Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kiai dari istana lenteng

Kiai mashurat dari desa lenteng, sumenep, dituduh melakukan penipuan. mengaku bisa melipatgandakan uang. (krim)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIAI Mashurat, apa boleh buat, kini harus menginap di rumah tahanan polisi Pamekasan, Madura. Kiai muda, 30 tahun, yang kaya raya dan punya gaya hidup "wah" itu, dituduh melakukan penipuan sampai ratusan juta rupiah. Sampai pekan lalu sudah sekitar 20 orang yang mengaku tertipu antara Rp 1 juta-Rp 10 juta. Hasnah, asal Jawa Timur, yang kini mukim di Malaysia, misalnya, kepada saudaranya bahkan mengaku kena kibul sampai Rp 32 juta. Uang jutaan rupiah itu, menurut polisi di Pamekasan, digaet dengan mudah oleh Mashurat. Mula-mula, kiai yang mempunyai dua mobil mercy dan beberapa hektar sawah ladang itu, mendemonstrasikan kebolehannya mengembangbiakkan uang. Uang Rp 1.000, misalnya, disulap menjadi Rp 10.000. Setelah itu, orang yang merasa tertarik, dan mengumpulkan uang dalam jumlah banyak untuk dilipatgandakan, dibodohi mentah-mentah. Uang yang telah disetor, bukannya beranak pinak, malahan amblas. "Kiai Urat memang penipu ulung," kata Daruri Mukti, 37 tahun, penduduk Surabaya. Dari sekian banyak orang yang kena tipu, dialah yang mula-mula sadar. Ceritanya dimulai dua tahun lalu, saat usahanya berdagang material bangunan jatuh pailit. Seseorang membisiki bahwa di Desa Lenteng, Sumenep, ada kiai yang bisa melipatgandakan uang. Daruri yang lagi puyeng segera tertarik. Ia menemui Pak Kiai dan diberi selembar kertas putih. "Coba gulung dan pegang erat-erat," perintah kiai bertubuh pendek dan senang memelihara rambut gondrong itu. Daruri menurut. Dan ia jadi terbelalak ketika kertas di tangannya dalam sekejap telah berubah menjadi selembar uang Rp 10 ribu. Namun, ketika uang tersebut diminta, tak dibolehkan. Mashurat hanya mengatakan, kalau Daruri kepingin punya modal untuk berdagang kembali, harap menyediakan Rp 1 juta. Ia sanggup melipatgandakannya sepuluh kali. Daruri kontan menjuali perhiasan istri dan semua kekayaannya yang masih tersisa, lalu buru-buru balik ke Madura. Setelah menanti seharian, tepat tengah malam ia dipanggil ke sebuah ruangan di rumah kiai yang bertingkat tiga itu. Uang Rp 1 juta diserahkan dan sebagai gantinya Daruri menerima setumpuk kertas putih, dengan pesan, baru boleh dibuka setelah 40 hari. Membukanya harus pada tengah malam Selasa Legi, Jumat Legi, atau hari lain yang pasarannya Legi, disertai membaca surat Yasin atau Waqi'ah. Pesannya yang lain: tutup mulut kepada siapa pun. Tunggu punya tunggu, dari Legi ke Legi, bahkan sampai Daruri mondar-mandir beberapa kali ke Lenteng, tumpukan kertas yang ada di tangannya tak kunjung berubah menjadi uang. "Kamu belum mendapat ridla Al Mukarram," jawaban Mashurat, setiap kali hal itu ditanyakan. Yang disebut "Mukarram", kata Mashurat, ialah gurunya. Karena penasaran, dan merasa capek mondar-mandir Surabaya-Madura beberapa kali, Daruri akhirnya memutuskan untuk mondok di rumah Pak Kiai. Sekitar 20 orang lainnya, kata Daruri, ternyata turut menginap di sana dengan maksud yang sama. Bahkan mereka ada yang sudah setahun lebih menunggu, tanpa curiga, apalagi memprotes. Tapi Daruri, setelah tujuh bulan ngendon di sana, akhirnya sadar telah ditipu dan melapor ke polisi. Dan sejak 18 Juni lalu, Pak Kiai yang punya empat istri dan delapan anak itu, ditahan. Tapi, Daruri barangkali masih "untung", hanya kehilangan Rp 1 juta. Gafur, 30 tahun, bekas pengemudi, kena Rp 2 juta. Celakanya, uang yang diberikan kepada Mashurat adalah pinjaman dari bank. Untuk mengembalikan kredit, ia terpaksa menjual rumahnya, dan kini ceritanya, "saya mengontrak rumah kecil bersama tiga keluarga lain yang juga kena tipu." Abdul Ghaffar pegawai Pemerintah Daerah Surabaya, tak kalah geramnya: ia kena sodok Rp 4 juta. Sedangkan H. Lutfi dan tiga orang lainnya, menurut polisi, masing-masing tergaet Rp 10 juta Tapi yang paling banyak kena memang Hasnah -- saudara Daruri yang tinggal di Malaysia itu. Ceritanya, setelah berkenalan tempo hari, Mashurat mengajak Daruri ke Singapura, entah untuk apa. Dari sana, mereka ke Malaysia, menginap di rumah Hasnah. Balik ke Surabaya, tahu-tahu Daruri mendapat surat dari saudaranya itu, bahwa ia sudah menyerahkan Rp 32 juta kepada Mashurat dengan maksud untuk dilipatgandakan. Tentu saja hasilnya -- seperti nasib yang lain: nihil. Namun, Mashurat membantah telah melakukan penipuan. Kekayaannya yang sekarang, katanya, tak lain hasil menang judi di Copa Cabana, Jakarta, beberapa waktu lalu -- sebesar Rp 115 juta. Tamu-tamunya yang banyak berdatangan, begitu pengakuannya, bukan untuk melipatgandakan uang. Tapi untuk minta nomor judi buntut atau minta jampi-jampi agar bisa naik pangkat atau agar bisa kawin lagi. Dan yang paling banyak, umbahnya, yang meminta agar usaha dagangnya lancar. Mashurat biasanya memberikan azimat berupa lipatan kertas bertuliskan huruf Arab. Salah seorang korban, yang iseng-iseng membuka lipatan kertas tersebut, menjadi terkejut, sebab tulisan dengan tinta biru itu ternyata berbunyi "laa illaha". Artinya: tidak ada Tuhan. Jadi, ternyata, "dia mengajak orang untuk kufur," kata korban tadi. Kutur atau tidak, Mashurat jelas kaya. Selain dua mobil mercy dan sawah berhektar-hektar, dia juga mempunyai 32 mobil angkutan umum. Keempat istrinya yaitu Atiyah, Suwarni, Rosliyah, dan Aluwiyah masing-masing dibuatkan gedung cukup besar yang lantainya dialasi permadani. Keempat rumah tersebut -- lengkap dengan lampu-lampu hias, mebel kayu jati berukir, dan televisi berwarna serta pesawat video bak istana berjajar di atas tanah seluas satu hektar. Untuk penerangannya, digunakan generator. "Semalam habis 100 liter solar," kata seorang pengikut Mashurat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus