Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi kembali menghadirkan saksi ahli meringankan dalam sidang lanjutan perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alis Brigadir Yosua pada Selasa, 27 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini, kuasa hukum menghadirkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Andalas Profesor Elwi Danil sebagai saksi meringankan alias saksi a de charge untuk Sambo dan istrinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kuasa hukum Putri Candrawathi, Febri Diansyah menyatakan pihaknya menghadirkan Elwi untuk mendukung pembuktian dan pencarian kebenaran dalam perkara ini.
Baca juga: Sidang Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, Saksi Ahli Jelaskan Perbedaan Pasal 338 dan 340 KUHP
"Hari ini, Kami menghadirkan Ahli Pidana, Prof. Dr. Elwi Danil, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Andalas," kata Febri kepada Tempo, Selasa 27 Desember 2022.
Sebelum persidangan, Febri mengatakan saksi ahli ini akan menjelaskan secara objektif sesuai keilmuan bidang hukum pidana untuk mendukung pembuktian dan pencarian kebenaran dalam perkara ini. Lalu apa saja keterangan saksi ahli untuk meringankan hukuman Ferdy Sambo dan istrinya?
1. Motif adalah Penting
Elwi Danil menjelaskan soal pentingnya menemukan motif dalam suatu kasus pembunuhan. Menurutnya, motif itu adalah sesuatu hal yang perlu untuk diungkap karena itu akan melahirkan kehendak dan kemudian kehendak akan melahirkan kesengajaan.
"Kenapa saya katakan demikian, karena memang motif itu bukan bagian inti. Bagian intinya adalah unsur dengan sengaja, unsur kesalahan. Akan tetapi kesengajaan itu bukan satu hal yang ada begitu saja, bukan sesuatu yang turun dari langit, akan tetapi ada peristiwa yang melatarbelakangi perbuatan dengan sengaja," kata dia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Elwi pun menilai pengungkapan motif penting dalam konteks pembuktian unsur kesengajaan. Sehingga, pengungkapan motif ini menjadi penting dan relevan. Dalam uraiannya, ia memberikan ilustrasi kepada majelis hakim. Ia mengatakan pengungkapan motif perlu karena akan menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku.
"Saya pernah membaca buku yang ditulis Prof Ahmad Ali, guru besar hukum pidana Unhas. Ketika dia menjelaskan sesuatu dia mulai dengan sebuah contoh kasus," kata dia.
Selanjutnya, contoh soal pencurian ayam...
Dia kemudian memberikan contoh. "Seseorang katakanlah si A itu melakukan tindak pidana pencurian ayam di kota A, Si B mencuri ayam di kota B, si C kemudian juga mencuri ayam di kota C. Nah si A mencuri ayam di Kota A dijatuhi hukuman selama 3 bulan, si B di kota B dijatuhkan hukuman selama 6 bulan, si C dijatuhi hukuman selma 9 bulan," kata dia.
"Nah kenapa sebuah perilaku yang sama kok bisa djatuhi pidana yang berbeda, bahkan terjadi disparitas pemidanaan yang cukup besar antara satu perbuatan dengan perbuatan lain," lanjutnya.
Elwi mengatakan, berdasar uraian Profesor Ahmad Ali tersebut, yang membedakan vonis hukuman dari para pelaku itu adalah karena motifnya. Ia pun menceritakan si A dijatuhi hukuman selama 3 bulan karena motifnya adalah untuk membeli obat anaknya yang sakit, si B mencuri karena ingin menraktir pacarnya, dan si C karena kecanduan narkoba.
"Maka itu yang menjadi motif dia. Jadi dari ilustrasi kasus ini, bagi saya motif sangat bermanfaat untuk berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan," ucapnya.
2. Jelaskan Perbedaan Pasal 340 dan 338 KUHP
Elwi Danil dalam kesaksiannya juga menjelaskan perbedaan Pasal 340 dan 338 KUHP yang menjerat Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi ketika ditanya kuasa hukumnya.
Elwi terlebih dahulu menjelaskan garis merah persamaan kedua pasal tersebut, yakni sama-sama memiliki unsur kesengajaan dalam membunuh. Yang berbeda adalah dalam Pasal 340 memiliki unsur perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan pembunuhan.
“Kalau kita perhatikan rumusan Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP, kedua pasal ini justru merumuskan aspek kesalahan itu dalam bentuk dengan sengaja, baik (Pasal) 338 maupun 340,” jawab Elwi.
“Nah kesengajaan yang dirumuskan dalam, baik (Pasal) 338 maupun 340 KUHP, itu dapat digolongkan sebagai kesengajaan dengan maksud karena tujuan dari si pelaku melakukan tindak pidana itu adalah untuk mewujudkan akibat dari delik yang dirumuskan dalam kedua pasal itu, yakni hilangnya nyawa orang lain,” ujar dia.
Kemudian Elwi menjelaskan meski kedua pasal tersebut memiliki kesamaan soal kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang, namun kedua pasal itu memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan tersebut yaitu adanya kesengajaan yang direncanakan terlebih dahulu.
“Sebab dalam (Pasal) 340, kesengajaan itu tidak hanya berhenti sampai di kesengajaan itu, tapi dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu,” kata Elwi.
“Jadi unsur direncanakan terlebih dahulu ini adalah merupakan unsur pembeda yang sangat elementer antara (Pasal) 340 dan 338,” ujar dia.
Selanjutnya soal lie detector...
3. Lie detector Tidak Bisa Jadi Alat Bukti
Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Andalas, Elwi Danil mengungkapkan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector tidak bisa menjadi alat bukti dalam persidangan. Hal tersebut dikarenakan hingga saat ini alat tersebut masih diperdebatkan.
"Ini suatu aspek yang masih perlu diperdebatkan lebih lanjut. Apakah hasil poligraf itu merupakan alat bukti atau barang bukti," kata Elwi dalam persidangan.
Elwi mengatakan untuk memberikan penilaian kepada seseorang apakah dia dalam keadaan tenang atau tidak tentu yang bisa menjelaskan adalah ahli psikologi forensik.
“Hakim seharusnya bisa memahami aspek psikologi. Di negara yang sistem pidananya maju seperti di Amerika, hakimnya belajar psikologi dia tahu apakah orang ini berbohong atau tidak,” ujarnya.
Pengetahuan soal psikologi ini pun menurut Elwi sangat penting untuk hakim mengonfirmasi bukti. Bahkan, Elwi turut menyinggung sistem peradilan di Indonesia yang kurang mempelajari psikologi.
“Artinya untuk membantu mengkonfirmasi dengan alat canggih hari ini, lie detector itu saya kira hakim juga memahami aspek psikologi itu. Dalam sistem pidana kita saya tidak tahu apakah hakim belajar psikologi atau tidak tapi paling tidak dalam hal-hal suasana kejiwaan seperti itu hakim membutuhkan pengetahuan dari psikolog,” ucap Elwi.
4. Ferdy Sambo Bisa Bebas, asal…
Elwi Danil menjelaskan bahwa seorang terdakwa seperti Ferdy Sambo bisa divonis bebas jika tidak dipenuhinya dua alat bukti yang berhubungan dengan sangkaan terhadap terdakwa. Oleh karena itu, ia menilai seluruh unsur pasal yang masuk dalam dakwaan kasus pembunuhan Brigadir Yosua harus dibuktikan dengan dua alat bukti.
Elwi mengungkapkan hal tersebut saat ditanya Penasehat Hukum Putri Candrawathi, Rasamala Aritonang. Saat itu, ia ditanya perihal pembuktian unsur dalam delik dakwaan. Elwi pun menjelaskan bahwa apabila tidak dapat dibuktikan, terdakwa bisa dibebaskan dalam tuntutan dakwaan soal kasus tersebut.
“Di dalam pembuktian kalau kita bicara (Pasal) 340 (dan) 338, apakah pembuktian semua unsur harus dibuktikan kalau dua alat bukti cukup digunakan untuk membuktikan seluruh unsur atau masing-masing elemen unsur harus dibuktikan masing-masing dua alat bukti minimal?” tanya Rasamala.
Elwi kemudian menjawab, “Dalam rumusan tindak pidana ada frasa yang menunjuk pada perbuatan dan ada yang menunjuk pada pertanggungjawaban. Nah dikaitkan dengan sistem minimum alat bukti maka tentu konsekuensinya semua unsur dalam pasal itu harus didukung dengan dua alat bukti.”
“Unsur kesengajaan dua alat bukti, unsur direncanakan terlebih dahulu dua alat bukti, unsur menghilangkan nyawa orang lain harus dua alat bukti. Meskipun pada akhirnya dua alat bukti itu masih merupakan bukti yang sama, tapi harus secara konkret menunjuk kepada unsur kepada delik yang akan dibuktikan,” tambahnya.
Rasamala mempertanyakan kembali soal konsekuensi apabila tidak terpenuhinya dua alat bukti tersebut. Elwi pun kemudian menjawab jika tidak terpenuhinya dua alat bukti maka terdakwa bisa mendapat vonis bebas.
“Kalau pasal yang didakwakan itu sesuai dengan asas hukum actori incumbit probatio, actori onus probandi: siapa yang mendakwa maka ia harus membuktikan dakwaannya. Pada ketika ia tidak bisa membuktikan dakwaannya maka konsekuensinya orang yang didakwa itu harus divonis bebas,” kata Elwi.
Selanjutnya soal tafsir hajar...
5. Ahli Soal Salah Tafsir Perintah Hajar Ferdy Sambo
Elwi Danil mengatakan jika seseorang telah menerima dan melaksanakan perintah hingga melebihi perintah, maka pelaku seharusnya bertanggung jawab atas perbuatannya.
“Yang bertanggung jawab sepenuhnya kalau seandainya orang yang digerakkan itu melakukan perbuatan melebihi apa yang dianjurkan, maka dialah yang bertanggung jawab, bukan yang menggerakkan yang bertanggung jawab,” jawab Elwi.
Febri lalu menjelaskan adanya seseorang yang memberi perintah untuk ‘hajar’, namun yang dilakukan ternyata yakni ‘tembak’. Sebelumnya, Ferdy Sambo membantah memerintahkan Richard Eliezer menembak Brigdir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Sambo mengaku hanya memerintahkan Richard menghajar Yosua.
"Dalam konteks ilustrasi ini sejauh mana pertanggungjawaban penembak dan sejauh mana pertanggungjawaban pidana yang mengatakan hajar?" tanya Febri.
Elwi menyatakan harus didudukkan terlebih dahulu soal pemahaman kata hajar. "Apa yang disebut kata hajar itu. Apakah hajar itu dipukul ditembak atau dianiaya atau bagaimana,” ucap Elwi.
Menurutnya, harus diminta penjelasan dari ahli bahasa tentang apa yang disebut dengan kata hajar. "Mungkin biasanya di tengah masyarakat atau di institusi tertentu apa yang dipahami dengan istilah kata hajar itu. Sehingga, apa yang dipahami itu saya kira bisa digunakan sebagai pedoman dari pengertian dari hajar itu,” ujar dia.
Dalam sidang sebelumnya, kuasa hukum Ferdy Sambo juga menghadirkan saksi ahli meringankan, yaitu ahli hukum pidana Mahrus Ali dari Universitas Islam Indonesia. Dalam kesaksiannya, Mahrus menyebut soal justice collaborator.
Awalnya kuasa hukum Ferdy Sambo, Febri Diansyah menanyakan ahli pidana apakah ada klausul justice collaborator bisa digunakan pada Pasa 340 atau Pasal 338 tentang pembunuhan berencana. Mahrus Ali mengatakan, menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, justice collaborator hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana tertentu.
"Di situ dijelaskan pelakunya kan banyak jenis tindak pidananya. Cuma di situ ada klausul yang umum lagi, termasuk kejahatan-kejahatan lain yang ada potensi serangan dan itu harus berdasarkan keputusan,” kata Mahrus.
Menurutnya, sepanjang tidak ada keputusan, maka jenis tindak pidana seperti pencucian uang, korupsi, narkotika, kekerasan seksual, perdagangan orang, kekerasan seksual, dan pembunuhan tidak masuk syarat penerima status justice collaborator .
"Dalam konteks ini, maka sepanjang tidak ada keputusan ya ikuti jenis tindak pidana itu, apa tadi pencucian uang, korupsi, narkotika kemudian apa lagi perdagangan orang, kekerasan seksual, pembunuhan tidak ada di situ," ujar Mahrus.