Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pesta para penghafal Quran

Pertemuan para hafiz (penghafal Quran) di desa sitanggal, brebes. (ag)

6 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH desa petani yang cukup makmur, yang kebetulan sedang panen bawang merah, menjadi tempat pertemuan ratusan penghafal Quran dari Jawa Tengah. Ini memang pertama kalinya di Indnesia acara besar para hafizh itu diselenggarakan secara serempak di rumah-rumah penduduk -- di Desa Sitanggal, Kecamatan Larangan, 14 km dari Brebes arah ke barat. Barangkali malah di seluruh dunia, berkumpulnya 300-an penghafal Quran di satu tempat, yang mengaji secara sekaligus di luar kepala, hanya terjadi di sini. "Indonesia memang termasuk paling banyak hafiznya dibanding negeri mana pun," kata K.H. A. Ghaffar Ismail, yang hari itu -- Ahad, 24 Juli -- memberi ceramah pada penutupan acara. Mubaligh besar dari Pekalongan itu, yang juga ayah penyair Taufiq Ismail -- turut hadir waktu itu -- hanya membandingkan Indonesia dengan "sebuah provinsi di India yang penduduknya menganut Syi'ah sekte Isma'iliah". Orang Isma'ili memang juga dikenal sebagai penghafal Quran. Tak heran bila Desa Sitanggal, berpenduduk sekitar 17.000, dikelilingi sawah dan kebun tebu, seperti menyambut tamu agung. Jalan-jalan, juga sebagian yang menghubungkan desa itu dengan jalan raya Cirebon-Brebes, sejak dua hari sebelumnya sudah dihias dengan bendera, janur kuning, kertas warna-warni dan spanduk-spanduk tanpa sponsor. "Kami sebenarnya memperkirakan akan datang 460 hafiz," kata Zamhari, anggota panitia di situ. Ia memang agak kecewa. Enam puluh rumah sudah menyiapkan diri untuk tempat penampungan. "Mereka sendiri yang menyodorkan rumah mereka," kata Slamet Effendi, juga panitia. "Tapi kami terpaksa memilih yang memenuhi syarat." Yakni yang lapang, baik rumah gedung maupun rumah biasa. Tapi rombongan pertama baru datang pukul 2.00 dinihari Ahad. Itu dari Yogyakarta -- termasuk seorang putri K.H. Ali Ma'shum, Rais 'Am Syuriah NU. Padahal dari kemarin orang kampung sudah tak sabar. "Rumah saya kok tidak ditempati? Padahal sudah lama ngadang dan menyiapkan makanan!" kata Ibu Tarkiah kepada panitia, protes. "Habis tamu belum datang." Dan baru menjelang acara berlangsung, pukul 9.00, para tamu komplit. Mereka semua diberi lencana dari kain biru, diangkut antara lain oleh empat mobil penduduk desa. Di jalan-jalan kampung, orang meminta mereka masuk. "Kalau mau di sini silakan. Saya sudah lama menunggu," kata Ma'muri A. Rahman, pemimpin orkes gambus desa yang berjudul Familly -- dobel l. Maklum, "Para hafiz 'kan bukan tamu sembarangan," kata H. Mahmud Astari, kepala desa. "Kami memang sedang kejatuhan rezeki," katanya. Yang seperti itu juga dikatakan oleh Bupati Soepardi, yang memberi sambutan pada penutupan acara. Lebih lagi, dengarlah kata-kata Ustaz Ghaffar Ismail. "Tangan hafiz lebih suci dari tangan malaikat!" -- katanya, dari atas podium, di tengah puluhan ribu pengunjung. Maka sejak pagi Ahad itulah suasana desa berubah menjadi seperti Lebaran, walau kesibukan sehari-hari tidak diharuskan berhenti. Kiai Miftah, misalnya, yang menerima para hafizah (perempuan) dari Buaran, Pekalongan, menyilakan mereka memulai acara hafalan pukul 8.00, di ruang atas rumahnya yang bertingkat -- sementara di tokonya di bawah ia dengan tenteram melayani para pembeli. Para hafiz itu dibagi ke rumah-rumah yang sudah disiapkan. Ada yang empat orang, ada juga yang sampai sepuluh. Di tiap rumah mereka membentuk beerapa kelompok -- bersama penduduk yang ingin mengecek hafalan mereka dengan kitab Qurannya. Maka terdengarlah, lewat sekitar 10 pengeras suara yang dipasang sebagian rumah, bacaan Quran yang sangat cepat, rata, terdengar seperti wirid bersahut-sahutan, dan membangkitkan suasana yang "aneh". "Ini desa yang penduduknya keras," kata Ustaz Ghaffar, di mobil dalam perjalanan pulang. "Mereka suka pidato yang keras, suka bekerja keras." Sitanggal terhitung yang paling banyak jumlah jamaah hajinya di antara seluruh desa di Brebes, di samping memiliki madrasah dari tingkat SD sampai SMTA. Di sini juga terdapat empat qari, pembaca Quran berlagu. Dan di sekitar daerah ini jugalah dulu, di masa pemilu, dua orang kiai terbunuh dan jenazahnya dimasukkan ke dalam sumur -- lalu dikabarkan bunuh diri. Tidak, bukan karena ingatan itu tentunya bila banyak orang -- barangkali saja -- ingin menangis. Suara hafalan Quran, tanpa lagu," membuat hati tenteram," ujar Ibu Tarkiah yang protes tadi. Dari sekitar pukul 9.00 sampai menjelang pukul 13.00, dengan cara per kelompok itu seluruh hafiz berhasil melakukan 46 khataman. Dengan kata lain Quran dibaca utuh, luar kepala, 46 kali. Kemudian barulah, setelah makan dan salat lohor, acara puncak berlangsung di halaman Balai Desa. Di situ seluruh penduduk berkumpul, meluap sampai ke jalanan dan masjid. Sementara itu rombongan dengan mobil dan kolt dari luar kota masih ada jua yang masuk desa. Mereka sebenarnya menunggu, di samping ceramah Ustaz Ghaffar, juga sambutan K.H. Ali Ma'shum, yang dinyatakan berhalangan hadir. Pada kesempatan itu pula dilaksanakan upacara khataman besar. Beberapa surah terakhir Quran dibaca dalam urutan mundur -- oleh dua hafiz bersamasama -- sampai selesai. Dan doa. Seluruh acara ini mengambil nama sederhana: silaturahmi para huffazh -- jamak hafizh. Ini sebenarnya sudah yang kesepuluh kalinya, tapi yang pertama kalinya untuk penyelenggaraan di luar masjid. Mula-mula, sejak 1973, hanya terbatas untuk para hafiz Kabupaten Pekalongan. Idenya konon dari K.H. Syafi'i Abdul Majid, almarhum, ketua "seumur hidup" koperasi batik Buaran yang juga seorang hafiz, bersama Ustaz Ghaffar dan H.A. Djunaid, juga almarhum, ketua Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) waktu itu. Ketiga-tiganya dari Pekalongan. Delapan kali diadakan, dan selamanya di Masjid Besar Kota, tahun kemarin baru acara berpindah ke Bumiayu, Jawa Tengah Selatan. Juga di masjid besar. Dan baru kali ini kebijaksanaan diubah: ke desa. "Jawa Tengah ini pusat hafiz," kata Zamhari yang tadi. Ini dibenarkan Ghaffar Ismail. Paling tidak 20 pesantren di provinsi ini mengkhususkan diri dalam hafalan Quran. Malah beberapa pesantren di Jawa Timur dan Jawa Barat dikatakan tidak lega jika lulusannya tidak men-tashih-kan -- mengecek hafalannya kepada K.H. Arwani di Kudus Jawa Tengah. Dari para pemimpin pesantren yang datang kali ini, misalnya, Kiai Harir Muhammad, yang mengasuh 75 santri di Demak. Tiap tahun sekitar 25 orang masuk, dan sekitar 10 orang lulus. "Kami terpaksa membatasi peminat," katanya. Pesantren hafalan K.H. Syuafi'i sendiri, di Buaran, yang dulu dipimpin Kiai Sonhaji, almarhum, menantunya yang juga hafiz, sudah menelurkan 90 lulusan -- sejak berdirinya pada 1975. Dan jangan dilupakan Pesantren Krapyak yang besar, di Yogya, dengan bagian khusus hafalannya, di bawah K.H. Ali Ma'shum. Lalu ada Perguruan Tinggi Ilmu-ilmu al-Quran (PTIQ), untuk putra dan Institut Ilmu-ilmu al-Quran (IIQ), untuk putri, di Jakarta, yang syarat pertama untuk lulus bagi siswanya adalah hafalan Quran komplit. Meski begitu berapa jumlah hafiz di seluruh Indonesia, datanya belum ada. Hanya jumlah penghafal wanita cukup menakjubkan. Barangkali sekitar 60%, seperti terlihat di Sitanggal itu -- dari para ibu rumah tangga dengan kudung model kampung sampai gadis-gadis dengan kudung ketat. Ghafar Ismail menuturkan, pada acara lomba hafalan Quran dua tahun lalu, terdapat dua finalis wanita yang unik dalam perbandingan umur: seorang masih 17 tahun, yang lain 71 tahun. Lomba hafalan itu, 1981, juga diselenggarakan panitia yang sama dengan yang membawahkan acara di Sitanggal itu. Panitia ini berkedudukan di Pekalongan, dipimpin Nurbasya Djunaid, anak Almarhum H.A. Djunaid. "Itulah musabaqah hifzhil Quran yang pertama, sebelum pemerintah menggabungkannya sekarang ini dengan MTQ seperti di Padang itu," kata A. Zaky Arslan Djunaid, bendahara tetap. Pengikutnya tidak sedikit: 900 orang, dari berbagai pelosok tanah air. "Biayanya hanya Rp 3,5 juta," kata Zaky. Bagaimana bisa? "Sebab mengurus Quran itu kok mudah," jawabnya. Untuk Quran, "bantuan datang sendiri, tak perlu diminta." Contohnya di dusun Brebes itu. Sekitar 20 orang anggota panitia pelaksana, dan desa setempat, masing-masing mengeluarkan Rp 50 ribu. Dan biaya yang dihabiskan seluruhnya sekitar Rp 1,2 juta. Tidak termasuk untuk makan, penginapan dan kendaraan jemputan, tentu, yang akan disumbangkan penduduk dengan senang. Dengan catatan kemungkinan kekurangan ditanggung panitia Pekalongan, uang itu digunakan terutama untuk pengganti transpor. Dan di Sitanggal, sore hari sehabis penutupan acara, terlihat para wakil rombongan mengurus uang jalan itu. Berapa? Untuk yang jauh, seperti Yogya dan Lasem, Rp 6 ribu tiap orang. Untuk yang Semarang dan sekitarnya Rp 4 ribu. Dan untuk yang sekitar Pekalongan Rp 2 ribu. Pas. "Honorarium kita semua ditanggung Gusti Allah," kata Johari, sekretaris. Lalu Sitanggal pelan-pelan kosong. Debu mengepul dari jalan aspal kasar, dalam remang senja. Dan di tengah kebun tebu, di luar desa, dari belakang terdengar jauh azan isya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus