MASIH jadi persoalan yang cukup panjang: normalkah H. Fauzi,
tertuduh utama dalam peristiwa terbunuhnya peragawati Yuli
Yasin? Surat keterangan dan visum dokter jelas memastikan
tertuduh itu menderita sindroma otak organik, dan karena itu
jaksa menuntutnya bebas. Tapi dalam persidangan terakhir, akhir
Desember, Ketua Majelis Hakim, L.J. Ferdinandus memerintahkan
jaksa agar Fauzi diobservasikan kembali ke dokter jiwa. Dan
dalam minggu-minggu ini Fauzi ditangani satu tim dokter di RS
Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Keputusan hakim itu, adalah salah satu buntut dari terungkapnya
keadaan H. Fauzi yang tiba-tiba normal di luar persidangan
berdasarkan kesaksian beberapa wartawan yang membuntuti dia.
Tapi keputusan hakim itu berarti, "secara tidak langsung
meragukan visum et repeum yang dibuat dokter," ujar seorang
pengurus PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Pengurus yang tidak
mau disebutkan namanya itu, merasa aneh jika kejujuran surat
keterangan dan visum yang dibuat oleh dua tim dokter dari rumah
sakit yang berbeda bisa diragukan hakim. "Ada dua kemungkinan,
hakim meragukan keahlian dokter atau hakim meragukan kejujuran
para dokter yang memeriksa," ujar pengurus IDI itu.
Jaksa J.R. Bangun yang membawa Fauzi ke persidangan, tetap yakin
pada visum dan surat keterangan dokter yang memeriksa.
"Bagaimana saya meragukan hasil pemeriksaan para ahli itu," ujar
J.R. Bangun. Ia juga memandang visum dan keterangan ahli di
bawah sumpah sebagai alat bukti yang sah di persidangan. Sebab
itu, ia menuntut bebas H. Fauzi, walau terbukti H. Fauzi yang
melakukan pembunuhan terhadap Yuli Yasin. "Saya tetap dengan
tuntutan saya itu," kata J.R. Bangun.
Tiga orang wartawan yang diajukan sebagai saksi di persidangan
29 Desember lalu, memastikan pernah melihat H. Fauzi normal di
luar persidangan. Para wartawan yang membuntuti tersangka pelaku
pembunuhan itu mengaku melihat H. Fauzi bisa menyeberangi jalan
naik bis kota dan ngobrol seperti orang normal lainnya. Pada hal
di setiap persidangan Fauzi tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan kepadanya dan memperlihatkan sikap yang aneh-aneh.
Akhirnya ke-3 wartawan itu berkesimpulan: tindak-tanduk
tersangka dalam persidangan adalah dibuat-buat.
Ketua Tim RS Jiwa Grogol, dr. Dengara Pane yang mengeluarkan
visum, tidak mengelak kemungkinan Fauzi berlaku normal di luar
sidang itu. "Ia mempunyai kesadaran yang bergelombang," ujar
Dengara Pane yang selama 2 minggu pernah mengobservasi Fauzi.
Suatu keadaan tertentu, kata dokter itu, bisa membantu Fauzi
bersikap normal seperti waktu diperiksa dokter atau dengan
pengacaranya.
Fauzi, kata Dengara, juga bisa normal melakukan perbuatan yang
rutin baginya, seperti naik bis atau menyeberang jalan. Ia baru
kambuh kalau menghadapi situasi tegang. Contohnya: keadaannya
selama mengikuti persidangan. Dr. Djoko Soemartedjo yang
mempimpin tim dokter jiwa RSPAD membenarkan keterangan dr.
Dengara. "Penderita sindroma otak organik bisa dilihat normal
dalam pandangan mata orang awam," ujar dr. Djoko Soemartedjo,
yang juga pernah mengeluarkan visum et repertum setelah
mengobservasi Fauzi dari 27 Juli sampai 30 September 1982.
Mungkinkah keterangan dokter itu tidak benar? Ketua PB IDI,
Prof. Dr. Mahar Mardjono yakin tim dokter yang memeriksa H.
Fauzi benar. "Ahli itu lebih tahu daripada IDI, jadi memang IDI
tidak bisa menilai hasil pemeriksaan itu.
Tapi tidak mungkin ada persekongkolan di RSPAD itu," kata Mahar
yang baru saja menduduki kursi ketua PB IDI. Sebab itu, ia
justru akan membela para dokter itu. "IDI bukan polisi, tapi
wadah para dokter, sebab itu IDI akan membela anggotanya sebelum
ada kepastian salah dan benarnya," kata Mahar Mardjono.
Kejujuran para dokter juga diyakini pembela Fauzi, Yan Apul.
Menurut Yan, kliennya orang yang tidak punya, bahkan sering
meminta bantuan kepada dia. Ia membela Fauzi, karena dihubungi
oleh keluarga Madura di Jakarta. "Memang saya dapat honor Rp 500
ribu tapi setelah itu tidak ada tambahan lagi," ujarnya. Sebab
itu pula, ia tidak yakin adanya permainan dengan dokter agar
Fauzi dinyatakan gila. "Keluarganya pun tidak ada yang
membantunya," tambah Yan Apul. Tapi Ketua Umum PP Peradin
(organisasi advokat), Haryono Tjitrosubono meragukan kejujuran
Yan Apul sendiri. Sebab itu Haryono meminta Dewan Kehormatan
Peradin agar memeriksa Yan Apul yang juga menjabat Ketua DPC
Peradin Jaya.
Yan Apul yang sering muncul dalam film sandiwara TVRI tidak
menutup kemungkinan kliennya, Fauzi, bermain "sandiwara" di
persidangan dengan berlagak aneh atau diam tidak menjawab
pertanyaan hakim. "Tapi itu kan hak tersangka, bagi saya yang
penting visum dokter itu merupakan bukti di persidangan," ujar
Yan Apul.
Adanya kemungkinan Fauzi main sandiwara baik di persidangan
maupun di depan tim dokter pemeriksanya, juga dibenarkan dokter
yang menjadi pengurus PB IDI tadi. "Bisa saja seorang dokter
ditipu oleh pasien yang tidak jujur," ujarnya. Sebab itu, sumber
itu bisa menerima alasan hakim memerinuhkan pemeriksaan ulang
untuk menguji ada tidaknya kesalahan. "Tapi tidak untuk
meragukan kejujuran dua tim dokter," ujarnya.
Hakim L.J. Ferdinandus juga mengaku tidak meragukan keterangan
dan visum kedua tim dokter itu. "Saya mempercayainya," ujar
Ferdinandus. Tapi fakta, katanya, ada dua keterangan yang
berbeda yaitu antara para dokter yang membuat visum dan wartawan
yang membuntuti Fauzi.
Adanya dua versi ini, kata hakim itu membuat majelis hakim belum
begitu yakin pada keadaan terdakwa yang sebenarnya. "Untuk
membentuk keyakinan kami, perlu kami gali kebenaran material
sebanyak-banyaknya," ujar Ferdinandus. Yang jelas, apakah semua
tingkah laku Fauzi "sandiwara" atau tidak, giliran dokter-dokter
RSCM yang akan membuktikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini