SUATU saat RS St. Carolus, Jakarta, menerima pasien seorang anak
berusia 5 tahun. Penderita demam panas. Setelah tiga hari
panasnya tidak juga turun, dokter mewawancarai orangtuanya.
Ketahuan, pipi anak tersebut pernah digigit anjing tetangga.
RS tersebut langsung mengisolasikan anak itu. Lima hari setelah
itu, bocah tadi meninggal. Hasil autopsi kemudian menunjukkan,
si anak positif menderita rabies. Orangtuanya tidak menyuntikkan
anaknya dengan vaksin antirabies.
Meskipun sudah disuntik vaksin antirabies belum tentu terjamin
lolos dari bahaya lain. Bisa muncul penyakit lain. Efek
sampingan vaksin antirabies bisa mencabut nyawa kalau tidak
cepat diketahui.
Yaitu bisa menyebabkan peradangan otak (encephalitis post
vaccination/ROVS). Menurut catatan, sejak 1972 ada 103 kasus
ROVS dari 6 provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan), ditambah 90 kasus lagi
dari Sulawesi Utara -- atau 87% dari seluruh kasus ROVS yang
dilaporkan.
Dr. R.J. Theos (kepala Direktorat Kesehatan Dati I/Sul-Ut) yang
pernah meneliti hal itu menyebutkan, kasus ROVS banyak dijumpai
pada mereka yang berusia 25-40 tahun. Dalam penelitiannya, Theos
mengambil kesimpulan bahwa di Sul-Ut insiden ini menimpa 8 dari
setiap 1.000 orang tersangka penderita rabies dengan angka
mortalitas yang cukup tinggi (40%). Masa "inkubasi" dari efek
sampingan vaksin antirabies ini cukup panjang (11-81 hari) --
dan baru setelah itu ketahuan seseorang menderita ROVS atau
tidak.
Gejala awal penderita ROVS adalah sakit kepala yang hebat
(menyerang 58% penderita), gejala neurologis (48%), tidak ada
nafsu makan, gelisah, sering disertai kejang-kejang. Dan yang
paling menonjol adalah gejala kelainan mental (psychiatric
devianc) yang mencapai 80%. Dr. Kapoyos, juga dari Sul-Ut, yang
meneliti perawatan penderita ROVS, mencatat bahwa serangan pada
saraf mata dan saraf muka adalah yang paling banyak didapat
daripada ROVS. Dari 26 pasien yang dirawatnya, semuanya
memerlukan perawatan ICU dengan diberi 16-20 mg corticosteroid
(AGTH). Meskipun begitu, angka kematian tetap tinggi, dari 26
penderita 10 orang meninggal.
Kalau memang vaksin yang menjadi penyebab, dr. Abdul Kadir,
kepala Bidang Vaksin Peum Bio Farma, Bandung (dulu Institut
Pasteur), mengatakan, dari 3.000 kasus vaksinasi yang ditangani
Bio Farma, baru ada seorang anak berusia 10 tahun) yang kena
ROVS. "Itu pun sembuh setelah diberi kortison," ujarnya.
Menurut Kadir, akibat sampingan yang bisa menimbulkan ROVS itu
"hanya pada vaksin yang dibuat dari otak kecil kera dewasa."
Kalau penderita gigitan binatang terkena immun terhadap vaksin
phenol merthiolate (berasal dari otak kera), Kadir mengatakan
bisa langsung diganti dengan vaksin jenis lain: SMB (suckling
mouth brain, otak kecil anak tikus). Atau bisa juga diberi
vaksin HCDV yang diakui WHO sebagai vaksin antirabies terbaik.
Jenis vaksin terakhir ini masih harus diimpor (dari Myreux,
Prancis) yang berasal dari human diploid cell (jaringan
paru-paru vetus manusia).
Bio Farma sendiri tiap tahun memproduksikan 750 liter vaksin
phenol merthiolate dan cuma 25 liter vaksin SMB. "Yang terakhir
ini kami pakai sendiri, artinya untuk pasien Bio Farma," ujar
Abdul Kadir. Vaksin HCDV belum mampu dibuat Bio Farrna, karena
alat dan biaya tidak ada. Sedangkan vaksin SMB cukup mahal.
Karena tidak mencukupi, Direktur Jenderal P3M Departeman
Kesehatan masih harus mengimpornya. P3M menyediakan lebih dari
260.000 liter vaksin antirabies setiap tahun. Jadi bisa
dibayangkan, sebagian besar vaksin yang beredar di Indonesia
berasal dari luar negeri yang mungkin juga bisa menimbulkan
ROVS.
Meskipun belum jelas asal vaksin yang bisa mengakibatkan ROVS,
Abdul Kadir meyakinkan bahwa setiap produksi Bio Farma selalu
diadakan tes klinis. "Untuk standar antigenic value kami kirim
ke IRRV di Kopenhagen," kata Abdul Kadir. Badan seperti IRRV
(International Reference of Rabies Vaccine) ini kemudian
memberikan sertifikat dan menyebutkan bahwa vaksin keluaran
Bandung ini bisa tahan sampai 8 bulan pada suhu 2-10øC dan hanya
bertahan 1 bulan untuk suhu 25øC.
Yang perlu, meski vaksin bisa menimbulkan efek sampingan,
pemberian vaksin masih lebih baik jika dibandingkan dengan
korban gigitan yang dibiarkan begitu saja. Sayang Departemen
Kesehatan tak punya data jumlah mereka yang pernah diberi vaksin
antirabies -- kecuali menyebutkan, "vaksinasi diberikan kalau
ada wabah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini