Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan Kepolisian Resor (Polres) Labuhanbatu, Sumatera Utara, untuk menunda eksekusi lahan seluas 83,5 hektare yang menjadi sengketa antara Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS) dengan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk alias PT SMART Tbk. Permintaan itu merupakan tindak lanjut setelah Komnas HAM menggelar audiensi dengan perwakilan KTPHS pada Kamis kemarin, 27 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Surat Komnas HAM untuk penundaan eksekusi sudah dikirim ke Ketua PN dan Kapolres," kata Komisioner Komnas HAM Prabianto Mukti Wibowo saat dikonfirmasi pada Jumat, 28 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Eksekusi tersebut rencananya akan dilakukan pada hari ini. Prabianto tak menjawab secara gamblang apakah pihaknya akan berangkat ke lokasi yang berada di Desa Panigoran, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara itu untuk memantau eksekusi tersebut. Namun, dia mengatakan belum ada anggaran untuk pergi ke sana.
Kendati demikian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tak berpangku tangan. "Selanjutnya Komnas HAM akan mengupayakan mediasi," tutur Prabianto.
Sebelumnya, dua perwakilan KTPHS menyambangi kantor Komnas HAM di Jakarta Pusat. Mereka adalah Misno (62 tahun) dan Suherman (71 tahun). Dalam audiensi, mereka menceritakan masalah eksekusi lahan perkebunan Padang Halaban seluas 83,5 hektare
"Jadi kedatangan kami ke mari, sebetulnya mau minta tolong supaya Bapak-bapak bisa mengulur atau menunda jalannya eksekusi," tutur Misno pada Kamis, 27 Februari 2025 di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.
Saat ini, berbagai alat berat, mulai dari bulldozer hingga excavator sudah berada di lahan perkebunan Padang Halaban yang diduduki warga dari 2009. "Waktu kami tinggal ini hari," kata Misno
Sengketa Lahan Perkebunan Padang Halaban
KTPHS saat ini tengah bersengketa dengan PT SMART Tbk soal lahan seluas 83,5 hektare. Anggota Dewan Pengarah International People's Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia (IPT 1965) Reza Muharam mengatakan, anggota KTPHS adalah keturunan pekerja migran dari Jawa yang dibawa Belanda untuk bekerja di perkebunan-perkebunan di Sumatera pada zaman kolonial.
Leluhur Misno cs, menurut Reza, sebenarnya sudah mendapat Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang dikeluarkan Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah setempat pada tahun 1950-an. Surat ini semacam surat hak milik (SHM).
"Secara legal, mereka eksis, ada, bukan tiba-tiba menduduki lahan orang," kata Reza yang mendampingi Misno dan Suherman dalam audiensi di kantor Komnas HAM, Kamis.
Peneliti Agrarian Resource Center/ARC, Dianto Bachriadi, dalam tulisan bertajuk 'Genosida di Padang Halaban (Sebuah Rekonstruksi Awal)', menceritakan desa-desa yang berada di lahan Perkebunan Padang Halaban seluas 3.200 hektare memang dibentuk oleh eks buruh-buruh kebun yang tinggal di sekitar maupun di dalam Perkebunan Padang Halaban sejak 1943-1945.
Mereka mengkooptasi tanah milik perkebunan-perkebunan asing pada awal kemerdekaan berkat dorongan tentara Jepang, serta Soekarno yang menyerukan bahwa pendudukan tanah-tanah bekas perkebunan asing adalah bagian dari perjuangan revolusi untuk mencapai kemerdekaan.
Adapun lahan perkebunan sawit di Padang Halaban sebelumnya merupakan konsesi perusahaan Sumatera Caoutchouc Maatschappij NV Merbau alias SUMCAMA NV yang kantor pusatnya di Brussel, Belgia. Sedangkan perkebunan di wilayah Panigoran--sebelah Padang Halaban--adalah konsesi perusahaan Sungei Buaja Rubber Co Ltd yang kantor pusatnya di London, Inggris.
Pada akhir 1958, pemerintahan Soekarno menasionalisasi seluruh perusahaan-perusahaan asing, termasuk SUMCAMA NV dan Sungei Buaja Rubber Co Ltd. Ini dilakukan lewat penerbitan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda dan peraturan-peraturan turunan lain.
Pada 1962, pemerintahan Soekarno menerbitkan sertifikat hak guna usaha (HGU) untuk PT Serikat Putra seluas 372 hektare yang terletak di Desa Panigoran. Tanah ini adalah eks kebun Panigoran yang dimiliki Sungei Buaja Rubber Co Ltd. Sementara pada 1968 setelah Orde Baru berkuasa, pemerintah mengembalikan seluruh kebun Padang Halaban milik SUMCAMA NV, yang sekarang bernama Plantagen Aktiengesellschaft alias Plantagen AG.
Plantagen AG lalu mengajukan HGU di tanah seluas 5.639 hektare itu pada 1972. Namun, nama pemegang HGU-nya adalah Maskapai Perkebunan Sumcam Padang Halaban yang kemudian berubah menjadi PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk alias PT SMART Tbk.