KIAI Mashurat, apa boleh buat, kini harus menginap di rumah
tahanan polisi Pamekasan, Madura. Kiai muda, 30 tahun, yang kaya
raya dan punya gaya hidup "wah" itu, dituduh melakukan penipuan
sampai ratusan juta rupiah. Sampai pekan lalu sudah sekitar 20
orang yang mengaku tertipu antara Rp 1 juta-Rp 10 juta. Hasnah,
asal Jawa Timur, yang kini mukim di Malaysia, misalnya, kepada
saudaranya bahkan mengaku kena kibul sampai Rp 32 juta.
Uang jutaan rupiah itu, menurut polisi di Pamekasan, digaet
dengan mudah oleh Mashurat. Mula-mula, kiai yang mempunyai dua
mobil mercy dan beberapa hektar sawah ladang itu,
mendemonstrasikan kebolehannya mengembangbiakkan uang. Uang Rp
1.000, misalnya, disulap menjadi Rp 10.000. Setelah itu, orang
yang merasa tertarik, dan mengumpulkan uang dalam jumlah banyak
untuk dilipatgandakan, dibodohi mentah-mentah. Uang yang telah
disetor, bukannya beranak pinak, malahan amblas.
"Kiai Urat memang penipu ulung," kata Daruri Mukti, 37 tahun,
penduduk Surabaya. Dari sekian banyak orang yang kena tipu,
dialah yang mula-mula sadar. Ceritanya dimulai dua tahun lalu,
saat usahanya berdagang material bangunan jatuh pailit.
Seseorang membisiki bahwa di Desa Lenteng, Sumenep, ada kiai
yang bisa melipatgandakan uang. Daruri yang lagi puyeng segera
tertarik.
Ia menemui Pak Kiai dan diberi selembar kertas putih. "Coba
gulung dan pegang erat-erat," perintah kiai bertubuh pendek dan
senang memelihara rambut gondrong itu. Daruri menurut. Dan ia
jadi terbelalak ketika kertas di tangannya dalam sekejap telah
berubah menjadi selembar uang Rp 10 ribu. Namun, ketika uang
tersebut diminta, tak dibolehkan. Mashurat hanya mengatakan,
kalau Daruri kepingin punya modal untuk berdagang kembali, harap
menyediakan Rp 1 juta. Ia sanggup melipatgandakannya sepuluh
kali.
Daruri kontan menjuali perhiasan istri dan semua kekayaannya
yang masih tersisa, lalu buru-buru balik ke Madura. Setelah
menanti seharian, tepat tengah malam ia dipanggil ke sebuah
ruangan di rumah kiai yang bertingkat tiga itu. Uang Rp 1 juta
diserahkan dan sebagai gantinya Daruri menerima setumpuk kertas
putih, dengan pesan, baru boleh dibuka setelah 40 hari.
Membukanya harus pada tengah malam Selasa Legi, Jumat Legi, atau
hari lain yang pasarannya Legi, disertai membaca surat Yasin
atau Waqi'ah. Pesannya yang lain: tutup mulut kepada siapa pun.
Tunggu punya tunggu, dari Legi ke Legi, bahkan sampai Daruri
mondar-mandir beberapa kali ke Lenteng, tumpukan kertas yang ada
di tangannya tak kunjung berubah menjadi uang. "Kamu belum
mendapat ridla Al Mukarram," jawaban Mashurat, setiap kali hal
itu ditanyakan. Yang disebut "Mukarram", kata Mashurat, ialah
gurunya.
Karena penasaran, dan merasa capek mondar-mandir Surabaya-Madura
beberapa kali, Daruri akhirnya memutuskan untuk mondok di rumah
Pak Kiai. Sekitar 20 orang lainnya, kata Daruri, ternyata turut
menginap di sana dengan maksud yang sama. Bahkan mereka ada yang
sudah setahun lebih menunggu, tanpa curiga, apalagi memprotes.
Tapi Daruri, setelah tujuh bulan ngendon di sana, akhirnya sadar
telah ditipu dan melapor ke polisi. Dan sejak 18 Juni lalu, Pak
Kiai yang punya empat istri dan delapan anak itu, ditahan.
Tapi, Daruri barangkali masih "untung", hanya kehilangan Rp 1
juta. Gafur, 30 tahun, bekas pengemudi, kena Rp 2 juta.
Celakanya, uang yang diberikan kepada Mashurat adalah pinjaman
dari bank. Untuk mengembalikan kredit, ia terpaksa menjual
rumahnya, dan kini ceritanya, "saya mengontrak rumah kecil
bersama tiga keluarga lain yang juga kena tipu." Abdul Ghaffar
pegawai Pemerintah Daerah Surabaya, tak kalah geramnya: ia kena
sodok Rp 4 juta. Sedangkan H. Lutfi dan tiga orang lainnya,
menurut polisi, masing-masing tergaet Rp 10 juta
Tapi yang paling banyak kena memang Hasnah -- saudara Daruri
yang tinggal di Malaysia itu.
Ceritanya, setelah berkenalan tempo hari, Mashurat mengajak
Daruri ke Singapura, entah untuk apa. Dari sana, mereka ke
Malaysia, menginap di rumah Hasnah. Balik ke Surabaya, tahu-tahu
Daruri mendapat surat dari saudaranya itu, bahwa ia sudah
menyerahkan Rp 32 juta kepada Mashurat dengan maksud untuk
dilipatgandakan. Tentu saja hasilnya -- seperti nasib yang lain:
nihil.
Namun, Mashurat membantah telah melakukan penipuan. Kekayaannya
yang sekarang, katanya, tak lain hasil menang judi di Copa
Cabana, Jakarta, beberapa waktu lalu -- sebesar Rp 115 juta.
Tamu-tamunya yang banyak berdatangan, begitu pengakuannya, bukan
untuk melipatgandakan uang. Tapi untuk minta nomor judi buntut
atau minta jampi-jampi agar bisa naik pangkat atau agar bisa
kawin lagi. Dan yang paling banyak, umbahnya, yang meminta agar
usaha dagangnya lancar.
Mashurat biasanya memberikan azimat berupa lipatan kertas
bertuliskan huruf Arab. Salah seorang korban, yang iseng-iseng
membuka lipatan kertas tersebut, menjadi terkejut, sebab tulisan
dengan tinta biru itu ternyata berbunyi "laa illaha". Artinya:
tidak ada Tuhan. Jadi, ternyata, "dia mengajak orang untuk
kufur," kata korban tadi.
Kutur atau tidak, Mashurat jelas kaya. Selain dua mobil mercy
dan sawah berhektar-hektar, dia juga mempunyai 32 mobil angkutan
umum. Keempat istrinya yaitu Atiyah, Suwarni, Rosliyah, dan
Aluwiyah masing-masing dibuatkan gedung cukup besar yang
lantainya dialasi permadani. Keempat rumah tersebut -- lengkap
dengan lampu-lampu hias, mebel kayu jati berukir, dan televisi
berwarna serta pesawat video bak istana berjajar di atas tanah
seluas satu hektar. Untuk penerangannya, digunakan generator.
"Semalam habis 100 liter solar," kata seorang pengikut Mashurat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini