Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus terorisme, Aman Abdurrahman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman, menyampaikan pernyataan mengejutkan soal teror bom Surabaya pada 13 Mei 2018.
Menurut pria yang disebut sebagai pemimpin kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) Indonesia itu, aksi yang menimbulkan korban jiwa tersebut merupakan tindakan yang sangat keji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kejadian di Surabaya itu adalah tindakan dari orang-orang yang sakit jiwanya," kata Aman saat membacakan pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, 25 Mei 2018.
Petugas mengevakuasi korban di lokasi ledakan bom di Gereja Kristen Indonesia, Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, 13 Mei 2018. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Frans Barung Mangera jumlah korban tewas akibat bom Surabaya menjadi 8 orang dan 38 luka-luka. ANTARA/Didik Suhartono
Aman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman adalah pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi aliansi sejumlah organisasi radikal. Dia menjadi terdakwa otak sejumlah aksi terorisme, mulai bom Sarinah, bom Kampung Melayu, bom gereja Samarinda, hingga penusukan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Baca: Alasan di Balik Tuntutan Hukuman Mati Teroris Aman Abdurrahman
Jaksa menuntut Aman dihukum mati karena menjadi otak sejumlah aksi terorisme tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuntutan jaksa ini mengacu pada dua dakwaan, yakni melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 dan Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Berdasarkan penyidikan dan fakta di persidangan, Aman tidak pernah terlibat langsung dalam lima aksi tersebut. Tapi perintah teror ini tetap bisa diberikan walau Aman Abdurrahman berada di balik jeruji besi dengan maximum security standar Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan, Jawa Tengah.
Kerabat dan keluarga menaburkan bunga saat prosesi pemakaman korban serangan bom Surabaya, Marta Djumani, di Surabaya, Jawa Timur, 16 Mei 2018. Marta juga merupakan guru Sekolah Minggu di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. AP Photo/Achmad Ibrahim
Pada 2015, beberapa pengikut JAD menjenguk Aman yang tengah mendekam di Nusakambangan akibat kasus bom Cimanggis pada 2004 dan pelatihan militer di Aceh. Kepada mereka, Aman menyampaikan adanya perintah amaliyah dari umara (pemimpin) ISIS di Suriah.
Dalam pledoinya, Aman Abdurrahman mengakui bahwa dia memang mengkafirkan aparat kepolisian dan pemerintah Indonesia saat ini yang tidak menggunakan hukum Allah sebagai hukum yang utama.
Baca: Al Chaidar: Program Deradikalisasi Teroris BNPT Salah
Namun, sampai saat ini, menurut Aman Abdurrahman dalam sidang Jumat siang ini, dia tidak pernah melontarkan seruan untuk menyerang aparat keamanan.
Selain itu, tutur dia, aksi bom bunuh diri di gereja seperti bom Surabaya tidak bisa dibenarkan. Sebab, kata dia, tidak ada ajaran untuk membunuh masyarakat kafir sekalipun umat Islam hidup dalam komunitas kafir seperti negara Indonesia. "Nabi pun tidak pernah perintahkan umat Islam di Mekah membunuh kaum kafir di sana. Kondisi kami sama dengan mereka," ujarnya.