Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan tiga pasal Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), melalui Putusan MK Nomor 006/PUU-IV/2006, bisa menjadi kendala menyusun RUU KKR yang baru.
Willy menilai sampai saat ini pemerintah Indonesia masih berkomitmen menyusun ulang RUU KKR guna membuat dasar hukum penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia, seperti sejumlah pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
“Pak Yusril (Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan) masih berkomitmen untuk menyusun ulang, cuma kalau itu sudah diputuskan oleh MK tidak dilanjut, itu bisa jadi kendala. Artinya sudah ada keputusan MK. Kalau sudah ada keputusan MK, harus diperhatikan lagi,” kata Willy di Jakarta pada Rabu, 11 Desember 2024.
Politikus Partai Nasdem itu mengungkapkan UU KKR belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sehingga tidak ada rencana untuk dibahas. “Kalau Prolegnas jangka menengah atau tidak, nanti saya harus cek lagi, soalnya saya sudah tidak di Baleg,” ujarnya.
Meski demikian, dia mengatakan pemerintah dan DPR tetap berkomitmen memperkuat pembangunan HAM di Indonesia sehingga di masa datang akan lebih berkolaborasi secara intens untuk menyelesaikan rencana itu.
Willy menambahkan penguatan HAM butuh dukungan dari semua pihak, baik dari sisi regulasi untuk penegakan maupun edukasi lebih lanjut kepada masyarakat maupun semua pemangku kepentingan perihal nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Karena itu, keterlibatan membahas RUU itu tidak cukup hanya di pemerintah dan DPR, tetapi harus melibatkan lembaga seperti Komnas HAM dan organisasi atau pegiat lainnya.
Sebelumnya, Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berkomitmen membahas RUU KKR baru perihal HAM. Dia menuturkan upaya itu meneruskan kebijakan sebelumnya yang sudah dimulai pada pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.
“Kemudian juga sudah ditindaklanjuti sebagian, dan masih akan terus dilanjutkan oleh pemerintah yang baru sekarang ini. Dalam pada itu, memang sudah ada draf atau konsep tentang Rencana Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang mudah-mudahan mengadopsi prinsip-prinsip universal tentang KKR ini yang dipelajari dari banyak negara,” kata Yusril saat menghadiri peringatan Hari HAM Sedunia di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Selasa, 10 Desember 2024.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Adapun MK membatalkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. MK menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menilai rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma yang ada di dalam UU KKR tidak memiliki kepastian hukum untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan.
Putusan MK itu dibacakan dalam sidang pleno pada Kamis, 7 Desember 2006 yang dipimpin Ketua MK ketika itu Jimly Asshiddiqie. Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (sekarang Ketua Majelis Kehormatan MK) mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut Palguna, permohonan uji materi yang diajukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB) itu seharusnya tidak dapat diterima. Palguna menyampaikan pendapat berbeda. Palguna mengatakan kebenaran akan sulit diungkap jika UU KKR ‘dicabut’.
Pilihan editor: Pro-Kontra terhadap Keputusan Panglima TNI Memutasi 300 Perwira Tinggi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini