeri memainkan siasat baru. Mereka berusaha keras menumpuk stok, dengan menekan harga. Ini sungguh dikhawatirkan pemerintah. "Nah, untuk pengamanan itulah pemerintah mengambil kebijksanaan menaikkan HPE (harga patokan ekspor) rotan. Ini keputusan tim koordinasi ekspor industri hasil hutan, yang melibat unsur Departemen Kehutanan, Pertanian, Perdagangan, Perindustrian, sampai HPRI," ujar Dirjen Kumhal, dalam wawancara lewat telepon Senin malam. Menurut Dirjen, sama sekali bukan maksud pemerintah mencari tambahan penerimaan, dengan menaikkan pajak rotan itu. Sebaliknya, dengan kenaikan pajak, penerimaan pemerintah mungkin bakal turun tentu karena terhambatnya ekspor barang setengah jadi rotan. Seperti diketahui, sejak 1 Januari lalu HPE - yang menjadi dasar ketetapan pajak ekspor 30% - sekarang telah dinaikkan. HPE rotan bulat jenis Manau ditentukan $ 3.400 per metrik ton, dan $ 2.000 untuk rotan jenis lainnya. Sebelumnya, HPE kedua jenis rotan bulat itu hanya $ 1.200. Kenaikan HPE 66% sampai 183% yang diumumkan Dirjen Daglu pada 30 Desember 1987 itu - dua hari sebelum masa berlakunya - dirasa bagaikan ancaman, yang salah-salah bisa mencabut nyawa. Bahwa mereka mengalami shock, hal ini agaknya tidak dilebih-lebihkan. Mendadak, kegiatan ekspor rotan setengah jadi di beberapa daerah terhenti. Akibatnya cukup luas. HPRI cabang Sumatera Barat mengirim surat keluhan kepada Dirjen Daglu, dengan tembusan antara lain ke Komisi VII DPR RI. Isinya: para eksportir tak berani lagi melakukan kegiatan ekspor. Para pedagang pengumpul rotan terpaksa menghentikan kegiatannya. Stok mereka menumpuk, sehingga modal mereka puluhan milyar tersandera. Sebagian modal itu merupakan kredit bank, sehingga terancam menjadi kredit macet. Para petani pengumpul rotan asalan pun bingung, karena harga rotan mereka jatuh. Kegiatan pedagang pengumpul juga berkurang, dan tentu dirasakan pula oleh pengusaha angkutan. Para eksportir rotan setengah jadi pun tak berani mengekspor, karena tingginya pajak. Stok yang telanjur mereka kumpulkan kini memasung modal mereka. Menurut laporan pengurus HPRI Sumatera Barat, para eksportir tak berani bertindak, karena dewasa ini harga pasar internasional untuk rotan poles halus paling tinggi $ 1.650, hati rotan $ 1.700, kulit rotan $ 3.200, dan bagian kursi yang memakai rotan bulat $ 1.350 per metrik ton. Terhentinya kegiatan itu terasa juga di Kalimantan dan Sulawesi. Para pengusaha di Sulawesi, menurut harian Kompas dan Suara Pembaruan, juga telah menghentikan kegiatan ekspor rotan. "Kebijaksanaan pajak yang menghambat ekspor ini hanya sementara, berlaku sampai akhir Maret mendatang," kata Dirjen Kumhal. Sementara ini, tim koordinasi melakukan monitor ke daerah-daerah, sekaligus mengevaluasi seberapa jauh dampak kebijaksanaan hambatan ekspor itu. Dari evaluasi sementara, daerah-daerah yang ribut stoknya menumpuk dan macet ternyata hanya daerah yang mengekspor untuk Taiwan dan Hong Kong, dengan mutu produk kurang. Sedangkan ekspor produk ke Eropa, kendati mengalami kesulitan, masih jalan terus, karena mutunya tinggi! Sementara ini, kalangan pengusaha terus bernada pesimistis. "Ada yang ribut hendak melakukan PHK. Tetapi seharusnya dalam berkurangnya kegiatan, pengusaha swasta itu mempergunakan kesempatan Ini untuk meningkatkan pendidikan karyawannya," tutur Kumhal. Toh momok PHK itu, menurut seorang pengusaha, baru akan terjadi tahun depan. "Yakni kalau pemerintah menyetujui usul pengurus HPRI untuk menghentikan ekspor qebbing (rotan anyaman) juga," kata Ir. Hartono. Direktur PT Arvenaya (Jakarta) dan CV Arsinco (Padang) itu mendengar bahwa pengurus HPRI Pusat telah mengusulkan kepada pemerintah agar webbing yang selama ini termasuk barang jadi diubah sebagai barang setengah jadi. Hartono menambahkan, jika rotan poles halus, kulit dan hati rotan, dan webbing tak boleh diekspor lagi tahun depan, pilihan tinggal pada produksi barang jadi tikar dan lampit. Padahal, pasar lampit terbatas hanya di Jepang. Daerah-daerah yang tidak memiliki pelabuhan kontainer pasti sulit masuk ke industri mebel dan keranjang. Kapasitas produksi rotan halus, hati dan kulit rotan tahun silam berjumlah 220 ribu ton lebih, sedangkan kapasitas produksi mebel dan keranjang hanya bisa menyerap sekitar 9.000 ton bahan baku rotan kering. "Untuk menyerap hasil rotan kering itu, berapa banyak pabrik mebel dan berapa ribu tenaga terampil untuk menganyam yang harus disiapkan tahun ini?" tanya-insinyur lulusan ITB itu. Justru industri webbing itulah, menurut Hartono, merupakan peluang untuk menyerap hasil produksi rotan kering, hati dan kulit rotan. Nilai tambahnya paling tinggi. Harganya $ 7-10 per kg, bandingkan dengan harga mebel yang hanya $ 2-3 per kg. Pasar webbing juga sangat luas, karena penggunaannya banyak. RRC saja tiap tahun mengekspor hampir 2 juta rol (Satu rol menyerap bahan baku rotan kering 35 kg). Pengangkutan juga bisa dengan kapal apa saja, tidak seperti mebel dan keranjang, yang harus diekspor dalam peti kemas. Betulkah webbing telah diusulkan HPRI untuk dimasukkan sebagai barang setengah jadi? "Ya, kriteria tentang barang jadi dan setengah jadi kemungkinan bisa ditinjau kembali," jawab Kumhal. Ekspor webbing ternyata selama ini masih kurang berkembang. Kekhawatiran pengusaha daerah bahwa bisnis industri rotan jadi nantinya hanya akan berpusat di Jawa, yang memiliki pelabuhan kontainer, sebenarnya tidak beralasan. Tahun silam Departemen Perindustrian telah menyusun program pengembangan industri rotan, dalam 17 sentra yang menyangkut 20 provinsi. Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI, Ja-Bar, Ja-Teng, Ja-Tim, Kal-Sel, Sul-Sel, Sul-Ut akan menjadi pusat industri barang jadi. Sedangkan daerah lain seperti Aceh Riau, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Tenggara sebagai pusat pemasok bahan baku industri setengah jadi. Sementara itu, Departemen Perindustrian melihat sepertinya ada empat kelompok pengusaha yang bertempur. Mereka terdiri atas kelompok petani pengumpul rotan mentah, kelompok pedagang, kelompok pengolahan bahan mentah/setengah jadi dan kelompok pengolah barang jadi. Dahulu, ketika ekspor rotan mentah masih bebas, kelompok kedua hidup subur. Keluarnya larangan ekspor rotan mentah Oktober 1986, giliran kelompok ketiga menjadi gemuk. Tahun depan, bila hanya barang jadi yang boleh diekspor, kelompok industriwan barang jadi, yang selama ini kurus bagai cacingan, bakal mendapat kesempatan menjadi tambun. Masing-masing sama-sama mencari jalan pintas ke pasar ekspor, padahal seharusnya saling menopang. HPRI yang dibentuk tahun silam sebenarnya diharapkan membantu meningkatkan pengusaha tradisional dalam pendidikan, alih teknologi, dan menjalinkan hubungan dengan perbankan untuk mendapatkan modal. Tapi pengusaha rotan tradisional dewasa ini rupanya sulit dipercayai para bankir. "Terhadap pengusaha kelas kaki lima seperu kami, para bankir harus berpikir dua kali untuk memberikan kredit. Apalagi untuk mengubah usaha dari industri setengah jadi menjadi industri barang jadi," kata seorang pengusaha yang mengaku perusahaannya hanya bermodal Rp 750 juta, dan tahun silam meraih devisa sekitar 1 juta dolar. Tetapi Kamaluddin Bakir, pimpinan kelompok Ika Muda Group yang baru tahun inl masuk ke Industri rotan, mengatakan, sebenarnya tidak sulit mencari kredit bank. Mengapa? Industri rotan itu, katanya, sangat menguntungkan. "Dengan investasi US$ 1 juta, kita bisa mendapatkan mesin yang berkapasitas produksi 30-40 ton rotan jadi sebulan. Hasilnya bisa 1 juta dolar per bulan," tutur Bakir. Apakah HPRI tidak bisa membantu mencarikan kredit? "Yang terjadi malah sebaliknya. Setiap bulan kami diharuskan membayar iuran tetap Rp 125.000,00, iuran sumbangan ekspor Rp 10,00 per dolar, dan sumbangan pemasaran bersama yang besarnya tergantung kapasitas produksi anggota," tutur beberapa pengusaha rotan. Dirjen Kumhal Djamil mengakui, masih banyak masalah yang harus diatasi, untuk menyiapkan pengusaha ke arah industri barang jadi, antara lain urusan perbankan. Tetapi, katanya lagi, "Biasanya pengusaha kita 'kan lebih pintar mengatasi masalah." Tapi kalau ternyata tidak lebih pintar apakah akan ada shock yang kedua, ketiga, dan seterusnya? Max Wangkar, Yopie Hidayat (Jakarta), Saiff Bakham (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini