Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SRI baru saja masuk ruang periksa puskesmas Kampung Bali ketika beberapa pasien langsung berdiri di loket ruangannya. Para pasien itu pecandu narkoba, yang sebagian penderita HIV/AIDS, TBC, dan bronkhitis. Tanpa berlama-lama, perempuan 42 tahun itu mendata dan mengambil sampel darah pasien sambil mendengarkan keluh-kesah mereka.
Sri adalah petugas konselor Yayasan Pelita Ilmu (YPI) di Kampung Bali, Jakarta Pusat. Lembaga swadaya masyarakat ini bergerak di bidang konseling, testing, dan layanan kesehatan bagi pecandu dan penderita HIV/AIDS. Didirikan pada 1989, lembaga ini membuka cabangnya pada 2000 di kampung yang terkenal sebagai sarang narkoba itu.
Di samping mendata pasien dan mendampingi dokter, Sri juga menjadi pendengar setia keluh-kesah para pecandu yang datang ke tempat itu. Sesekali ia bertandang ke rumah mereka. Gajinya tak besar, tapi ibu tiga anak itu mengaku menikmati pekerjaan yang telah digelutinya sejak tujuh tahun lalu itu.
”Saya jadi konselor karena anak saya bekas pecandu dan kena HIV/AIDS,” kata lulusan sekolah Aliyah itu. Ia selalu memperlakukan pasiennya, yang sebagian besar anak muda itu, seperti keluarga sendiri. ”Saya tahu perasaan mereka,” kata Sri, yang dua anaknya pernah menjadi pecandu.
Di YPI Kampung Bali, yang didirikan dokter Samsuridjal Djauzi, dokter Zubairi Djoerban, dan Sri Wahyuningsih, itu juga ada empat konselor seperti Sri. Sebagian di antara mereka bekas pecandu. Salah satunya Luri. Pemuda 29 tahun asal Kampung Bali itu bergabung dengan YPI tak lama setelah meninggalkan kebiasaan madatnya pada 2001.
Sehari-hari kelimanya bertugas memberikan informasi tentang bahaya narkoba dan HIV/AIDS kepada pecandu di kampung yang letaknya tak jauh dari pusat perdagangan tekstil Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu. Di Puskesmas, mereka mendampingi dokter memberi layanan kesehatan setiap Senin dan Kamis. Semua pelayanan gratis sehingga banyak pasien datang dari luar Kampung Bali.
Pekerjaan ini bukannya tanpa risiko. Sempitnya ruang periksa dan minimnya peralatan membuat petugas kerap tertular penyakit pasien. Sri, misalnya. Sejak 2005 dideteksi ada flek pada paru-parunya. ”Kalau tidak diobati, bisa kena bronkhitis,” katanya. Beruntunglah dia, gejala itu segera ditangani.
Bukan hanya YPI yang bergiat menangani pecandu dan penderita HIV/AIDS. Di Rawamangun, Jakarta Timur, ada Yayasan Karisma, yang didirikan bekas pecandu dan berpusat di Jalan Wolter Mongonsidi, Jakarta Selatan. Awalnya, pada 2001, mereka memberikan layanan konseling dan rehabilitasi dengan memungut bayaran. Setelah jumlah pecandu dari kalangan masyarakat tak mampu meningkat, layanan diberikan secara cuma-cuma.
Manajer Program Karisma Rawamangun, Pria Nugraha, mengatakan, pada 2006, yayasannya telah menangani 3.767 pecandu. Semuanya berasal dari Jakarta Timur. ”Fokus kami memang pecandu di Jakarta Timur,” kata Pria. Untuk mendorong pecandu atau penderita HIV berobat, Karisma tak hanya membuka pelayanan di kantornya, tapi juga ”menjemput bola”.
”Biasanya kami datangi tempat nongkrong mereka,” kata Edward Simanjuntak, petugas lapangan Karisma. Menurut Edward, tak mudah mendekati pecandu, ”Karena selain curiga dianggap mata-mata polisi, mereka selalu berpikir untung-ruginya.” Karena itu, sebelum ke lapangan mereka lebih dulu mempelajari kebiasaan pecandu, termasuk ”bahasa” yang mereka pakai.
Menurut Martha Inaturapangga, dokter Puskesmas Kampung Bali, ”Lebih banyak susahnya menangani pecandu, karena mereka tidak patuh.” Dari catatan Puskesmas, jumlah penderita HIV/AIDS pada 2006 adalah 76 orang. Jumlah ini meningkat dibanding angka tahun sebelumnya.
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo