Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu penyintas bom Surabaya, Desmonda Paramartha, 24 tahun, mengaku telah berdamai dan memaafkan pelaku bom bunuh diri yang menewaskan dan melukai puluhan orang tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pelaku ini korban dari ideologi yang berhak untuk dimaafkan,” kata Desmonda dalam acara memperingati lima tahun bom Surabaya di Gereja Kristen Indonesia di Jalan Diponegoro, Surabaya, Kamis malam, 13 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati tidak mudah untuk dilalui, momentum ini baik untuk merefleksikan makna dan pembelajaran untuk diwariskan kepada generasi muda. "Walau terkadang trauma masih berada di dalam ingatan, aku sendiri sudah menerima," ujarnya.
Menurut dia, pembelajaran besar yang dapat dia rasakan adalah memaafkan. Meski bukan persoalan mudah, dia menambahkan, memaafkan pelaku merupakan salah satu cara untuk berdamai dengan keadaan.
Dia bercerita, saat bom meledak, ia dan rekan-rekannya tengah menggalang dana untuk kegiatan jambore di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Jalan Ngagel Madya. Ia terluka di tangan, kaki, dan leher karena terkena serpihan bom.
Untuk melewati masa-masa kelam itu, dukungan teman-teman sekitar dan sekelilingnya adalah makna yang berarti untuk memulihkan dari memori suram itu. “Dikuatkan dari teman-teman sekitar dari yang nggak kenal sampai kenal."
Bom Surabaya meledak secara serentak pada Ahad pagi,13 Mei 2018, di tiga lokasi berbeda, yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia, dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno.
Adapun pelaku adalah satu keluarga, yakni Dita Oepriarto beserta istri, dua anak perempuan, dan dua anak laki-lakinya. Dita merupakan pimpinan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) Surabaya.
Pilihan Editor: Mengapa Bom di Surabaya? Ini Kata Pengamat Terorisme