BAGI penduduk pedalaman Irian Jaya memelihara babi bukan hanya
kebanggaan keluarga. Tapi juga berarti memelihara penyakit.
Cacing pita yang banyak ditularkan ke dalam tubuh manusia lewat
babi, ternyata dapat juga meninggalkan cysticercosa, penyakit
berbentuk benjolan sebesar biji beras yang melekat pada daging,
otak, atau mata. Akibatnya dapat menyebabkan buta, epilepsi,
bahkan gila.
Membunuh cacing pita (Taenia solium) di dalam tubuh manusia
memang bukan hal sulit lagi. Tetapi, tubuh si cacing boleh
hancur lumat digasak obat apa pun. Yang pasti, kepala dan
telur-telur akan tetap aman bersarang di tubuh manusia -- dan
berkembang terus. Telur kemudian menetas berwujud larva-larva
(cacing kecil) -- inilah yang kemudian membentuk
benjolan-benjolan tadi.
Penyakit yang disebabkan cacing ini tergolong parasit. Dan
perkembangannya membutuhkan perkawinan. Tak heran bila
sticercosa baru terlihat setelah si pengidap cacing sudah
dewasa -- meskipun dari data-data yang ada anak-anak di Irian
Jaya tak sedikit yang mulai menampakkan gejala penyakit ini.
Laporan Rumah Sakit Enarotali yang sampai di Departemen
Kesehatan menyebutkan, 231 orang terkena penyakit ini selama
1969/1976. Dari jumlah itu, 25 penderita meninggal, 21
diamputasi, dan 125 orang cacat karena luka bakar. Kepala Sub
Direktorat Zoologi Departemen Kesehatan, drh. C. Koesharyono,
menyodorkan data terakhir (l977) yang diterimanya dari Irian
Jaya: dari 367 penderita yang memeriksakan diri pada tahun itu,
53 orang mengidap epilepsi berat dan 11 orang kombustio (luka
bakar). Kasus ini banyak dijumpai di Paniai Timur, Adedide,
Kamu, dan Tigi.
Penyakit cacing Irian -- disebut begitu karena, menurut drh.
Koesharyono, hanya terdapat di Irian Jaya -- diketahui sejak
1970 "Waktu itu dokter setempat banyak menemukan kasus
kombustio berat," ungkap Direktur Jenderal P3M Departemen
Kesehatan, dr. M. Adhiatma, M.P.H. Dikatakannya, penduduk Irian
Jaya yang biasa tidur di sekitar pendiangan, dengan tak sadar
tercebur ke tengah api sewaktu epilepsinya kumat ketika sedang
tidur. Ketika otak seorang penderita yang meninggal dibedah,
ditemukan cyste bersarang di situ. "Itulah awal diketahuinya
penyakit ini," kata Adhiatma.
Seorang misionaris Katolik, Pastor Yan van de Horst, yang
bertugas di Irian Jaya sejak 1970, tahun berikutnya menemukan
kasus-kasus penyakit itu di antara beberapa penduduk di
Kabupaten Paniai. Karena beberapa Puskesmas yang ada di sana
tampaknya belum mampu mengobati para penderita, Horst berusaha
sendiri mengatasinya. Ketika cuti 1978, ia berusaha mencari obat
penyakit itu di pabrik-pabrik obat terkenal di Eropa. Tapi
gagal.
Dan ketika cuti tahun ini, pastor itu langsung mendatangi pabrik
obat Hoechst di Jerman Barat. Menurut Horst, pabrik ini memang
telah menemukan obat cysticercosa yang bisa membunuh cacing
sekaligus mematikan larva-larva dan kepala si cacing. Tapi,
tambah pastor itu, obat yang bernama mebendazole itu belum
diizinkan masuk ke Indonesia. Obat untuk penyakit serupa dari
pabrik yang lain, Merck, juga belum mendapat izin dipasarkan di
Indonesia.
Tampaknya para penderita cysticercosa di Irian harus tetap
bersabar mengidap penyakit ini. Sebab sementara obat yang ada
belum datang ke Indonesia, Departemen Kesehatan agaknya belum
dapat berbuat banyak. Sebab, menurut Adhiatma, "pencegahan
ditekankan pada penyuluhan untuk mengubah sikap hidup penduduk
Irian Jaya." Artinya, mereka akan disadarkan agar, bila memasak
daging harus benar-benar matang, menjauhkan kandang babi dari
rumah -- dan, tentu pula, memperhatikan kebersihan lainnya.
"Obat yang ada cuma untuk cacingnya," ungkap Adhiatma. Sebab
menurut dia, "secara nasional prioritas pemberantasan cacing
pita lebih rendah dibandingkan dengan pemberantasan malaria,
muntah-berak, TBC, dan demam berdarah."
Usia cysticercosa sudah cukup tua. Penyakit ini sudah dikenal
sejak zaman kekaisaran Tiongkok. Konon, di waktu itu, untuk
memberantasnya si penderita mula-mula dipuasakan. Setelah cukup
lapar, di hadapannya dihidangkan makanan yang serba lezat.
Cacing pita di dalam perut yang rupanya sudah kelaparan pula,
segera menjulurkan kepalanya lewat mulut si penderita, begitu
mencium bau makanan tadi. Pada saat itulah leher cacing itu
dipotong dan kepalanya dibuang.
Cara kuno itu barangkali masih mempan untuk diulangi kembali di
Irian. Hanya, barngkali, cacing di sana tak begitu terangsang
untuk menampakkan kepalanya. Mungkin karena makanan di Irian
Jaya kurang merangsang bagi binatang melata itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini