SSST.... !
Karya: Ikranagara
Sutradara: Ikranagara
Produksi: Teater Saja, Jakarta
KETIKA semua pihak diperintahkan ikut "menjaga kestabilan
nasional", rasanya drama protes muncul sebagai satu-satunya
tempat orang melontarkan dan mendengarkan uneg-uneg secara
relatif aman.
Tiga hari berturut-turut Ssst. . . /, di Teater Tertutup TIM,
28-30 Januari, dipenuhi pengunjung. Tak heran: ada kata-kata
'pembreidelan surat kabar anggota DPR/MPR yang diangkat', dan
sebagainya. Dan grup Teater Saja pun tak begitu mementingkan
yang lain-lain.
Tata panggung ruwet: ada layar tempat menembakkan slide, ada
kuburan, ada tali-tali yang direntang ke atas, ada trap-trap
yang ditumpuk. Ketika yang namanya tata panggung sudah tidak
memberikan ruang buat bermain, anda bayangkan bagaimana
kira-kira drama ini berjalan. Para pemain kurang lebih seperti
anak-anak yang sedang latihan di sebuah gudang.
Tema cerita pun tak perlu sedikit kompleks. Seorang penguasa
bernama Cupak, yang berpengawal Togog, adalah seorang diktator
yang membungkam wartawan dan juga dalang. Akhirnya seorang Dajal
(Ikranagara) berhasil menyelundup dan menembak mati si diktator.
Oleh wakil rakyat yang suka menjilat, Dajal maunya diangkat
menggantikan Cupak. Apa boleh buat, Dajal memang pahlawan
benar-benar: tidak punya ambisi jadi penguasa. Dan karena muak
terhadap wakil rakyat tersebut, yang belakangan ini pun
dibunuhnya. Selesai.
Bila kerangka cerita demikian sederhana, sedang yang disebut
ornamen pun tak ada, maka memang yang bisa ditangkap hanya
protes itu saja.
Menjadi jelas perbedaan Ikra dengan Rendra misalnya (bila kita
ingat pementasan Sekda beberapa waktu lalu). Rendra, betapa pun,
masih memperhatikan bagaimana protesnya menjadi tontonan. Ia
masukkan nyanyian yang enak, bloking yang enak, juga tata
panggung yang menyediakan tempat buat main. Sementara Ikra
menyambungkan semuanya pemain yang entah sedang mengapa.
merentang-rentang tangan atau menggebrak-gebrak kaki, berteriak
kalau menangis, dan kemudian: protes! Sebuah pembacaan kliping
surat kabar.
Memang ada yang boleh dicatat: munculnya Innosanto Nagara, bocah
7 tahunan, sebagai intel. Sosoknya, cara bicaranya sebagai
"intel," juga ketika ia masuk panggung dengan sepeda roda tiga
yang berbunyi kriet-kriet, agak menolong saya dari beban
dijejali protes yang nota bene tidak orisinil. Juga cara si
Togog yang sering disuruh majikannya memanggil intel. Ia teriak
kepada penonton: "Tel! Intel! Ada Intel di situ?" ....
Cuma itu. Selebihnya, protes-protes yang tidak diujudkan dalam
sesuatu sentuhan kesenimanan memang sangat layak dilahirkan oleh
bukan seniman.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini