DUDUK menyaksikan pergelaran musik Parentheses IV dari Slamet
Abdul Syukur, di Taman Ismail Marzuki 31 Januari sampai 1
Pebruari, orang menerima kehadiran ssbuah perjalanan.
Hampir tak ada imaji ikut-serta: meskipun muncul tiga penari,
sendiri atau berbareng, meskipun hadir gadis pelukis yang
menggoreskan cat hitam-putih di layar fibreglass di belakang.
Membebaskan instrumen nusik dari beban melodi, membebaskan
gerak tari hampir dari setiap simbol, kemudian menghadirkan (di
bagian ke-2) warna yang disebarkan oleh lukisan & gadis pelukis,
adalah memunculkan "suasana" dan perjalanannya yang bergolak
dalam sunyi "Dan lahirnya lukisan hanyalah merupakan gema dari
yang sudah tidak ada: saat-saat yang telah dilintasi gerak dan
suara," kata folder.
Kepada Siapa
Ini adalah pergelaran kedua Slamet Abdul Syukur, sehari-harinya
Ketua Akademi Musik LPKJ, setelah pementasannya yang pertama
Parentheses I & II bulan Maret tahun kemarin di tempat yang
sama.
Koreograti dikerjakan olell Ny. Samuelina Lubert-Tahija (dengan
interpretasi Sentot), dan karya sendiri lahir, seperti
disebutkan tolder, oleh pesanan Festival Des Memlires di
Perancis untuk dipentaskan pertama kali di tahun 1973. Dari situ
barangkali tampak dalam lingkungan apa dan kepada siapa
penggubahnya berbicara.
Di Barat, musik yang bebas-melodi bukan hal baru. Dan karya
tanpa bercerita, non-narrative, seperti yang dalam teater kita
dikerjakan Putu Wijaya, sudah merupakan bagian sangat wajar-bila
bukan puncak dari seni mutakhir.
Bedanya: orang bisa akrab dengan teater Putu oleh titik-beratnya
yang diletakkan pada imaji, yang terbenam di bawah sadar banyak
orang. Imaji itu diujudkan dalam bahasa visuil yang pribumi,
yang walaupun tak masuk akal namun intim. Pergelaran Slamet
sebaliknya tetap pada formalitasnya yang ketat - di hadapan
penonton yang menakjubkan jumlahnya karena cukup memenuhi Teater
Arena, walaupun mungkin mengartikan 'musik' sebagai lagu, dan
cenderung ingin dituntun oleh kisah yang jelas.
Dan potongan-potongan bunyi di pentas itu, yang tidak pula
"enak", bukanlah sosok yang jelas. Ia hanya menawarkan sebuah
dunia yang sudah habis dihisap, sebuah padang lampus, yang
memojokkan seniman untuk bertanya: 'apa lagi yang bisa kita
lakukan.' Di kolong itulah, seluruh gubahan merayap dengan
sia-sia.
Sebuah Bayangan Yang Belum Sudah
Ketika seberkas cahaya tipis jatuh di ujung arena, sesosok
tubuh, Sentot, hanya bercawat, tengah menjulur. Ini adalah
pembuka: 'Tari Sendiri, Tanpa Musik'. Mengeliat sesaat,
menjulur, lalu terbanting-banting dengan liat. Di bawah rasa
kosong, wajah bercadar hitam tipis itu menyeruak ruang di antara
partitur yang sepi, lalu mengelilingi kursi. Ketika muncul
temannya Suwanto), yang menyertainya berkelojotan di tengah
arena, dan ketika muncul Farida Feisol, orang merasa akan
menggenggam sebuah cerita.
Tetapi tidak. Ia mungkin pernah melintas: sebuah bayangan yang
belum sudah, sebuah saran mimpi atau dambaan yang tak selesai.
Ketika cello tunggal Sudarmadi meneruskan aliran tari, dengan
lamban melenguh dan menguik-nguik, segera mengendap bahwa
semuanya hanyalah bagian dari rasa terpencil, rasa sakit yang
jauh.
Galau kemudian menimbun rasa sakit itu--dan memperbesarnya
menjadi teriakan. Dibawah kontrol ketat Slamet Abdul Syukur yang
duduk di bangku tinggi, dengan stelan kaos dan celana hitam
kumuh, suara gemuruh organ Budi Hartono mengguyur cello dan
menghamburkan deru jet untuk pelan-pelan beringsut pada
nada-nada disharmonis, sementara Ireng Maulana putus-putus
menyambutnya dengan sentakan gitar listrik--sebelum memberi
kesempatan kepada Eddy Tulis menggebrak dengan perkusi. Dari
situ dialog dilempar ke bas listrik Dicky Prawoto, melompat ke
piano-sumbat Endang Kusumaningsih, flut Suparno, biola Sunardi
dan kembali cello. Sunyi.
Saya Terganggu
Menyatukah seluruh pertunjukan? Orang memang bisa, seperti
Irawati Sudiarso dari DKJ, melihat kurang kenanya ekspresi
sebagian pemusik sehubungan dengan keseluruhan gubahan seperti
yang telah ditunjukkan dengan baik oleh para penari. Saya
sendiri, sedikit terganggu oleh misalnya hem batik kusam
Sudarmadi yang terasa lepas dari perencanaan visuil, meskipun
mungkin justru disengaja.
Tetapi bagian pertama, dengan masing-masing serpihan berdiri
sendiri-sendiri, adalah bagian yang intens yang kemudian tak
diimbangi pada babak selanjutnya. Babak ini, penggabungan musik,
tari dan lukis, kembali diawali dengan lenguh cello yang lamban
yang mengharuskan orang, dengan menahan kesabaran, memaksa diri
memulai lagi bunyi-bunyian yang "tidak enak" itu dari
awal--meskipun rime untuk seluruh pertunjukan harus dibilang
bagus. Untuk ritme itu pula agaknya tempo selanjutnya
dipercepat.
Suasana kemudian menjadi lebih ringan: layar fibreglass di
belakang, dengan gadis Natalini Widhiasi yang puber yang
mengenakan celana pendek dan kaos hitam, mengguratkan kwas dalam
sapuan-sapuan besar, seperti membuka lembaran baru yang hening.
Tetapi sekarang, seperti tidak ada kesatuan, terdapatlah alasan
bagi penonton untuk lebih memperhatikan dia daripada musik
--dalam cahaya yang lebih terang, dalam emosi yang telah
memucat putih. "Dan lahirnya lukisan hanyalah merupakan gema
dari yang sudah tidak ada: saat-saat yang telah dilintasi gerak
dan suara," Slamet bertutur dalam folder.
Tetapi musik, bergetar dan kesepian, terus berlanjut. Ke1ika
sepasang penari tengah menterjemahkan emosi yang telah putih
itu, satu-satu para pemain meninggalkan kursi. Dan waktu peniup
flut tinggal sendirian di bawah seberkas cahaya, ada rasa sepi
yang pelan pelan naik.
Di bibir arena, sesosok tubuh terlentang dalam bayangan
kegelapan, bergerak dan mengingsut pelahan. Ia, katakanlah,
tiba-tiba seperti mewakili sukma.
Syu'bah Asa & Eddy Herwanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini