Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perjalanan, melintas gerak dan suara

Slamet abdul syukur mengadakan pergelaran musik parentheses iv di tim 31 jan-1 feb 78. gerak tari, dengan koreografi oleh samuelina lubert-tahija, tak merupakan kesatuan dari pegelaran. (ms)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK menyaksikan pergelaran musik Parentheses IV dari Slamet Abdul Syukur, di Taman Ismail Marzuki 31 Januari sampai 1 Pebruari, orang menerima kehadiran ssbuah perjalanan. Hampir tak ada imaji ikut-serta: meskipun muncul tiga penari, sendiri atau berbareng, meskipun hadir gadis pelukis yang menggoreskan cat hitam-putih di layar fibreglass di belakang. Membebaskan instrumen nusik dari beban melodi, membebaskan gerak tari hampir dari setiap simbol, kemudian menghadirkan (di bagian ke-2) warna yang disebarkan oleh lukisan & gadis pelukis, adalah memunculkan "suasana" dan perjalanannya yang bergolak dalam sunyi "Dan lahirnya lukisan hanyalah merupakan gema dari yang sudah tidak ada: saat-saat yang telah dilintasi gerak dan suara," kata folder. Kepada Siapa Ini adalah pergelaran kedua Slamet Abdul Syukur, sehari-harinya Ketua Akademi Musik LPKJ, setelah pementasannya yang pertama Parentheses I & II bulan Maret tahun kemarin di tempat yang sama. Koreograti dikerjakan olell Ny. Samuelina Lubert-Tahija (dengan interpretasi Sentot), dan karya sendiri lahir, seperti disebutkan tolder, oleh pesanan Festival Des Memlires di Perancis untuk dipentaskan pertama kali di tahun 1973. Dari situ barangkali tampak dalam lingkungan apa dan kepada siapa penggubahnya berbicara. Di Barat, musik yang bebas-melodi bukan hal baru. Dan karya tanpa bercerita, non-narrative, seperti yang dalam teater kita dikerjakan Putu Wijaya, sudah merupakan bagian sangat wajar-bila bukan puncak dari seni mutakhir. Bedanya: orang bisa akrab dengan teater Putu oleh titik-beratnya yang diletakkan pada imaji, yang terbenam di bawah sadar banyak orang. Imaji itu diujudkan dalam bahasa visuil yang pribumi, yang walaupun tak masuk akal namun intim. Pergelaran Slamet sebaliknya tetap pada formalitasnya yang ketat - di hadapan penonton yang menakjubkan jumlahnya karena cukup memenuhi Teater Arena, walaupun mungkin mengartikan 'musik' sebagai lagu, dan cenderung ingin dituntun oleh kisah yang jelas. Dan potongan-potongan bunyi di pentas itu, yang tidak pula "enak", bukanlah sosok yang jelas. Ia hanya menawarkan sebuah dunia yang sudah habis dihisap, sebuah padang lampus, yang memojokkan seniman untuk bertanya: 'apa lagi yang bisa kita lakukan.' Di kolong itulah, seluruh gubahan merayap dengan sia-sia. Sebuah Bayangan Yang Belum Sudah Ketika seberkas cahaya tipis jatuh di ujung arena, sesosok tubuh, Sentot, hanya bercawat, tengah menjulur. Ini adalah pembuka: 'Tari Sendiri, Tanpa Musik'. Mengeliat sesaat, menjulur, lalu terbanting-banting dengan liat. Di bawah rasa kosong, wajah bercadar hitam tipis itu menyeruak ruang di antara partitur yang sepi, lalu mengelilingi kursi. Ketika muncul temannya Suwanto), yang menyertainya berkelojotan di tengah arena, dan ketika muncul Farida Feisol, orang merasa akan menggenggam sebuah cerita. Tetapi tidak. Ia mungkin pernah melintas: sebuah bayangan yang belum sudah, sebuah saran mimpi atau dambaan yang tak selesai. Ketika cello tunggal Sudarmadi meneruskan aliran tari, dengan lamban melenguh dan menguik-nguik, segera mengendap bahwa semuanya hanyalah bagian dari rasa terpencil, rasa sakit yang jauh. Galau kemudian menimbun rasa sakit itu--dan memperbesarnya menjadi teriakan. Dibawah kontrol ketat Slamet Abdul Syukur yang duduk di bangku tinggi, dengan stelan kaos dan celana hitam kumuh, suara gemuruh organ Budi Hartono mengguyur cello dan menghamburkan deru jet untuk pelan-pelan beringsut pada nada-nada disharmonis, sementara Ireng Maulana putus-putus menyambutnya dengan sentakan gitar listrik--sebelum memberi kesempatan kepada Eddy Tulis menggebrak dengan perkusi. Dari situ dialog dilempar ke bas listrik Dicky Prawoto, melompat ke piano-sumbat Endang Kusumaningsih, flut Suparno, biola Sunardi dan kembali cello. Sunyi. Saya Terganggu Menyatukah seluruh pertunjukan? Orang memang bisa, seperti Irawati Sudiarso dari DKJ, melihat kurang kenanya ekspresi sebagian pemusik sehubungan dengan keseluruhan gubahan seperti yang telah ditunjukkan dengan baik oleh para penari. Saya sendiri, sedikit terganggu oleh misalnya hem batik kusam Sudarmadi yang terasa lepas dari perencanaan visuil, meskipun mungkin justru disengaja. Tetapi bagian pertama, dengan masing-masing serpihan berdiri sendiri-sendiri, adalah bagian yang intens yang kemudian tak diimbangi pada babak selanjutnya. Babak ini, penggabungan musik, tari dan lukis, kembali diawali dengan lenguh cello yang lamban yang mengharuskan orang, dengan menahan kesabaran, memaksa diri memulai lagi bunyi-bunyian yang "tidak enak" itu dari awal--meskipun rime untuk seluruh pertunjukan harus dibilang bagus. Untuk ritme itu pula agaknya tempo selanjutnya dipercepat. Suasana kemudian menjadi lebih ringan: layar fibreglass di belakang, dengan gadis Natalini Widhiasi yang puber yang mengenakan celana pendek dan kaos hitam, mengguratkan kwas dalam sapuan-sapuan besar, seperti membuka lembaran baru yang hening. Tetapi sekarang, seperti tidak ada kesatuan, terdapatlah alasan bagi penonton untuk lebih memperhatikan dia daripada musik --dalam cahaya yang lebih terang, dalam emosi yang telah memucat putih. "Dan lahirnya lukisan hanyalah merupakan gema dari yang sudah tidak ada: saat-saat yang telah dilintasi gerak dan suara," Slamet bertutur dalam folder. Tetapi musik, bergetar dan kesepian, terus berlanjut. Ke1ika sepasang penari tengah menterjemahkan emosi yang telah putih itu, satu-satu para pemain meninggalkan kursi. Dan waktu peniup flut tinggal sendirian di bawah seberkas cahaya, ada rasa sepi yang pelan pelan naik. Di bibir arena, sesosok tubuh terlentang dalam bayangan kegelapan, bergerak dan mengingsut pelahan. Ia, katakanlah, tiba-tiba seperti mewakili sukma. Syu'bah Asa & Eddy Herwanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus