Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Si Daud yang Berukuran XL

Cannes 2007. Michael Moore menohok Amerika melalui film dokumentasinya: Bowling for Columbine, Fahrenheit 9/11, dan kemudian Sicko. Di Cannes, Michael Moore bisa tertawa lebar. Di Grand Theater Lumiere, Cannes, Sicko mempesona kurang lebih 2.000 penonton. Tepuk tangan panjang bergema tak henti-henti. Persis seperti ketika filmnya Fahrenheit 9/11 mendapat penghargaan tertinggi Palme D’or di ajang yang sama pada 2004.

Dunianya berubah. Ia kini seorang miliarder. Michael Moore sebenarnya seorang aktivis antiperang. Dalam aneka wawancaranya Moore mengaku ia tetap mewakili kelas pekerja, mereka yang suaranya tak pernah didengar. Adakah ia masih aktivis, pengusaha, atau selebriti?

4 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah Cannes. Pesta yang seakan tak kunjung usai. Pesta dengan desain barok, patung-patung Romawi, lampu-lampu kristal yang tak pernah mati, pohon-pohon palem, simbol ritual itu.

Masing-masing menawarkan atraksi. Di puncak sebuah tangga, David Carradine, bintang kungfu tahun 1970-an. Memakai jaket Mao Zedong, mengenakan kacamata hitam, tangannya melambai, memberikan ciuman kepada audiens. Ia mempromosikan Kill Bill, film yang dibintanginya dan disutradarai Quentin Tarantino.

Hari itu, pada 2004, bintang-bintang bersinar, bergerak di atas permadani merah Cannes. Tapi segalanya sekonyong-konyong berhenti manakala sesosok berukuran XL—kelihatannya pas benar jika ia mewakili seluruh industri makanan cepat saji Amerika—berkacamata hitam, bertopi bisbol, menuju pintu. Ya, ia Michael Moore, si pembuat film dari Kota Flint, Michigan; penulis, aktivis politik, sekaligus sebuah fenomena global. Di Cannes, Moore, yang atraktif bagi semua orang itu, melangkah masuk dengan lenggangnya yang khas: dibayang-bayangi aneka warta, juga kontroversi—termasuk berita terakhirnya: pertarungan barunya dengan Walt Disney, perusahaan film yang menolak mendistribusikan karyanya, Fahrenheit 9/11.

Ia biasa memilih seorang raksasa sebagai lawannya. Dan kali itu ia menuding Disney telah menyensor filmnya, sebuah dokumentasi yang merekam kehidupan di Amerika setelah peristiwa 11 September. Dan sekonyong-konyong tubuh Moore yang bongsor itu mengerdil, menjadi Daud yang berani menerjang si multinasional, Jalut alias Goliath. Dialah Daud yang menantang raksasa Jalut. Dan kini semua bisa melihat, betapa ia menang perang—paling tidak di dataran moral.

Tapi Disney bukan sasaran yang teramat berarti dibanding George Walker Bush, misalnya.

Lalu bernyanyilah ia dalam buku karyanya yang paling kontroversial sekaligus menjual, Stupid White Men. ”Saya seorang warga Amerika Serikat. Dengan pemerintahan yang telah ditumbangkan. Dengan presiden terpilih kini dalam pengasingan,” begitu Moore membuka bukunya, bab pertama. Moore menyebut ”kami”—mewakili 234 juta orang penduduk yang tidak memilih dan tidak terwakili oleh rezim yang kini berkuasa di atas takhta kepresidenan.

Al Gore, presiden pilihan kami, katanya, unggul dengan 539.898 suara di atas George W. Bush.

Viva Al Gore! Tapi Gore, sang presiden, sekarang tidak bersemayam di Gedung Oval sebagaimana layaknya Presiden Amerika. Jadi siapa orang yang mendiami Istana Presiden? Dia George W. Bush. Michael Moore menyebut Bush si Kepala Pencuri, penduduk gelap Gedung Oval.

Sebuah kudeta telah terjadi. Dan atas nama 234 juta warga Amerika yang tidak memilih dan tak terwakili oleh George W. Bush, Moore telah mengajukan permohonan kepada NATO agar mengirim satu kekuatan—seperti yang dulu dilakukan NATO di Bosnia dan Kosovo. Moore juga membandingkan Amerika dengan negara-negara banana yang kerap menjalani ritual kudeta di Amerika Latin. Ia juga mengaku telah meminta Sekretaris Jenderal PBB, waktu itu Kofi Annan, supaya mendengarkan keluhannya. ”Kami tidak lagi mampu memerintah di negeri sendiri, tidak juga menyelenggarakan pemilu yang bebas dan adil. Kami membutuhkan pengamat PBB, pasukan PBB, resolusi PBB.”

Stupid White Men buku terlaris 2002. Penuh ungkapan satir yang tak terduga, dicetak empat juta kopi di seluruh dunia, dan masuk buku terlaris peringkat satu dan dua di Jerman. Sejak itu Moore menjadi figur internasional. Pada saat yang sama, film-film dokumentasinya juga bergerak selangkah lebih maju: menyengat lebih menyakitkan. Dalam Bowling for Columbine yang memenangi Piala Oscar 2002, ia menskak-mat Charlton Heston, seorang legenda Hollywood yang di usia tuanya menjadi ketua perkumpulan menembak. Bowling for Columbine berbicara tentang longgarnya aturan senjata api yang pada akhirnya menyulut pembantaian sejumlah siswa sekolah menengah di Columbine, Colorado. Film yang kini mendapat pijakan semakin kukuh setelah pembantaian serupa di Virginia Polytechnic Institute (Virginia-Tech), Virginia.

Karya-karya dokumentasi Moore memang berusaha bertumpu pada fakta. Fahrenheit 9/11 mengharumkan namanya di Festival Cannes 2004. Itulah film yang memperkarakan perang-perang terkini yang disulut oleh pengiriman pasukan Amerika ke Timur Tengah. Kali ini ia mendesak seorang senator pro-Perang Irak agar segera mengirim anaknya ke negeri yang kisruh itu. ”Dari 535 anggota Kongres, hanya satu yang mendaftarkan putranya untuk dikirim ke medan perang,” kata Moore di depan kamera.

Film-film Moore semakin tajam dan pintar mengungkap masalah. Dan sosok si gempal ini semakin terkenal—sampai-sampai beberapa orang terdekatnya mulai meragukan: adakah ia masih seorang aktivis atau selebriti belaka?

l l l

Cannes, Mei 2007. Audiens yang sama bisa menilai bobot tubuh Moore sekarang lebih melar, telah bertambah beberapa kilogram. Moore tetap bergerak ke sana-kemari, berpose di depan fotografer yang begitu telaten menguntitnya, tapi gerakannya tak secekatan tiga tahun lalu.

Moore membawakan karya mutakhirnya, Sicko. Pada suatu hari di bulan Februari tahun lalu, ia memuat sebuah pengumuman kecil di situsnya. ”Kirimkan kisah tentang pengalaman Anda yang menakutkan tatkala mendapatkan pelayanan kesehatan,” imbaunya. Dan luar biasa, hanya dalam hitungan jam, pesan itu bersambut, terus, seakan tak berhenti. Ribuan kisah horor masuk ke kotak email pria tambun itu. Angkanya hampir mencapai 15 ribu. Semuanya berisi kisah pilu tentang layanan kesehatan, termasuk perlakuan perusahaan asuransi kesehatan di Amerika.

Faktor itulah yang membuat Sicko, film dokumenter terbaru Moore, jadi istimewa. Kaya akan fakta dan narasumber dari berbagai lapisan masyarakat. Sicko, yang diputar perdana dalam Festival Film Cannes bulan lalu, memang mencengangkan. Film ini dimulai dengan kisah singkat tentang orang-orang dari kalangan kelas bawah di Amerika. Ia menyorot seorang tukang kayu yang terpaksa kehilangan dua ujung jarinya.

Ketika kecelakaan itu terjadi, kepada si tukang kayu disodorkan daftar harga agar jarinya bisa tersambung. Ongkos untuk menyambung jari manisnya US$ 12 ribu, sedangkan untuk jari tengahnya lebih besar, US$ 60 ribu. Si tukang kayu memilih pasrah kehilangan dua ujung jarinya. Awalnya penonton dibuat maklum, karena si tukang kayu ternyata tidak punya asuransi. Itu hanya satu kisah. Ada puluhan ribu kisah lainnya. Dan Michael Moore pintar memilih.

Dari kisah yang biasa-biasa saja seperti kisah tukang kayu itu hingga kisah tragis seorang perawat yang suaminya harus mendapatkan cangkok tulang sumsum. Mereka punya asuransi. Namun, ketika mereka memohon agar suaminya bisa dirawat, permohonan itu ditolak. Sang suami tidak bisa bertahan lama, dan meninggal.

Selain menghadirkan para korban asuransi, Moore juga menyajikan sejumlah kesaksian para pegawai asuransi. Mereka yang bertugas melayani telepon, mereka yang bertugas mencari celah agar permohonan asuransi pasien bisa ditolak, sampai mereka yang memutuskan menolak permohonan asuransi. Semua elemen dipertemukan, dari para korban hingga para pengambil keputusan.

Tak segan-segan, Moore menampilkan grafis tentang lobi-lobi tingkat tinggi yang dilakukan perusahaan asuransi untuk membeli para anggota dewan. Harga setiap anggota dicantumkan di atas kepala masing-masing, dan terakhir tentu saja harga Georges Bush. Belum lagi harga seorang Hillary Rodham Clinton. Salah seorang distributor Sicko, Harvey Weinstein, yang juga teman sekaligus penyokong keluarga Clinton, sempat meminta agar gambar Hillary tersebut diedit.

Sicko mampu membuat orang tertawa geli di antara banyak kisah pilu dan mencengangkan itu. Harus diakui, Moore punya selera humor yang bagus. Sicko menghadirkan guyon-guyon nyelekit yang ironis. Meski dari segi teknis Sicko sama dengan film-film Moore yang lain, kamera bergerak ke sana-kemari mengikuti narasumber, kadang juga menggunakan kamera tersembunyi, serta masih menampilkan Moore sebagai sang narator. Bedanya, kali ini Moore tidak lagi menguber-uber politisi. Ditambah lagi dengan perjalanan Moore ke berbagai negara, menemui masyarakat Amerika di setiap negara—Kanada, Inggris, Prancis, dan Kuba.

Sicko mungkin bisa jadi bukti bahwa Moore adalah aktivis yang pandai mencari sensasi. Membawa para penyelamat yang berjasa di tragedi 11 September ke Guantanamo hingga ke Kuba jadi terasa berlebihan. Ini memang tergantung dari sudut mana penonton melihatnya. Selain itu, harus diakui, Sicko hampir tak menyisakan ruang ragu di benak penonton bahwa Amerika Serikat bukanlah negeri surga seperti yang banyak diimpikan orang. Permainan kotor dalam sistem layanan kesehatan serta kisah-kisah dalam Sicko saling terkait, terjalin rapat. Sicko membuat masyarakat Prancis bertepuk tangan paling keras ketika ditayangkan di Cannes. Prancis memang dipujinya sebagai negeri dengan sistem layanan kesehatan terbaik di dunia. Tapi Sicko memang dokumenter yang pantas membuat gusar perusahaan asuransi dan—harusnya—membuat malu pemerintah Amerika Serikat.

l l l

Karya-karya Moore semakin provokatif. Ia semakin kaya, filmnya semakin laku, penghasilannya berlipat ganda, dan ia semakin kerap menjadi sasaran serangan. Suatu kali ia bercerita, setengah mengeluh. ”Berkali-kali saya mendapat ancaman fisik, orang-orang mengajak saya berkelahi, orang meminggirkan mobilnya lalu meneriakkan sesuatu ke arah saya, orang-orang meludah di depan saya. Saya akhirnya memilih tinggal di rumah selama beberapa bulan dan hanya keluar sesekali.”

Michael Moore lahir pada 23 April 1954 di Davison, Michigan, pinggiran Kota Flint yang dulunya merupakan daerah pabrik General Motors terbesar di Amerika. Di sepanjang hidupnya, ayah dan kakek Moore juga bekerja di pabrik itu. Sejak remaja Moore sudah kritis terhadap isu-isu di sekitarnya. Ia sempat memenangi sebuah penghargaan di bidang kepramukaan dengan mempresentasikan slide show tentang isu lingkungan hidup di Flint.

Pada 1972, ketika usianya 18 tahun dan sudah berhak untuk ikut pemilihan suara, ia segera berkampanye untuk mendapatkan kursi di lembaga pendidikan Flint. Ia menjadi orang termuda di Amerika Serikat yang memenangi kursi di kantor publik. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Michigan Flint, ia memilih hengkang dari universitas untuk menjadi aktivis publik dan memulai kariernya sebagai jurnalis di koran mingguan Flint Voice.

Moore yang sukses sebagai editor itu kemudian hijrah ke majalah Mother Jones. Tapi ia kemudian dipecat karena menolak membesar-besarkan Rovolusi Sandinista di Nikaragua pada 1979. Ia kini menganggur dan menghabiskan waktunya di depan televisi. Kerjanya hanya bermalas-malasan, makan dan makan lagi. Beratnya terus bertambah. Pada masa inilah ia bertemu dengan Rafferty, seorang sohibnya. Keakrabannya dengan Rafferty juga membawa keuntungan lain. Ia ternyata keponakan George Herbert Walker Bush, yang di kemudian hari menjadi Presiden Amerika. Hubungan baiknya dengan Rafferty dibina terus, sementara itu ia mulai tertarik membuat film dokumenter.

Lalu muncullah Roger & Me, film yang terinspirasi dari melemahnya roda ekonomi di Flint ketika perusahaan raksasa General Motors menutup pabriknya di kota itu. Ribuan orang kehilangan pekerjaan. Moore kemudian menggunakan tabungannya yang tersisa untuk memulai proyek Roger &Me. Kehabisan dana, Moore kemudian menjual rumahnya dan menyewa tempat untuk membuka kedai permainan bingo.

Roger & Me kemudian sukses, mendapat penghargaan dari berbagai festival di Telluride, New York, Chicago, Vancouver, dan Toronto. Keberhasilan itu diikuti dengan sukses finansial. Tahun itu Roger & Me tercatat sebagai dokumenter yang paling sukses secara finansial. Roger & Me membuat orang sadar bahwa Moore punya sesuatu. Moore menciptakan ciri tersendiri dalam mengemas isu sensitif dalam bentuk satir dengan humornya yang nyelekit. Wajahnya yang tampak tidak serius dan lucu membuatnya menjadi pemain komedi yang natural sekaligus komentator politik yang kritis.

Pada musim gugur 2001, dari dunia film, Moore kembali ke dunia menulis. Lalu terbitlah Stupid White Men. Buku ini sempat ditunda penerbitannya oleh penerbit Random House. Dalam buku itu, Moore terang-terangan mengkritik George W. Bush. Buku itu selesai tak lama setelah tragedi 11 September, sehingga Random House merasa tidak pantas menerbitkan buku satir itu di tengah situasi yang masih berkabung.

Setelah negosiasi panjang, akhirnya pada 2002 Stupid White Men terbit dan mendulang sukses menjadi buku terlaris tahun itu. Pada tahun yang sama Moore menyelesaikan film dokumenternya, Bowling for Columbine, sebuah sentilan tentang obsesi masyarakat Amerika terhadap senjata dan kekerasan. Film itu menjadi dokumenter pertama yang diputar di Cannes setelah 46 tahun dan mendapat penghargaan khusus dari dewan juri.

Kini semuanya terbukti. Ia berhasil sebagai penulis, sutradara film dokumentasi, dan juga pengusaha. Dalam setiap kesempatan ia selalu mengutarakan niatnya untuk menurunkan Presiden George W. Bush dari takhta.

Tujuannya belum tercapai, tapi ia banyak bersyukur atas semua ini. Termasuk mensyukuri tubuhnya yang kian subur.

”Karena penampilan beginilah para eksekutif dan politisi yang tampil dalam film saya terlihat santai. Mereka tidak menganggap saya serius. Mereka pikir, film pria tambun itu tidak akan beredar di mana-mana. Paling-paling cuma diputar di televisi lokal, lalu selesai. Makanya saya bersyukur berpenampilan seperti orang kurang kerjaan ini,” katanya. Ya, di balik penampilan fisiknya yang tidak begitu bersahabat dengan Hollywood itu, Michael Moore memang menyimpan sebuah dinamit.…

Idrus F. Shahab, Asmayani Kusrini (Cannes)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus