TEMPAT tahanan Kejaksaan Negeri Batang, Jawa Tengah, tak begitu
luas. Hingga kelima terdakwa, kelompok Satunas, Salak dan .Subuh
ditahan bersama-sama terdakwa Nasri dan Basari di Lembaga
Pernasyarakatan Pekalolongan. Untuk berangkat ke Pengadilan
Negeri Batang, kelima tahanan ini diangkut dari Pekalongan, 10
km dari Batang, dalam satu kendaraan umum, pikup colt yang
dicarter. Keadaan yang demikian itu, menurut Ketua Pengadilan
Batang, Sudihardjo SH, memungkinkan kelima terdakwa itu saling
berhubungan. Juga merundingkan perkara yang tengah mereka
hadapi.
Padahal mereka, walauplm terdiri dari dua kelompok, sebenarnya
menghadapi satu perkara yang sama: Didakwa membunuh Prajurit II
Marjoko Perkara mereka sengaja dipisahkan oleh Jaksa TSP
Tambunan SH. Maksudnya agar mereka dapat memberikan kesaksian
timbalbalik. Tapi, karena fasilitas penahanan yang tak memenuhi
syarat itulah, "mereka tak bermanfaat lagi sebagai saksi satu
dengan yang lain." Apa boleh buat. Baru beberapa kali dilakukan
sidang pemeriksaan secara terpisah, Hakim Sudihrjo memeriksa
dua kelompok terdakwa itu sekaligus.
Tapi kelangkaan fasilitas itu, tentunya, tak hanya dialami di
kabupaten Batang saja. Hakim dan jaksa bisa dibikin repot.
Untung perkara Prada Marjoko di Batang itu, walaupun sebenarnya
tetap menuntut fasilitas yang lebih baik, dapat berjalan lancar.
Kisahnya
Sehabis mengikuti acara kampanye Golkar, pagi buta 8 Pebruari
1977, para nelayan di Desa Celong (Batang) melihat sebuah kapal
penjala ikan berpukat harimau (trawl) menjaring ikan di pesisir.
KM Jaya, kapal berpukat harimau itu, tengah menyeret jaring,
samar-samar tampak dari pantai, karena gelap. Menurut ketentuan
kapal ini melanggar batas laut yang diperkenankan baginya untuk
beroperasi. Kapal semacam itu, harusnya, bekerja jauh di laut
sana dan tak boleh sampai kelihatan mata nelayan kecil yang
berdiri di pantai.
Prada Marjoko, bersenapan, segera memimpin 6 orang nelayan
hendak mengusir kapal trawl itu. Menurut kesaksian para nelayan
ini, Km Jaya waktu itu berlayar dalam gelap. Tak ada sebuah
lampu pun yang nyala. Maksudnya tentu supaya tak tertangkap
mata. Namanya juga bekerja menyalani peraturan. Tapi para
nelayan Km Jaya sendiri mengaku: Mereka tetap menyalakan lampu,
walaupun diakuinya tengah menjaring ikan di wilayah penangkapan
ikan rekan nelayan tradisionil.
Soal lampu itu tak penting. Hanya, begitu yang terjadi, begitu
sampai mendekati Km Jaya, Prada Marjoko menembakkan senapannya
ke langit. Suatu tanda peringatan agar Km Jaya enyah dari sana,
atau, kalau bisa menyerah. Tapi bunyi senapan Marjoko dianggap
enteng oleh nakhoda Km Jaya,-Muslimin. Nakhoda ini memerintahkan
anak buahnya memutar haluan dan malahan menambah kecepatan laju
kapalnya. Tidak untuk kabur. Tapi langsung menabrak sampan
Marjoko dan kawari-kawan.
Patah Tiga
Setelah sampan terbalik, 6 nelayan segera berenang ke pantai.
Tapi Marjoko sendiri 'ditolong' oleh awak Km Jaya naik ke kapal.
Di atas kapal itulah nasib MarJoko ditentukan. Senapannya
dirampas. Dan dengan senjata panjangnya itulah Marjoko dianiaya.
Sampai-sampai senapan itu patah jadi tiga setelah digunakan
sebagai alat pemukul. Setelah Prada ini tak berdaya, tubuhnya
diikat dan diberati dengan batu dan sepotong besi. Lalu
diceburkan ke laut.
Selesai membereskan Marjoko, Km Jaya dilarikan oleh nakhodanya
ke barat. Di perairan Comal, sebelah barat Pekalongan, kapal
milik pengusaha Pekalongan, Gan Cung Kiat, seharga Rp 5 « juta
ditenggelamkan. Sudah pasti untuk menghilangkan jejak. Lalu
tenggelamnya Km Jaya dilaporkan ke Syahbarldar Pekalongan
sebagai kecelakaan biasa.
Cerita selanjutnya, kisah bagaimana awak Km Jaya tertangkap
polisi, tak banyak diceritakan. Satunas cuma bilang: "Yah,
sedang nasib saja." Cung Kiat sendiri, sambil termangu-mangu,
cuma geleng kepala.
Dalam pengadilan, para terdakwa Satunas bin Bagong (35 tahun),
Salak bin Untai Subuh (20), Subuh bin Takebo (21), Nasri dan
Basari--semuanya nelayan dari Bugis--tak membantah tuduhan Jaksa
dan kesaksian 6 orang nelayan Celong. Mereka cuma membela diri:
Mereka bekerja atas perintah Nakhoda Muslimin. Nakhodanya
sendiri tak menghadap pengadilan. Ia masih buron bersama seorang
anak buahnya. Tuduhannya, di samping pembunuhan, mereka juga
dianggap telah melanggar Undang-Undang Perikanan dan peaturan
Menteli Pertanian--tentu soal pelanggaran wilayah penangkapan
ikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini