Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kelompok Satunas & Fasilitas

Dengan sampan, prada marjoko & 6 nelayan mendekati kapal trawl yang melanggar batas operasi. sampan ditabrak kapal, marjoko dibunuh dan dibenamkan ke laut. kapal ditenggelamkan untuk menghilangkan jejak. (hk)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPAT tahanan Kejaksaan Negeri Batang, Jawa Tengah, tak begitu luas. Hingga kelima terdakwa, kelompok Satunas, Salak dan .Subuh ditahan bersama-sama terdakwa Nasri dan Basari di Lembaga Pernasyarakatan Pekalolongan. Untuk berangkat ke Pengadilan Negeri Batang, kelima tahanan ini diangkut dari Pekalongan, 10 km dari Batang, dalam satu kendaraan umum, pikup colt yang dicarter. Keadaan yang demikian itu, menurut Ketua Pengadilan Batang, Sudihardjo SH, memungkinkan kelima terdakwa itu saling berhubungan. Juga merundingkan perkara yang tengah mereka hadapi. Padahal mereka, walauplm terdiri dari dua kelompok, sebenarnya menghadapi satu perkara yang sama: Didakwa membunuh Prajurit II Marjoko Perkara mereka sengaja dipisahkan oleh Jaksa TSP Tambunan SH. Maksudnya agar mereka dapat memberikan kesaksian timbalbalik. Tapi, karena fasilitas penahanan yang tak memenuhi syarat itulah, "mereka tak bermanfaat lagi sebagai saksi satu dengan yang lain." Apa boleh buat. Baru beberapa kali dilakukan sidang pemeriksaan secara terpisah, Hakim Sudihrjo memeriksa dua kelompok terdakwa itu sekaligus. Tapi kelangkaan fasilitas itu, tentunya, tak hanya dialami di kabupaten Batang saja. Hakim dan jaksa bisa dibikin repot. Untung perkara Prada Marjoko di Batang itu, walaupun sebenarnya tetap menuntut fasilitas yang lebih baik, dapat berjalan lancar. Kisahnya Sehabis mengikuti acara kampanye Golkar, pagi buta 8 Pebruari 1977, para nelayan di Desa Celong (Batang) melihat sebuah kapal penjala ikan berpukat harimau (trawl) menjaring ikan di pesisir. KM Jaya, kapal berpukat harimau itu, tengah menyeret jaring, samar-samar tampak dari pantai, karena gelap. Menurut ketentuan kapal ini melanggar batas laut yang diperkenankan baginya untuk beroperasi. Kapal semacam itu, harusnya, bekerja jauh di laut sana dan tak boleh sampai kelihatan mata nelayan kecil yang berdiri di pantai. Prada Marjoko, bersenapan, segera memimpin 6 orang nelayan hendak mengusir kapal trawl itu. Menurut kesaksian para nelayan ini, Km Jaya waktu itu berlayar dalam gelap. Tak ada sebuah lampu pun yang nyala. Maksudnya tentu supaya tak tertangkap mata. Namanya juga bekerja menyalani peraturan. Tapi para nelayan Km Jaya sendiri mengaku: Mereka tetap menyalakan lampu, walaupun diakuinya tengah menjaring ikan di wilayah penangkapan ikan rekan nelayan tradisionil. Soal lampu itu tak penting. Hanya, begitu yang terjadi, begitu sampai mendekati Km Jaya, Prada Marjoko menembakkan senapannya ke langit. Suatu tanda peringatan agar Km Jaya enyah dari sana, atau, kalau bisa menyerah. Tapi bunyi senapan Marjoko dianggap enteng oleh nakhoda Km Jaya,-Muslimin. Nakhoda ini memerintahkan anak buahnya memutar haluan dan malahan menambah kecepatan laju kapalnya. Tidak untuk kabur. Tapi langsung menabrak sampan Marjoko dan kawari-kawan. Patah Tiga Setelah sampan terbalik, 6 nelayan segera berenang ke pantai. Tapi Marjoko sendiri 'ditolong' oleh awak Km Jaya naik ke kapal. Di atas kapal itulah nasib MarJoko ditentukan. Senapannya dirampas. Dan dengan senjata panjangnya itulah Marjoko dianiaya. Sampai-sampai senapan itu patah jadi tiga setelah digunakan sebagai alat pemukul. Setelah Prada ini tak berdaya, tubuhnya diikat dan diberati dengan batu dan sepotong besi. Lalu diceburkan ke laut. Selesai membereskan Marjoko, Km Jaya dilarikan oleh nakhodanya ke barat. Di perairan Comal, sebelah barat Pekalongan, kapal milik pengusaha Pekalongan, Gan Cung Kiat, seharga Rp 5 « juta ditenggelamkan. Sudah pasti untuk menghilangkan jejak. Lalu tenggelamnya Km Jaya dilaporkan ke Syahbarldar Pekalongan sebagai kecelakaan biasa. Cerita selanjutnya, kisah bagaimana awak Km Jaya tertangkap polisi, tak banyak diceritakan. Satunas cuma bilang: "Yah, sedang nasib saja." Cung Kiat sendiri, sambil termangu-mangu, cuma geleng kepala. Dalam pengadilan, para terdakwa Satunas bin Bagong (35 tahun), Salak bin Untai Subuh (20), Subuh bin Takebo (21), Nasri dan Basari--semuanya nelayan dari Bugis--tak membantah tuduhan Jaksa dan kesaksian 6 orang nelayan Celong. Mereka cuma membela diri: Mereka bekerja atas perintah Nakhoda Muslimin. Nakhodanya sendiri tak menghadap pengadilan. Ia masih buron bersama seorang anak buahnya. Tuduhannya, di samping pembunuhan, mereka juga dianggap telah melanggar Undang-Undang Perikanan dan peaturan Menteli Pertanian--tentu soal pelanggaran wilayah penangkapan ikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus