Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KKP yang menangkap kapal ikan Indonesia diduga beraksi dengan kapal asing berupa alih muatan ikan ilegal di laut, penyelundupan bahan bakar minyak (BBM), dan perbudakan awak kapal perikanan. Greenpeace meminta KKP segera menghukum pelaku sekaligus meratifikasi mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Sihar Silalahi, kegiatan alih muatan ikan di laut rentan mengarah ke penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur dalam IUU fishing). Dia menilai fenomena ini terjadi karena terisolasi dari pemantauan. Selain itu, dia juga menyebut pemerintah Indonesia masih mengizinkan alih muatan seperti ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintah Indonesia masih mengizinkan alih muatan ikan di laut untuk dilakukan, namun kurangnya kontrol dan persyaratan pemantauan yang ketat membuat celah yang besar bagi para pelaku IUU fishing untuk beroperasi,” kata Sihar dalam keterangan tertulis, Kamis, 25 April 2024.
Sihar juga menyebut laporan Environmental Justice Foundation (EJF) pada 2023 lalu yang menunjukkan persentase yang besar bahwa kapal yang melakukan alih muatan di laut juga melakukan praktik IUU fishing. Menurut dia, fenomena seperti ini yang menjadi perhatian KKP.
“Kalau pemerintah tidak siap melarang praktik alih muatan ikan seperti yang dulu pernah dilakukan, setidaknya praktik itu sekarang harus melewati proses perizinan dan pemantauan yang baik, bisa lewat observer, pemantauan vessel monitoring system (VMS) yang transparan ke publik dan verifikasi izin yang menyeluruh. Tanpa ini, pemerintah masih mungkin kecolongan lagi,” kata Sihar.
Sebelumnya, KKP menangkap kapal ikan Indonesia bernama KM Mitra Utama Semesta (MUS) usai melakukan alih muatan di Laut Arafura, Maluku, dengan titik koordinat 05° 30.422″ LS – 133° 59.005″ BT pada 14 April 2024. KKP menangkap kapal ikan ini usai KM MUS melakukan alih muatan dari dua kapal ikan asing, Run Zeng (RZ) 03 dan 05, yang tak berizin alias ilegal. Dua kapal ikan asing tersebut kabur dan masih dalam tahap pengejaran hingga saat ini.
Menurut Sihar, kasus ini harusnya bisa mulai menyadarkan publik bahwa IUU fishing tak bisa dianggap remeh dan merusak ekosistem laut Indonesia karena dieksploitasi tanpa batas. Oleh karena itu, ia mendesak agar KKP segera mengambil tindakan hukum yang tegas bagi para pemilik KM MUS dan RZ—yang saat ini masih dalam tahap pengejaran.
“Pemerintah perlu segera melacak siapa pemilik kapal-kapal itu, siapa penerima manfaat dari praktik ilegal itu, dan ke mana jaringan regional dan global bisnis mereka berlabuh. Kami meyakini praktik seperti ini sangat sistematis dan terkoneksi antar negara. Itu artinya, potensi kerusakan ekosistem laut dan kerugian akibat IUU fishing ini tak hanya terjadi di Indonesia,” kata Sihar.
Selain itu, Sihar juga mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 atau K-188 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2007 tersebut secara khusus mengatur standar perlindungan bagi para pekerja di sektor kelautan dan memuat sejumlah pembaharuan dalam upaya pelindungan pekerja di sektor industri perikanan agar tak terjebak dalam praktik kerja paksa, perbudakan modern, dan perdagangan manusia.