Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Teater uneg-uneg

Ssst...! dipentaskan di teater tertutup tim 28-30 jan. tata penggung ruwet. tema cerita sederhana, kemudian protes-protes yang tidak diujudkan dalam sentuhan kesenimanan. (ter)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SSST.... ! Karya: Ikranagara Sutradara: Ikranagara Produksi: Teater Saja, Jakarta KETIKA semua pihak diperintahkan ikut "menjaga kestabilan nasional", rasanya drama protes muncul sebagai satu-satunya tempat orang melontarkan dan mendengarkan uneg-uneg secara relatif aman. Tiga hari berturut-turut Ssst. . . /, di Teater Tertutup TIM, 28-30 Januari, dipenuhi pengunjung. Tak heran: ada kata-kata 'pembreidelan surat kabar anggota DPR/MPR yang diangkat', dan sebagainya. Dan grup Teater Saja pun tak begitu mementingkan yang lain-lain. Tata panggung ruwet: ada layar tempat menembakkan slide, ada kuburan, ada tali-tali yang direntang ke atas, ada trap-trap yang ditumpuk. Ketika yang namanya tata panggung sudah tidak memberikan ruang buat bermain, anda bayangkan bagaimana kira-kira drama ini berjalan. Para pemain kurang lebih seperti anak-anak yang sedang latihan di sebuah gudang. Tema cerita pun tak perlu sedikit kompleks. Seorang penguasa bernama Cupak, yang berpengawal Togog, adalah seorang diktator yang membungkam wartawan dan juga dalang. Akhirnya seorang Dajal (Ikranagara) berhasil menyelundup dan menembak mati si diktator. Oleh wakil rakyat yang suka menjilat, Dajal maunya diangkat menggantikan Cupak. Apa boleh buat, Dajal memang pahlawan benar-benar: tidak punya ambisi jadi penguasa. Dan karena muak terhadap wakil rakyat tersebut, yang belakangan ini pun dibunuhnya. Selesai. Bila kerangka cerita demikian sederhana, sedang yang disebut ornamen pun tak ada, maka memang yang bisa ditangkap hanya protes itu saja. Menjadi jelas perbedaan Ikra dengan Rendra misalnya (bila kita ingat pementasan Sekda beberapa waktu lalu). Rendra, betapa pun, masih memperhatikan bagaimana protesnya menjadi tontonan. Ia masukkan nyanyian yang enak, bloking yang enak, juga tata panggung yang menyediakan tempat buat main. Sementara Ikra menyambungkan semuanya pemain yang entah sedang mengapa. merentang-rentang tangan atau menggebrak-gebrak kaki, berteriak kalau menangis, dan kemudian: protes! Sebuah pembacaan kliping surat kabar. Memang ada yang boleh dicatat: munculnya Innosanto Nagara, bocah 7 tahunan, sebagai intel. Sosoknya, cara bicaranya sebagai "intel," juga ketika ia masuk panggung dengan sepeda roda tiga yang berbunyi kriet-kriet, agak menolong saya dari beban dijejali protes yang nota bene tidak orisinil. Juga cara si Togog yang sering disuruh majikannya memanggil intel. Ia teriak kepada penonton: "Tel! Intel! Ada Intel di situ?" .... Cuma itu. Selebihnya, protes-protes yang tidak diujudkan dalam sesuatu sentuhan kesenimanan memang sangat layak dilahirkan oleh bukan seniman. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus