Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH melongok kiri-kanan, dua pemuda itu keluar dari sebuah pos kosong di Perumahan Permata, Kelurahan Kedaung Angke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Dengan sepeda motor, mereka tancap gas meninggalkan kompleks itu.
Ternyata, ada empat pasang mata polisi cermat mengamati, kemudian membuntuti, dengan dua sepeda motor. Dalam waktu sebentar, keempat polisi itu sudah ”menggencet” dan menghentikan sepeda motor pertama. Penggeledahan di tempat menghasilkan dua bungkus ganja. Rabu pekan lalu itu juga keduanya digelandang ke kantor Kepolisian Sektor Cengkareng.
Kepada penyidik, keduanya mengaku mengambil ganja dari ”Kompleks Ambon”—maksudnya dari Perumahan Permata itu. ”Saya disuruh teman mengambil. Setelah laku, nanti dibagi,” kata Muhammad Munir, 17 tahun. Temannya, Ahmad Suprizal, 17 tahun, mengatakan ganja itu untuk dikonsumsi sendiri.
Sehari sebelumnya, polisi dari Polsek Cengkareng menangkap delapan pemuda yang mengeluarkan ganja dari Kompleks Permata. ”Kompleks itu memang salah satu titik rawan narkoba di Jakarta Barat,” kata Komisaris Besar Edward Syah Pernong, Kepala Polres Jakarta Barat. ”Hampir setiap hari ada saja yang ditangkap karena narkoba di situ.”
Itu sebabnya Edward mewajibkan petugas Polsek Cengkareng berpatroli setiap malam di sekitar Perumahan Permata. Menurut Kepala Satuan Narkoba Polres Jakarta Barat Komisaris Iwan Kurniawan, para bandar ganja di kompleks itu tak pernah menyertakan barang bukti ketika sedang bertransaksi.
Biasanya, mereka meletakkannya begitu saja di tepi jalan atau menggantungnya di tiang listrik. Pembeli juga menyerahkan uang di tempat berbeda. ”Ketika pembeli mengambil barang, sudah ada yang bertugas mengawasi dia,” kata Iwan. ”Ini upaya mereka agar tak tertangkap tangan.”
Rata-rata yang ditangkap di sini hanya pembeli. Sebab, merekalah yang paling mudah ditemukan membawa ganja ketika keluar dari kompleks. ”Ini bagian dari terapi agar tak ada lagi pembeli ganja,” kata Iwan.
Menelusuri Perumahan Permata, Rabu pekan lalu, Tempo menyaksikan suasana lengang. Kawasan ini tak bisa dibilang kumuh. Berjejer rumah beton, beberapa di antaranya bertingkat. Di beberapa sudut kompleks tampak gazebo, mirip pos keamanan, tapi lengang belaka.
Khusus di Jalan Mirah, ada dua pos yang mengapit gardu listrik. Tegak di sudut lapangan basket, keduanya berselubung tirai bambu, seperti pos yang lain. Dekat dengan bengkel di sebelah kiri pos, parkir satu sedan BMW dan dua jip. Di dalam pos ada delapan orang sedang asyik bermain gaple.
Menjelang petang, beberapa pengen-dara motor menghampiri pos. Dari kejauhan, tampak mereka menyerahkan sesuatu, dan ketika keluar memasukkan sesuatu ke saku. Dalam satu jam, belasan motor datang dan pergi. Sebagian besar pengendaranya berusia remaja. ”Mereka bertransaksi,” kata seorang warga setempat yang melarang namanya dikutip.
Dia mengatakan ada dua bandar ganja yang dicari-cari polisi berada di kawasan Jalan Mirah ini. Tiga mobil itu adalah milik salah seorang bandar ganja tersebut. ”Di kawasan inilah para bandar menunggu pelanggannya.”
Kompleks ini meliputi beberapa jalan. Yang ditengarai menjadi tempat mangkal bandar adalah Jalan Kristal, Jalan Mirah, dan Jalan Safir. Tapi, ”Di setiap jalan di kompleks ini ada transaksi narkoba, kok,” kata seorang warga lain. Transaksi itu biasanya berlangsung di pos-pos yang tersebar di tepi jalanan kompleks. ”Paling ramai malam hari, setelah magrib hingga menjelang jam empat dini hari.”
KELURAHAN Kedaung Angke meliputi 16 rukun tetangga—12 di antaranya masuk ke Perumahan Permata. ”Orang sering menyebut ini Kompleks Ambon,” kata seorang tokoh masyarakat di sana. Sebenarnya, pendatang dari Maluku hanya menghuni RT 1 hingga RT 7. ”Ada juga yang menyebutnya Kampung Ambon, yang tentu berbeda dengan Kampung Ambon di Rawamangun, Jakarta Timur.”
Keberadaan Kompleks Ambon ini berkaitan dengan rencana Gubernur DKI Ali Sadikin untuk melestarikan gedung bersejarah di Jakarta pada 1971-1972. Salah satunya adalah Gedung Kebangkitan Nasional atau bekas Gedung Stovia—sekolah kedokteran zaman Belanda—di Kwini, Senen, Jakarta Pusat.
Semula gedung itu ditempati bekas tentara Belanda, atau KNIL, yang setelah Kemerdekaan bergabung ke dalam TNI. ”Umumnya mereka orang Maluku,” katanya. Ali Sadikin membangun Perumahan Permata untuk menampung mereka. Sebanyak 400 keluarga Ambon lalu dipindahkan ke kompleks ini.
Warga asal Ambon itu rata-rata bekerja sebagai tentara dan anak buah kapal. Belakangan, semasa krisis moneter, banyak yang kehilangan pekerjaan. Salah satu jalan pintas adalah berdagang ganja.
Beberapa warga yang dijumpai Tempo menyatakan tak tahu pasti sejak kapan ganja masuk Kompleks Permata. Kira-kira, menurut mereka, pada awal 1990-an. Namun, ketika itu, belum sampai ke tingkat mata pencarian. Hanya beberapa pemuda yang kerap teler berganja ria.
Kebutuhan mereka dipasok bandar dari luar. ”Kami mengambilnya dari Aceh,” kata seorang pengedar kepada penyidik. Ganja Aceh ini masih terus masuk Jakarta. ”Dulu saya memang mengirim ke Jakarta dan pernah berhubungan dengan warga Kompleks Ambon,” kata seorang pemuda Aceh di Jakarta Selatan. ”Tapi sekarang saya berhenti jualan cimeng.”
Dia mengatakan menjual ganja Rp 1,5 juta per kilogram. Dari tangan bandar yang bermukim di Kompleks Permata, harganya menjadi Rp 3-4 juta per kilogram. Bisnis ganja di Kompleks Permata, menurut seorang warga, berkembang subur setelah krisis moneter 1998 dan semakin pesat setelah tahun 2000.
Sebagian warga ternyata risau juga dengan bisnis terlarang ini. Akhirnya, pecahlah kerusuhan antarwarga di sana pada 28 Oktober 2003. Kerusuhan itu melibatkan kumpulan orang Ambon dengan penduduk lain yang masih satu kompleks. Sebanyak 27 rumah hangus terbakar dalam kerusuhan itu—sebagian besar milik warga bukan Ambon.
Sejak itu, surutlah keberanian mengutak-atik bisnis ganja di sini. ”Bukannya kami tak tahu, tapi nyawa taruhannya,” kata seorang warga. Geng ganja makin berkuasa, pengikut mereka cepat bertambah. ”Pekerjaan itu sudah seperti mata pencarian sehari-hari bagi mereka.”
Pembagian kerjanya juga lumayan rapi. Ada yang bertugas menerima pasokan. Ada spesialis tukang bungkus. Tentu ada pula ”kasir berjalan”, yang menerima uang dari pembeli. Ada yang cuma mengawasi lokasi penyimpanan ganja atau gerai tempat meletakkan ganja untuk pemesan.
Polisi tak mudah mendekati tempat ini. Pernah suatu ketika, polisi berpatroli dalam pakaian preman. Tiba-tiba muncul ibu-ibu memukuli tiang listrik dan berteriak maling. Warga beramai-ramai keluar dari rumahnya, malah menguber polisi. ”Jika polisi masuk, semua portal di kompleks ini akan ditutup,” kata seorang reserse.
Tentu polisi tak lalu berpangku tangan. Pada 6 Oktober 2004, Satuan Narkoba Polres Jakarta Barat menggelar operasi pemberantasan ganja di Kompleks Ambon. Ketika itu, petugas menyita 64 paket ganja dan menangkap enam bandar di Jalan Kristal Gang Berlian.
Ketika itu pun muncul orang berteriak-teriak. Batu beterbangan ke arah polisi. Ketika polisi mengejar si pelempar, keluarlah sejumlah warga menghunus golok, bahkan beberapa menyandang panah dan senjata rakitan. Untuk menghindari kejatuhan korban, polisi akhirnya menahan diri, meninggalkan kompleks.
Toh, upaya pemberantasan narkoba di kawasan ini berjalan terus. Bahkan gembong pengedar ganja bernama Khadafi, 25 tahun, tertembak mati pada Desember 2005. Ketika hendak ditangkap, Khadafi menyongsong polisi dengan parang.
URUSAN narkoba di Kompleks Ambon sudah meningkat hingga ke Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Provinsi. Akhirnya, Kepolisian Daerah Metro Jaya menerjunkan 500 polisi bersenjata lengkap menyerbu kompleks ini pada 31 Agustus 2005. Sepuluh anjing pelacak menemukan sepuluh kilogram ganja. Polisi menangkap lima bandar.
Diduga operasi ini bocor duluan, karena beberapa rumah yang diperkirakan dihuni bandar ternyata hanya ditempati nenek-nenek. Seusai operasi, Polda Metro Jaya menempatkan puluhan anggota Brimob selama sebulan.
Setelah itu, Polres Jakarta Barat memberikan penyuluhan dan pelatihan, antara lain mengajari warga beternak ikan. Polisi juga menghadirkan korban narkoba yang sudah terkena HIV untuk berbicara dengan warga dari hati ke hati.
Banyak warga yang menghadiri penyuluhan. Organisasi kemasyarakatan setempat, seperti Pemuda Maluku Bersatu, juga diberdayakan. Tapi, ya begitulah: setelah polisi pergi, ganja beredar lagi.
Selang setahun, Brimob kembali diterjunkan. Keberadaan mereka diperpanjang menjadi dua bulan. Dibentuk pula satuan tugas antinarkoba tingkat kecamatan, dengan 420 anggotanya. Kegiatan utama mereka adalah memberikan penyuluhan dan sosialisasi bahaya narkoba.
Hasilnya? Menurut data dari Posko Antinarkoba Kompleks Permata, setiap pekan masih terjadi transaksi satu kuintal ganja.
Nurlis E. Meuko, Kartika Candra
Peta Sebaran Barang Haram
JAKARTA menempati urutan pertama sebagai provinsi pengguna dan pengedar narkoba di Indonesia. Para bandar dan pecandu tersebar di lima wilayah kota madya DKI. Bahkan beberapa wilayah belum bisa ditembus aparat keamanan untuk membongkar sindikat barang haram itu.
Tempat Bandar Terbesar:
- Kampung Boncos, Kota Bambu, Jakarta Pusat.
Kampung ini mayoritas dihuni etnis Madura. Sulit ditembus karena solidaritas warganya tinggi.
- Kampung Jawa, Tanjung Barat, Jakarta Selatan.
- Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kawasan terminal Pasar Minggu merupakan pusat peredaran ganja. Di wilayah ini banyak bermukim etnis Aceh.
- Kampung Ambon, Kedaung, Jakarta Barat.
Menurut Kepala Subbagian Penegak Hukum Badan Narkotika Provinsi DKI, Sri Waluyo, ada tujuh bandar besar yang menjadi target di kampung ini. Namun, aparat masih sulit menembus kampung ini, antara lain karena penduduk bersenjata dan solidaritas warganya sangat tinggi.
Daerah Rawan Narkoba
- Jakarta Pusat: Mangga Besar, Taman Sari, Tanah Tinggi, Jalan Kartini, Batu Raja, Kampung Bali, Matraman, Rawasari, Bendungan Hilir, Krekot, Kramat Soka, Kemayoran, Menteng Tenggulun, Menteng Pegangsaan, Roxy, Rumah Tahanan Salemba
- Jakarta Utara: Jalan Deli, Jalan Bhakti, Sunter, Cilincing, Pasar Koja, Kelapa Gading, Kramat Tunggak, Pluit, Warakas
- Jakarta Timur: Cawang, Cililitan, Matraman, Tegalan, Kramat Jati, Kayu Jati, Berlan, Rawamangun, Pondok Kopi, Penggilingan, Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Lembaga Pemasyarakatan Wanita Pondok Bambu
- Jakarta Selatan: Tebet, Setiabudi, Blok M, Pasar Minggu, Buncit, Kompleks Kodam, Blok A, Bintaro, Pengadegan, Tanah Kusir, Ciputat, Ciledug
- Jakarta Barat: Jelambar, Grogol, Angke, Tomang, Kampung Ambon
- Bandara Soekarno-Hatta
Target Operasi Permukiman Umum
- Jakarta Pusat: Menteng Pegangsaan, Menteng Tenggulun, Kemayoran, Kelurahan Kebon Kosong; Senen, Kota Bambu
- Jakarta Utara: Kelurahan Lagoa: Tanjung Priok, Cilincing
- Jakarta Timur: Kelurahan Kayu Putih, Pulogadung, Kelurahan Klender, Duren Sawit
- Jakarta Selatan: Pasar Minggu, Palmerah
- Jakarta Barat: Kelurahan Kedaung: Cengkareng
Jenis Narkoba yang Beredar di Jakarta
Jenis Narkotika:
- Heroin, dikenal dengan nama putaw, morfin
- Ganja, dikenal dengan nama marijuana, gele, cimeng, buddha stick, hashis
- Kokain, dikenal dengan nama coke, crack, snow, rock, cocaine, flake
Jenis Psikotropika:
- Ekstasi, dikenal dengan nama innex, Xtc, huge drug, yupie drug, clarity, butterfly, black heart
- Methamphetamine, dikenal dengan nama sabu-sabu
- Obat-obat penenang, di antaranya pil koplo, obat tidur, BK, nipam, valium, lexotan, dll.
Jenis Inhalant Di antaranya: Lem Aica Aibon, thinner, bensin, spiritus.
Yang Paling Banyak Dipakai
Lem Aica Aibon Banyak dipakai anak jalanan, karena murah dan mudah diperoleh.
Putaw Bentuknya seperti kristal yang sangat halus atau detergen. Dibuat dalam bentuk tablet/kapsul dan cairan injeksi. Warna dari putih gading, abu-abu hingga cokelat. Pemakaiannya menggunakan jarum suntik atau hirup. Rp 50 ribu per paket, lebih murah dibanding sabu-sabu, yang Rp 200 ribu per paket.
Ekstasi Bentuknya tablet warna-warni. Penggunaannya ditelan langsung, 90 persen beredar di tempat hiburan. Harga normal Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu per butir.
Asal Narkoba
- Ganja dari Aceh
- Heroin dan opium dari segitiga emas, yakni Laos, Kamboja, Burma, dan sekarang mulai masuk dari Afganistan.
- Ekstasi dari Belanda
Modus bandar menjerat pengedar baru Mengajak mangsa memakai bareng hingga menjadi tergantung. Setelah tergantung, mangsa diharuskan membeli. Karena harga narkoba tidak murah, salah satu cara mendapatkannya dengan menjadi penjual atau calo. Cara lain dengan iming-iming untung atau upah tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo