Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Kisah Christine Di Lantai Dapur

Kematian Christine Farida Suwantika di Singapura akan diusut kembali. Tika Djuwena menganggap anaknya dibunuh & menyewa penasihat hukum. Putusan pengadilan Singapura ditunggu bulan depan. (krim)

2 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIASANYA Pengadilan di Singapura, yang menentukan suatu kematian luar biasa perlu diusut sebagai perkara pembunuhan atau tidak, hanya perlu sekali sidang dalam waktu beberapa jam saja. Tapi kali ini, karena menganggap masih banyak hal yang belum jelas, setelah dua kali bersidang baru 17 Juni nanti pengadilan dapat menetapkan keputusan: Kematian (WNI) Christine Farida Suwantika (22 tahun), di sebuah apartemen mewah di Peach Garden (Meyer Road, Katong, Singapura) 25 Agustus tahun lalu itu, akan menjadi perkara pembunuhan atau bunuh diri. Peristiwa Christine dari semula memang menarik. Pelayannya, Parmi, menemukan mayat nyonya majikannya Christine atau Nyonya William Loh, tertelungkup di lantai dapur. Ruangan dapur masih penuh gas. Pintu dan jendela rapat tertutup. Bahkan celah di bawah pintu terganjal kain serbet. Di beberapa tempat di kedua, lengan dan leher korban terlihat luka, tersayat. Di sebuah kamar tidur, tempat Christine mengurung diri selama dua hari sebelum ajal, jua terdapat genangan darah. Dua buah pisau lipat ditemukan di situ. Salah sebuah di antaranya penuh darah. Diawetkan Berita yang tersiar mula-mula: Christine bunuh diri! Tapi ayah korban, Tika Djuwena beranggapan lain. Karena kehidupan keluarga anaknya dan suasana keliling tempat mayat diketemukan, menimbulkan kecurigaan. Ia berkesimpulan anaknya tak mati bunuh diri. Beberapa petunjuk dan motif yang dapat dikumpulkannya, katanya, memperkuat kecurigaan itu. Misalnya, seperti dipertanyakan Tika, mana mungkin korban dapat membawa luka yang mengucurkan darah deras tanpa meninggalkan setetes bekaspun di lantai antara kamar dengan dapur? Memperhatikan posisi mayat yang tertelungkup, timbul pertanyaan Tika, bagaimana cara korban menyelimuti dirinya dengan rapi sebelum mati? Kehidupan keluarga anak dan menantunya juga tak luput dilperhatian Tika. Christine dan William Loh, seperti pernah diceritakannya, menikah Juni 1975. Sebelumnya keuanya masih saudara sepupu -- ibu mereka kakak adik. Ketika menikah Christine masih berusia 19 tahun dan William, anak Robin Loh (pengusaha terkenal), berumur 23 tahun. Walaupun dari perkawinan keluarga muda ini telah melahirkan Jacqueline (yang baru berumur 7 bulan ketika ditinggal ibunya), rumah tangga Christine William makin goyah saja. Sebab, menurut Tika, dalam kehidupan menantunya muncul wanita lain. Diam-diam rupanya William mempunyai hubungan tak beres dengan Margarete. Wanita ini telah bersuami, adalah pegawai perusahaan keluarga Loh juga. Berbagai jalan telah ditempuh kedua belah pihak keluarga untuk membereskannya. Tapi cekcok makin memuncak. Keributan terakhir antara suami-isteri ini terjadi di kamar tertutup. Parmi, pembantu rumah tangga mereka, tak tahu apa yang terjadi dengan kedua majikannya di dalam. Hanya keesokan harinya, 25 April 1978, Parmi menemukan mayat nyonya majikannya di dapur. Siapa yang harus dicurigai atas kematian Christine -- jika tidak karena bunuh diri? Suaminyakah? Tika Djuwena tentu tak dapat asal menuduh saja. Tapi seperti pernah dikatakannya kepada TEMPO, "Saya percaya polisi Indonesia maupun Singapura akan dapat menyelesaikan soal ini." Segala sesuatu yang dianggapnya dapat membantu pengusutan telah dilakukannya. Jenazah Christine telah diawetkan, katanya agar tak rusak sampai sekitar dua tahunan, sebelum dikubur di pemakaman Jat ipetamburan (Jakarta) 2 September lalu. Siapa tahu perlu digali kembali untuk/pemeriksaan mayat ulang. Handai taulan diminta bantuannya pula, melalui iklan dukacita, barangkali ada yang dapat memberi petunjuk "untuk menjernihkan duduk perkara yang menyebabkan kematian almarhUmah" (TEMPO, 4 Nopember 1978). Untuk meyakinkan pengadilan Singapura bahwa kematian Christine perlu diusut sebagai perkara pembunuhan, Tika Djuwena menyewa penasehat hukum setempat, Pala Krishnan, dengan bantuan dr Handoko Tjondroputranto dari Laboratorium Kriminil Univ. Indonesia. Ahli pemeriksa mayat kehakiman Indonesia itu sejak semula memang hendak ditampilkan sebagai saksi ahli. Tapi ditolak oleh pejabat Singapura. Belakangan dr Handoko boleh tampil juga walaupun hanya sebagai pembantu Mr Krishnan. Peranannya, "saya bisa membisikkan pertanyaan ketika dr Wee diperiksa sebagai saksi ahli, " kata dr Handoko . Namun dua kali pengadilan bersidang, 17 dan 18 April lalu, ternyata keterangan pemeriksa mayat setempat, dr Wee Keng Poh, tak berkenan di hati Krishnan maupun dr Handoko. Saksi ahli itu ternyata tetap mempertahankan pendapatnya bahwa korban mati bunuh diri. Tak Tega Menurut dr Handoko, luka-luka di leher kanan, siku kanan dan kiri dan kedua pergelangan tangan korban, semuanya berjumlah 19 iris. Itu aneh. Sebab jarang sekali orang awam yang tahu di siku terdapat pembuluh darah besar. Kebiasaan bunuh diri, atau oleh pembunuh sekalipun, yang diincar selalu nadi di pergelangan tangan atau leher. Mungkinkah orang sekaligus mengiris kedua pergelangan tangannya, lalu leher ditambah pula kedua sikunya? Akan luka di leher kanan, menurut Handoko, tak mungkin dilakukan oleh korban sendiri. Hanya orang kidal saja, katanya, yang dapat mengiris nadi di leher kanannya sendiri. Di samping itu di tubuh korban juga terdapat 10 bekas suntikan. Yaitu di kedua siku kanan dan kiri serta di punggung tangan kanan dan kiri. Keadaan demikian sulit diyakini dapat dilakukan oleh korban sendiri. Daerah siku dan punggung tangan, menurut dr Handoko, adalah tempat untuk melakukan penyuntikan intravena (langsung ke pembuluh darah). Jangankan oleh korban, sedangkan seorang dokter pun sering mengalami kesulitan menyuntik intravena pada pasien wanita yang lapisan lemak di bawah kulitnya agak tebal-walaupun memakai kedua tangan. Nah, mungkinkah semua suntikan di bagian yang sulit tersebut dapat dilakukan oleh korban sendiri? Sebab kematian, menurut visum karena si korban keracunan gas CO (carbon monoxide) di lantai dapur. Posisi korban tertelungkup di lantai menurut Handoko sangat jauh dari teori kebiasaan seorang yang bunuh diri menggunakan gas. Menurut seorang ahli, Prof. Keith Simpson (London), seseorang yang bunuh diri dengan gas selalu memilih posisi yang 'enak'. Bahkan sering lebih dulu mengambil kasur dan bantal untuk membaringkan tubuhnya di dekat sumber gas. Kadang-kadang ada yang tak sampai memasukkan kepalanya ke dalam oven. Dari berbagai keadaan itu dr Handoko berkesimpulan: "Korban tidak bunuh diri tapi dibunuh dengan gas." Teorinya kira-kira begini. Sejak sore menjelang ajalnya Christine memang sudah menelan obat tidur. Malamnya ia dicoba dibangunkan oieh si pembunuh -- entah. siapa orangnya. Tapi tak berhasil. Lalu si pembunuh mencoba menyuntikkan sesuatu melalui pembuluh darah. Alat suntik ditinggalkan begitu saja dekat korban. "Untuk mengesankan si korban mencoba bunuh diri dengan suntikan. " Tapi di mata dr Handoko kesan begitu tak bisa muncul. Menusuk intravena tak mudah. Apalagi dengan menggunakan tangan kiri untuk menusuk punggung tangan sebelah kanan bagi korban yang bukan kidal. Pun pemeriksaan darah korban tak menunjukkan tanda-tanda mengandung sesuatu obat atau racun. Di samping itu tabung alat penyuntik tak meninggalkan bekas sesuatu cairan obat. Setelah bekerja dengan alat penyuntik, menurut Handoko, kemungkinan si pembunuh mencoba mengiris nadi korbannya. Tapi itu dilakukannya tanpa kesungguhan -- barangkali oleh pembunuh yang mempunyai perasaan "tidak tega". Buktinya irisan dilakukan sangat dangkal. Gagal menggarap nadi rupanya pembunuh menyeretnya ke dapur. Bagi Christine, jika ia berniat bunuh diri dengan gas, dengan mudah dapat dilakukannya. Sebagai ibu rumah tangga tentu ia tak canggung lagi memutar kran gas di antara 7 kran yang ada. Ini memperkuat kesan bahwa bukan dia sendiri yang melakukannya. Si pembunuh tak dapat membedakan mana kran gas dan mana kran listrik. Akhirnya, seperti terbukti, ke 7 kran diputar. Siapa yang dicurigai? Handoko hanya agak heran dengan sikap suami korban, William Loh. "Seharusnya sebagai suami, kalau memang bersih, dia akan paling duluan menaruh curiga adanya pembunuhan terhadap isterinya," kata dr Handoko. Tapi malahan keluarga Tika Djuwena yang menyewa penasehat hukum untuk membuktikan Christine mati terbunuh. Sedangkan William menerima kematian isterinya secara "bunuh diri" begitu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus