Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Akibat samping anti-rabies

Menurut penelitian yang dilakukan oleh dr. r.j. theos (kepalan direktorat kesehatan sul-ut), vaksin antirabies bisa menimbulkan akibat sampingan-radang otak. (ksh)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU saat RS St. Carolus, Jakarta, menerima pasien seorang anak berusia 5 tahun. Penderita demam panas. Setelah tiga hari panasnya tidak juga turun, dokter mewawancarai orangtuanya. Ketahuan, pipi anak tersebut pernah digigit anjing tetangga. RS tersebut langsung mengisolasikan anak itu. Lima hari setelah itu, bocah tadi meninggal. Hasil autopsi kemudian menunjukkan, si anak positif menderita rabies. Orangtuanya tidak menyuntikkan anaknya dengan vaksin antirabies. Meskipun sudah disuntik vaksin antirabies belum tentu terjamin lolos dari bahaya lain. Bisa muncul penyakit lain. Efek sampingan vaksin antirabies bisa mencabut nyawa kalau tidak cepat diketahui. Yaitu bisa menyebabkan peradangan otak (encephalitis post vaccination/ROVS). Menurut catatan, sejak 1972 ada 103 kasus ROVS dari 6 provinsi (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan), ditambah 90 kasus lagi dari Sulawesi Utara -- atau 87% dari seluruh kasus ROVS yang dilaporkan. Dr. R.J. Theos (kepala Direktorat Kesehatan Dati I/Sul-Ut) yang pernah meneliti hal itu menyebutkan, kasus ROVS banyak dijumpai pada mereka yang berusia 25-40 tahun. Dalam penelitiannya, Theos mengambil kesimpulan bahwa di Sul-Ut insiden ini menimpa 8 dari setiap 1.000 orang tersangka penderita rabies dengan angka mortalitas yang cukup tinggi (40%). Masa "inkubasi" dari efek sampingan vaksin antirabies ini cukup panjang (11-81 hari) -- dan baru setelah itu ketahuan seseorang menderita ROVS atau tidak. Gejala awal penderita ROVS adalah sakit kepala yang hebat (menyerang 58% penderita), gejala neurologis (48%), tidak ada nafsu makan, gelisah, sering disertai kejang-kejang. Dan yang paling menonjol adalah gejala kelainan mental (psychiatric devianc) yang mencapai 80%. Dr. Kapoyos, juga dari Sul-Ut, yang meneliti perawatan penderita ROVS, mencatat bahwa serangan pada saraf mata dan saraf muka adalah yang paling banyak didapat daripada ROVS. Dari 26 pasien yang dirawatnya, semuanya memerlukan perawatan ICU dengan diberi 16-20 mg corticosteroid (AGTH). Meskipun begitu, angka kematian tetap tinggi, dari 26 penderita 10 orang meninggal. Kalau memang vaksin yang menjadi penyebab, dr. Abdul Kadir, kepala Bidang Vaksin Peum Bio Farma, Bandung (dulu Institut Pasteur), mengatakan, dari 3.000 kasus vaksinasi yang ditangani Bio Farma, baru ada seorang anak berusia 10 tahun) yang kena ROVS. "Itu pun sembuh setelah diberi kortison," ujarnya. Menurut Kadir, akibat sampingan yang bisa menimbulkan ROVS itu "hanya pada vaksin yang dibuat dari otak kecil kera dewasa." Kalau penderita gigitan binatang terkena immun terhadap vaksin phenol merthiolate (berasal dari otak kera), Kadir mengatakan bisa langsung diganti dengan vaksin jenis lain: SMB (suckling mouth brain, otak kecil anak tikus). Atau bisa juga diberi vaksin HCDV yang diakui WHO sebagai vaksin antirabies terbaik. Jenis vaksin terakhir ini masih harus diimpor (dari Myreux, Prancis) yang berasal dari human diploid cell (jaringan paru-paru vetus manusia). Bio Farma sendiri tiap tahun memproduksikan 750 liter vaksin phenol merthiolate dan cuma 25 liter vaksin SMB. "Yang terakhir ini kami pakai sendiri, artinya untuk pasien Bio Farma," ujar Abdul Kadir. Vaksin HCDV belum mampu dibuat Bio Farrna, karena alat dan biaya tidak ada. Sedangkan vaksin SMB cukup mahal. Karena tidak mencukupi, Direktur Jenderal P3M Departeman Kesehatan masih harus mengimpornya. P3M menyediakan lebih dari 260.000 liter vaksin antirabies setiap tahun. Jadi bisa dibayangkan, sebagian besar vaksin yang beredar di Indonesia berasal dari luar negeri yang mungkin juga bisa menimbulkan ROVS. Meskipun belum jelas asal vaksin yang bisa mengakibatkan ROVS, Abdul Kadir meyakinkan bahwa setiap produksi Bio Farma selalu diadakan tes klinis. "Untuk standar antigenic value kami kirim ke IRRV di Kopenhagen," kata Abdul Kadir. Badan seperti IRRV (International Reference of Rabies Vaccine) ini kemudian memberikan sertifikat dan menyebutkan bahwa vaksin keluaran Bandung ini bisa tahan sampai 8 bulan pada suhu 2-10øC dan hanya bertahan 1 bulan untuk suhu 25øC. Yang perlu, meski vaksin bisa menimbulkan efek sampingan, pemberian vaksin masih lebih baik jika dibandingkan dengan korban gigitan yang dibiarkan begitu saja. Sayang Departemen Kesehatan tak punya data jumlah mereka yang pernah diberi vaksin antirabies -- kecuali menyebutkan, "vaksinasi diberikan kalau ada wabah".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus