Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kesadaran Haji Fauzi Bergelombang?

Visum dua tim dokter ahli jiwa yang menyatakan bahwa tertuduh utama dalam penembakan yulie yassin (peragawati), h. fauzi, menderita sindroma otak organik diragukan hakim. (hk)

15 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH jadi persoalan yang cukup panjang: normalkah H. Fauzi, tertuduh utama dalam peristiwa terbunuhnya peragawati Yuli Yasin? Surat keterangan dan visum dokter jelas memastikan tertuduh itu menderita sindroma otak organik, dan karena itu jaksa menuntutnya bebas. Tapi dalam persidangan terakhir, akhir Desember, Ketua Majelis Hakim, L.J. Ferdinandus memerintahkan jaksa agar Fauzi diobservasikan kembali ke dokter jiwa. Dan dalam minggu-minggu ini Fauzi ditangani satu tim dokter di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Keputusan hakim itu, adalah salah satu buntut dari terungkapnya keadaan H. Fauzi yang tiba-tiba normal di luar persidangan berdasarkan kesaksian beberapa wartawan yang membuntuti dia. Tapi keputusan hakim itu berarti, "secara tidak langsung meragukan visum et repeum yang dibuat dokter," ujar seorang pengurus PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Pengurus yang tidak mau disebutkan namanya itu, merasa aneh jika kejujuran surat keterangan dan visum yang dibuat oleh dua tim dokter dari rumah sakit yang berbeda bisa diragukan hakim. "Ada dua kemungkinan, hakim meragukan keahlian dokter atau hakim meragukan kejujuran para dokter yang memeriksa," ujar pengurus IDI itu. Jaksa J.R. Bangun yang membawa Fauzi ke persidangan, tetap yakin pada visum dan surat keterangan dokter yang memeriksa. "Bagaimana saya meragukan hasil pemeriksaan para ahli itu," ujar J.R. Bangun. Ia juga memandang visum dan keterangan ahli di bawah sumpah sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Sebab itu, ia menuntut bebas H. Fauzi, walau terbukti H. Fauzi yang melakukan pembunuhan terhadap Yuli Yasin. "Saya tetap dengan tuntutan saya itu," kata J.R. Bangun. Tiga orang wartawan yang diajukan sebagai saksi di persidangan 29 Desember lalu, memastikan pernah melihat H. Fauzi normal di luar persidangan. Para wartawan yang membuntuti tersangka pelaku pembunuhan itu mengaku melihat H. Fauzi bisa menyeberangi jalan naik bis kota dan ngobrol seperti orang normal lainnya. Pada hal di setiap persidangan Fauzi tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya dan memperlihatkan sikap yang aneh-aneh. Akhirnya ke-3 wartawan itu berkesimpulan: tindak-tanduk tersangka dalam persidangan adalah dibuat-buat. Ketua Tim RS Jiwa Grogol, dr. Dengara Pane yang mengeluarkan visum, tidak mengelak kemungkinan Fauzi berlaku normal di luar sidang itu. "Ia mempunyai kesadaran yang bergelombang," ujar Dengara Pane yang selama 2 minggu pernah mengobservasi Fauzi. Suatu keadaan tertentu, kata dokter itu, bisa membantu Fauzi bersikap normal seperti waktu diperiksa dokter atau dengan pengacaranya. Fauzi, kata Dengara, juga bisa normal melakukan perbuatan yang rutin baginya, seperti naik bis atau menyeberang jalan. Ia baru kambuh kalau menghadapi situasi tegang. Contohnya: keadaannya selama mengikuti persidangan. Dr. Djoko Soemartedjo yang mempimpin tim dokter jiwa RSPAD membenarkan keterangan dr. Dengara. "Penderita sindroma otak organik bisa dilihat normal dalam pandangan mata orang awam," ujar dr. Djoko Soemartedjo, yang juga pernah mengeluarkan visum et repertum setelah mengobservasi Fauzi dari 27 Juli sampai 30 September 1982. Mungkinkah keterangan dokter itu tidak benar? Ketua PB IDI, Prof. Dr. Mahar Mardjono yakin tim dokter yang memeriksa H. Fauzi benar. "Ahli itu lebih tahu daripada IDI, jadi memang IDI tidak bisa menilai hasil pemeriksaan itu. Tapi tidak mungkin ada persekongkolan di RSPAD itu," kata Mahar yang baru saja menduduki kursi ketua PB IDI. Sebab itu, ia justru akan membela para dokter itu. "IDI bukan polisi, tapi wadah para dokter, sebab itu IDI akan membela anggotanya sebelum ada kepastian salah dan benarnya," kata Mahar Mardjono. Kejujuran para dokter juga diyakini pembela Fauzi, Yan Apul. Menurut Yan, kliennya orang yang tidak punya, bahkan sering meminta bantuan kepada dia. Ia membela Fauzi, karena dihubungi oleh keluarga Madura di Jakarta. "Memang saya dapat honor Rp 500 ribu tapi setelah itu tidak ada tambahan lagi," ujarnya. Sebab itu pula, ia tidak yakin adanya permainan dengan dokter agar Fauzi dinyatakan gila. "Keluarganya pun tidak ada yang membantunya," tambah Yan Apul. Tapi Ketua Umum PP Peradin (organisasi advokat), Haryono Tjitrosubono meragukan kejujuran Yan Apul sendiri. Sebab itu Haryono meminta Dewan Kehormatan Peradin agar memeriksa Yan Apul yang juga menjabat Ketua DPC Peradin Jaya. Yan Apul yang sering muncul dalam film sandiwara TVRI tidak menutup kemungkinan kliennya, Fauzi, bermain "sandiwara" di persidangan dengan berlagak aneh atau diam tidak menjawab pertanyaan hakim. "Tapi itu kan hak tersangka, bagi saya yang penting visum dokter itu merupakan bukti di persidangan," ujar Yan Apul. Adanya kemungkinan Fauzi main sandiwara baik di persidangan maupun di depan tim dokter pemeriksanya, juga dibenarkan dokter yang menjadi pengurus PB IDI tadi. "Bisa saja seorang dokter ditipu oleh pasien yang tidak jujur," ujarnya. Sebab itu, sumber itu bisa menerima alasan hakim memerinuhkan pemeriksaan ulang untuk menguji ada tidaknya kesalahan. "Tapi tidak untuk meragukan kejujuran dua tim dokter," ujarnya. Hakim L.J. Ferdinandus juga mengaku tidak meragukan keterangan dan visum kedua tim dokter itu. "Saya mempercayainya," ujar Ferdinandus. Tapi fakta, katanya, ada dua keterangan yang berbeda yaitu antara para dokter yang membuat visum dan wartawan yang membuntuti Fauzi. Adanya dua versi ini, kata hakim itu membuat majelis hakim belum begitu yakin pada keadaan terdakwa yang sebenarnya. "Untuk membentuk keyakinan kami, perlu kami gali kebenaran material sebanyak-banyaknya," ujar Ferdinandus. Yang jelas, apakah semua tingkah laku Fauzi "sandiwara" atau tidak, giliran dokter-dokter RSCM yang akan membuktikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus