BIASANYA Pengadilan di Singapura, yang menentukan suatu
kematian luar biasa perlu diusut sebagai perkara pembunuhan atau
tidak, hanya perlu sekali sidang dalam waktu beberapa jam saja.
Tapi kali ini, karena menganggap masih banyak hal yang belum
jelas, setelah dua kali bersidang baru 17 Juni nanti pengadilan
dapat menetapkan keputusan: Kematian (WNI) Christine Farida
Suwantika (22 tahun), di sebuah apartemen mewah di Peach Garden
(Meyer Road, Katong, Singapura) 25 Agustus tahun lalu itu, akan
menjadi perkara pembunuhan atau bunuh diri.
Peristiwa Christine dari semula memang menarik. Pelayannya,
Parmi, menemukan mayat nyonya majikannya Christine atau Nyonya
William Loh, tertelungkup di lantai dapur. Ruangan dapur masih
penuh gas. Pintu dan jendela rapat tertutup. Bahkan celah di
bawah pintu terganjal kain serbet.
Di beberapa tempat di kedua, lengan dan leher korban terlihat
luka, tersayat. Di sebuah kamar tidur, tempat Christine
mengurung diri selama dua hari sebelum ajal, jua terdapat
genangan darah. Dua buah pisau lipat ditemukan di situ. Salah
sebuah di antaranya penuh darah.
Diawetkan
Berita yang tersiar mula-mula: Christine bunuh diri! Tapi ayah
korban, Tika Djuwena beranggapan lain. Karena kehidupan keluarga
anaknya dan suasana keliling tempat mayat diketemukan,
menimbulkan kecurigaan. Ia berkesimpulan anaknya tak mati bunuh
diri. Beberapa petunjuk dan motif yang dapat dikumpulkannya,
katanya, memperkuat kecurigaan itu.
Misalnya, seperti dipertanyakan Tika, mana mungkin korban dapat
membawa luka yang mengucurkan darah deras tanpa meninggalkan
setetes bekaspun di lantai antara kamar dengan dapur?
Memperhatikan posisi mayat yang tertelungkup, timbul pertanyaan
Tika, bagaimana cara korban menyelimuti dirinya dengan rapi
sebelum mati?
Kehidupan keluarga anak dan menantunya juga tak luput
dilperhatian Tika. Christine dan William Loh, seperti pernah
diceritakannya, menikah Juni 1975. Sebelumnya keuanya masih
saudara sepupu -- ibu mereka kakak adik. Ketika menikah
Christine masih berusia 19 tahun dan William, anak Robin Loh
(pengusaha terkenal), berumur 23 tahun.
Walaupun dari perkawinan keluarga muda ini telah melahirkan
Jacqueline (yang baru berumur 7 bulan ketika ditinggal ibunya),
rumah tangga Christine William makin goyah saja. Sebab, menurut
Tika, dalam kehidupan menantunya muncul wanita lain.
Diam-diam rupanya William mempunyai hubungan tak beres dengan
Margarete. Wanita ini telah bersuami, adalah pegawai perusahaan
keluarga Loh juga. Berbagai jalan telah ditempuh kedua belah
pihak keluarga untuk membereskannya. Tapi cekcok makin memuncak.
Keributan terakhir antara suami-isteri ini terjadi di kamar
tertutup. Parmi, pembantu rumah tangga mereka, tak tahu apa yang
terjadi dengan kedua majikannya di dalam. Hanya keesokan
harinya, 25 April 1978, Parmi menemukan mayat nyonya majikannya
di dapur.
Siapa yang harus dicurigai atas kematian Christine -- jika tidak
karena bunuh diri? Suaminyakah? Tika Djuwena tentu tak dapat
asal menuduh saja. Tapi seperti pernah dikatakannya kepada
TEMPO, "Saya percaya polisi Indonesia maupun Singapura akan
dapat menyelesaikan soal ini."
Segala sesuatu yang dianggapnya dapat membantu pengusutan telah
dilakukannya. Jenazah Christine telah diawetkan, katanya agar
tak rusak sampai sekitar dua tahunan, sebelum dikubur di
pemakaman Jat ipetamburan (Jakarta) 2 September lalu. Siapa tahu
perlu digali kembali untuk/pemeriksaan mayat ulang. Handai
taulan diminta bantuannya pula, melalui iklan dukacita,
barangkali ada yang dapat memberi petunjuk "untuk menjernihkan
duduk perkara yang menyebabkan kematian almarhUmah" (TEMPO, 4
Nopember 1978).
Untuk meyakinkan pengadilan Singapura bahwa kematian Christine
perlu diusut sebagai perkara pembunuhan, Tika Djuwena menyewa
penasehat hukum setempat, Pala Krishnan, dengan bantuan dr
Handoko Tjondroputranto dari Laboratorium Kriminil Univ.
Indonesia. Ahli pemeriksa mayat kehakiman Indonesia itu sejak
semula memang hendak ditampilkan sebagai saksi ahli. Tapi
ditolak oleh pejabat Singapura. Belakangan dr Handoko boleh
tampil juga walaupun hanya sebagai pembantu Mr Krishnan.
Peranannya, "saya bisa membisikkan pertanyaan ketika dr Wee
diperiksa sebagai saksi ahli, " kata dr Handoko .
Namun dua kali pengadilan bersidang, 17 dan 18 April lalu,
ternyata keterangan pemeriksa mayat setempat, dr Wee Keng Poh,
tak berkenan di hati Krishnan maupun dr Handoko. Saksi ahli itu
ternyata tetap mempertahankan pendapatnya bahwa korban mati
bunuh diri.
Tak Tega
Menurut dr Handoko, luka-luka di leher kanan, siku kanan dan
kiri dan kedua pergelangan tangan korban, semuanya berjumlah 19
iris. Itu aneh. Sebab jarang sekali orang awam yang tahu di siku
terdapat pembuluh darah besar. Kebiasaan bunuh diri, atau oleh
pembunuh sekalipun, yang diincar selalu nadi di pergelangan
tangan atau leher. Mungkinkah orang sekaligus mengiris kedua
pergelangan tangannya, lalu leher ditambah pula kedua sikunya?
Akan luka di leher kanan, menurut Handoko, tak mungkin dilakukan
oleh korban sendiri. Hanya orang kidal saja, katanya, yang dapat
mengiris nadi di leher kanannya sendiri.
Di samping itu di tubuh korban juga terdapat 10 bekas suntikan.
Yaitu di kedua siku kanan dan kiri serta di punggung tangan
kanan dan kiri. Keadaan demikian sulit diyakini dapat dilakukan
oleh korban sendiri. Daerah siku dan punggung tangan, menurut dr
Handoko, adalah tempat untuk melakukan penyuntikan intravena
(langsung ke pembuluh darah). Jangankan oleh korban, sedangkan
seorang dokter pun sering mengalami kesulitan menyuntik
intravena pada pasien wanita yang lapisan lemak di bawah
kulitnya agak tebal-walaupun memakai kedua tangan. Nah,
mungkinkah semua suntikan di bagian yang sulit tersebut dapat
dilakukan oleh korban sendiri?
Sebab kematian, menurut visum karena si korban keracunan gas CO
(carbon monoxide) di lantai dapur. Posisi korban tertelungkup di
lantai menurut Handoko sangat jauh dari teori kebiasaan seorang
yang bunuh diri menggunakan gas. Menurut seorang ahli, Prof.
Keith Simpson (London), seseorang yang bunuh diri dengan gas
selalu memilih posisi yang 'enak'. Bahkan sering lebih dulu
mengambil kasur dan bantal untuk membaringkan tubuhnya di dekat
sumber gas. Kadang-kadang ada yang tak sampai memasukkan
kepalanya ke dalam oven.
Dari berbagai keadaan itu dr Handoko berkesimpulan: "Korban
tidak bunuh diri tapi dibunuh dengan gas." Teorinya kira-kira
begini. Sejak sore menjelang ajalnya Christine memang sudah
menelan obat tidur. Malamnya ia dicoba dibangunkan oieh si
pembunuh -- entah. siapa orangnya. Tapi tak berhasil. Lalu si
pembunuh mencoba menyuntikkan sesuatu melalui pembuluh darah.
Alat suntik ditinggalkan begitu saja dekat korban. "Untuk
mengesankan si korban mencoba bunuh diri dengan suntikan. "
Tapi di mata dr Handoko kesan begitu tak bisa muncul. Menusuk
intravena tak mudah. Apalagi dengan menggunakan tangan kiri
untuk menusuk punggung tangan sebelah kanan bagi korban yang
bukan kidal. Pun pemeriksaan darah korban tak menunjukkan
tanda-tanda mengandung sesuatu obat atau racun. Di samping itu
tabung alat penyuntik tak meninggalkan bekas sesuatu cairan
obat.
Setelah bekerja dengan alat penyuntik, menurut Handoko,
kemungkinan si pembunuh mencoba mengiris nadi korbannya. Tapi
itu dilakukannya tanpa kesungguhan -- barangkali oleh pembunuh
yang mempunyai perasaan "tidak tega". Buktinya irisan dilakukan
sangat dangkal. Gagal menggarap nadi rupanya pembunuh
menyeretnya ke dapur.
Bagi Christine, jika ia berniat bunuh diri dengan gas, dengan
mudah dapat dilakukannya. Sebagai ibu rumah tangga tentu ia tak
canggung lagi memutar kran gas di antara 7 kran yang ada. Ini
memperkuat kesan bahwa bukan dia sendiri yang melakukannya. Si
pembunuh tak dapat membedakan mana kran gas dan mana kran
listrik. Akhirnya, seperti terbukti, ke 7 kran diputar.
Siapa yang dicurigai? Handoko hanya agak heran dengan sikap
suami korban, William Loh. "Seharusnya sebagai suami, kalau
memang bersih, dia akan paling duluan menaruh curiga adanya
pembunuhan terhadap isterinya," kata dr Handoko. Tapi malahan
keluarga Tika Djuwena yang menyewa penasehat hukum untuk
membuktikan Christine mati terbunuh. Sedangkan William menerima
kematian isterinya secara "bunuh diri" begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini