Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Delapan warga Pulau Rempang menjadi korban penyerangan petugas PT Megah Elok Graha, pengembang Rempang Eco City.
Pemerintah belum mencabut status proyek strategis nasional Pulau Rempang.
Aparatur hukum tak profesional dalam menangani kasus penyerangan dan intimidasi terhadap masyarakat.
TIDUR Edi Junaidi terusik ketika sekelompok orang menyerbu kediamannya di Simpang Dapur 6, Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, pada Rabu dinihari, 18 Desember 2024. Laki-laki 50 tahun itu langsung pasang badan ketika orang-orang tersebut memukuli anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edi tak berdaya ketika sekelompok orang tersebut secara membabi buta menyerang ia dan anaknya. Bahkan seorang penyerang yang membawa parang mengancam akan membunuh anak Edi. “Lihat punggung saya memar terkena parang mereka. Saya tidak peduli lagi, yang penting anak saya terlindungi,” kata Edi kepada Tempo. Tak hanya itu, menurut Edi, pelaku juga mencuri telepon seluler anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Edi hanya berjarak sekitar 10 meter dari Posko Sungai Buluh, salah satu posko yang didirikan warga Pulau Rempang sebagai tempat mereka berkumpul untuk menolak proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City. Malam itu, tiga posko warga lain juga diserang oleh sekelompok orang yang belakangan diketahui sebagai petugas PT Megah Elok Graha (MEG), penggarap PSN Rempang Eco-City. Selain Posko Sungai Buluh, dua posko lain adalah Posko Sembulang Hulu dan Posko Ansor.
Abu Bakar, 60 tahun, yang malam itu berada di Posko Sungai Buluh, juga menjadi korban. Segerombol orang yang turun dari truk mengacungkan parang ke lehernya sesaat setelah dia memarkirkan sepeda motornya. "Bapak yang ikut di sana tadi, ya?" kata Abu menirukan pertanyaan seorang penyerang itu kepadanya.
Merasa tak tahu apa-apa, Abu tak melawan. Para penyerang yang sempat merusak sepeda motor Abu pun melepaskannya. Abu menyatakan segerombol orang itu datang dari arah Posko Kampung Sembulang Hulu. Belakangan, dia mendapat kabar bahwa para penyerang itu telah merusak Posko Sembulang Hulu dan Posko Ansor serta memukuli warga yang berjaga di sana. “Mereka ke posko yang di Sembulang dulu, baru ke sini. Pas nyampe sini, mereka langsung berteriak ‘serang' sambil turun dari lori (truk). Yang jelas itu orang PT MEG,” kata Abu.
Koordinator Umum Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (Amar GB), Ishak, mengatakan penyerangan itu merupakan aksi balasan setelah warga menangkap satu dari dua petugas PT MEG yang merusak spanduk penolakan PSN Rempang Eco-City pada Selasa malam, 17 Desember 2024. Warga membawa pelaku ke Posko Sembulang Hulu. Dari pemeriksaan, ditemukan kartu identitas pelaku sebagai pekerja Artha Graha, induk perusahaan PT MEG, serta tiga pisau cutter yang diduga digunakan untuk merusak spanduk.
Ishak menyatakan telah menghubungi Polsek Galang untuk menjemput pelaku. Tapi sebagian warga tidak mau menyerahkannya sebelum PT MEG berjanji untuk tidak lagi mengintimidasi mereka. Perusakan spanduk seperti itu memang kerap terjadi dan selama ini warga belum pernah menangkap pelakunya. “Kejadian penangkapan itu berlangsung sekitar pukul 21.00 WIB. Tapi, hingga pukul 24.00 WIB, kesepakatan itu tidak membuahkan hasil,” kata Ishak.
Saat negosiasi terus terjadi, tiba-tiba sebuah truk, beberapa mobil, dan kendaraan roda dua datang. Mereka rupanya petugas PT MEG yang hendak mengambil paksa rekannya. Ray, seorang warga yang ikut berjaga di Posko Sembulang Hulu, menyatakan para petugas PT MEG itu langsung menyerang mereka. Dia mendengar teriakan ”serang” saat mereka datang. Ray melihat beberapa temannya menjadi bulan-bulanan aksi penyerangan itu. “Karena kawan-kawan lari ke hutan, saya juga lari,” ujarnya.
Kondisi Posko Sungai Buluh, Simpang Dapur 6, Pulau Rempang, yang rusak akibat diduga diserang pekerja PT Makmur Elok Graha di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 18 Desember 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang menyatakan setidaknya delapan orang menjadi korban penyerangan tersebut. Tiga orang mengalami luka robek di bagian kepala, satu orang luka berat, satu terkena panah, satu mengalami luka ringan, dan satu anak di bawah umur mengalami luka lebam di wajah. Salah satu korban, Zakaria, 37 tahun, hingga kini masih menjalani perawatan di rumah sakit dan akan menjalani operasi pada bagian pipi yang retak.
Seorang anggota tim pengamanan lapangan PT MEG, Angga, membenarkan peristiwa tersebut. Dia menyatakan malam itu sekitar 30 pekerja PT MEG datang ke Posko Sembulang Hulu untuk menjemput rekannya yang disandera warga. Angga juga menyebutkan petugas yang disandera diikat dan dipukuli warga. Namun dia membantah tuduhan ada peristiwa perusakan spanduk sebelumnya. “Kalau soal perusakan spanduk itu kan masih dugaan,” ucapnya.
Angga menyatakan rekannya ditangkap warga saat sedang berpatroli di Kampung Sembulang. Ketika hendak pulang ke kantor, menurut Angga, rekannya itu dihadang warga yang membawa parang. Angga menyatakan rekannya tersebut sempat melarikan diri, tapi akhirnya tertangkap warga. Angga juga membantah tuduhan mereka datang ke posko warga dengan membawa senjata tajam, panah, ataupun melakukan pemukulan. Menurut dia, tak ada petugas PT MEG yang membawa senjata malam itu. “Kami tidak ada yang bersenjata," ujarnya.
Konflik di Pulau Rempang memanas sejak 7 September 2023. Saat itu pemerintah memaksa masuk ke Pulau Rempang untuk mengukur lahan yang akan digunakan untuk proyek Rempang Eco-City, meskipun warga menolaknya. Bentrokan besar terjadi dengan melibatkan aparat gabungan, dari polisi, tentara, hingga satuan pengamanan Badan Pengusahaan Batam.
Setelah bentrokan besar itu, pemerintah menawarkan program relokasi kepada warga. BP Batam menyatakan akan menyiapkan hunian untuk warga di Tanjung Banon, Batam. Warga nantinya mendapat hunian tipe 45 dengan luas tanah 500 meter persegi berstatus sertifikat hak milik. Namun warga terus menolak tawaran tersebut.
Miswadi, warga Rempang, berorasi di depan warga lain setelah diserang sekelompok orang yang diduga pekerja PT MEG, di Kampung Sembulang Hulu, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 18 Desember 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Komisi Pembaruan Agraria (KPA) mencatat telah terjadi delapan peristiwa kekerasan, intimidasi, dan upaya perampasan lahan warga Rempang dalam kurun waktu September 2023- Desember 2024. “Dari peristiwa tersebut, sedikitnya 44 orang mengalami kriminalisasi, 51 orang mengalami tindak kekerasan, dan satu orang tertembak," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika.
Dewi menyatakan konflik di Rempang tak akan pernah surut selama pemerintah terus memaksakan mengusir warga dari lahan yang telah mereka tempati selama beberapa generasi. Dia pun menyatakan masalah seperti ini bisa ditemukan di berbagai PSN lain. Dalam catatan KPA, sejak 2020 hingga Juli 2024, sedikitnya terjadi 134 konflik di berbagai lokasi PSN dengan korban lebih dari 110 ribu keluarga. “PSN bukanlah program pembangunan untuk masyarakat, melainkan hanya proyek kongkalikong antara pemerintah dan swasta untuk merampas tanah masyarakat dengan berlindung di balik narasi kepentingan nasional,” kata Dewi.
Dewi pun menilai masalah ini hanya bisa diselesaikan jika pemerintah mau mengevaluasi kebijakan PSN. Tak hanya di Pulau Rempang, Dewi juga meminta pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengkaji ulang kebijakan PSN di berbagai daerah lain. “KPA juga mendesak DPR mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang melegitimasi PSN di Rempang dan berbagai daerah."
Manajer Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Teo Reffelsen sepakat dengan Dewi. Dia menilai pemerintah terlalu ambisius dalam memaksakan proyek Rempang Eco-City tanpa memberikan jaminan pelindungan bagi masyarakat adat setempat. Teo menjelaskan masyarakat adat Rempang telah menghuni wilayah tersebut jauh sebelum Indonesia merdeka. “Mereka seharusnya diakui dan dilindungi, baik identitas kulturalnya maupun wilayah adat mereka,” ujarnya.
Teo pun menyinggung janji pemerintah yang akan menyelesaikan konflik lahan di berbagai lokasi PSN secara persuasif dan dialogis. Dia menyatakan hal itu tak berjalan dan pemerintah hanya memaksakan proyek tersebut berjalan. “Pendekatannya selalu memaksakan proyek berjalan, tanpa berdialog dengan warga yang terkena dampak,” tuturnya.
Di sisi lain, Walhi pun menilai ada keberpihakan dari aparat penegak hukum dalam konflik Rempang. Teo menyatakan aksi kekerasan dan intimidasi terhadap warga akan terus terjadi karena absennya penindakan hukum terhadap aktor-aktor yang bertanggung jawab. “Kekerasan seperti ini terjadi karena memang absennya penindakan terhadap pihak-pihak keamanan perusahaan yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat setempat,” ujar Teo.
Indikasinya, menurut Teo, aparat keamanan PT MEG yang diduga terlibat peristiwa penyerangan tersebut belum diproses hukum secara jelas. Padahal warga telah melaporkan kasus ini.
Zakaria (kiri), warga Rempang, dirawat di Rumah Sakit Graha Hermine akibat penyerangan yang diduga dilakukan pekerja PT MEG kepada warga Rempang yang menolak PSN, 18 Desember 2024. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Direktur Eksekutif Walhi Zenzi Suhadi bahkan menilai polisi seperti membiarkan aksi penyerangan pada Rabu lalu itu terjadi. Menurut dia, aksi kekerasan seperti itu seharusnya tidak pernah terjadi jika polisi berani menindak tegas pelaku kekerasan dan intimidasi terhadap warga. “Polisi seperti mengaminkan kekerasan itu,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Karena itu, Zenzi meminta Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengambil tindakan tegas kepada aparat yang pasif atau terlibat dalam kekerasan. Ia juga menyerukan evaluasi serius terhadap kinerja kepolisian untuk memastikan keamanan dan keadilan bagi masyarakat Rempang. “Kalau ini dibiarkan, preman akan makin berani menyerang masyarakat dengan dukungan aparat keamanan,” ujarnya.
Indikasi adanya pembiaran dalam penyerangan pada Rabu lalu itu juga diungkap anggota staf advokasi Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru, Wira Ananda. Dia menilai serangan tersebut seperti sudah direncanakan sebelumnya karena perusakan terjadi secara masif dan cepat. Perusakan tiga posko itu, menurut Wira, berlangsung tal lebih dari 20 menit. Dia juga menyatakan terdapat anggota kepolisian dari Polsek Galang saat peristiwa itu terjadi. “Ada polisi dari Polsek Galang, tapi warga tetap diserang,” ucapnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan apa yang terjadi di Pulau Rempang bukan sekadar konflik, tapi juga sebuah kejahatan kemanusiaan oleh negara. Ia menilai pemerintah telah melanggar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Khususnya soal pengusiran paksa yang dilakukan secara sistematis, meluas, dan ditujukan kepada penduduk sipil. “Ini melibatkan negara, dari Menko Investasi, Badan Pengusahaan Batam, hingga Presiden melalui perpres PSN. Semuanya membentuk rangkaian sistematis yang berdampak pada ribuan orang,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu, 21 Desember 2024.
Isnur menjelaskan bahwa negara tidak hanya gagal mencegah kekerasan, tapi juga menjadi pelakunya. Dalam perspektif Konvensi Menentang Penyiksaan yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, ujar Isnur, keterlibatan negara dapat terjadi dalam beberapa level. Pertama, negara melakukan langsung penyiksaan. “Seperti penggunaan gas air mata atau water cannon (dalam bentrokan) tahun lalu."
Kedua, menurut Isnur, negara memfasilitasi kekerasan dengan membiarkan penyerangan terhadap masyarakat. Ketiga, “Tidak ada sanksi tegas terhadap 'dalang' ataupun pelaku lapangan.”
Isnur menyoroti pasifnya aparat kepolisian yang tidak segera menyelidiki atau menindak pelaku kekerasan, meski korban mengalami luka berat. Kepala Polres dan jajaran kepolisian di Rempang, menurut Isnur, juga layak dicopot karena membiarkan kejahatan berlangsung. “Pendiaman seperti ini adalah bentuk keterlibatan dalam pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
YLBHI menilai kebijakan PSN Rempang Eco-City telah melanggar hak-hak konstitusional masyarakat adat di sana. Sebab, pemerintah tak melibatkan warga setempat yang terkena dampak. “Yang terjadi adalah pendekatan represif, seperti tentara mengetuk pintu-pintu warga untuk melobi mereka keluar. Ini tidak sesuai dengan jaminan perlindungan hukum dalam konstitusi,” kata Isnur.
Karena itu, Isnur mendesak lembaga seperti Ombudsman, Komisi Nasional HAM, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban lebih aktif menangani masalah di Pulau Rempang dan lokasi PSN lain. Ombudsman, menurut dia, perlu menyelidiki ada-tidaknya maladministrasi dalam berbagai proyek PSN. Isnur juga meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan pro-justitia alih-alih melakukan mediasi untuk mengungkap dugaan kejahatan kemanusiaan.
Kepala Kepolisian Resor Kota Barelang Kombes Heribertus Ompusunggu didampingi Dandim 0316/Batam Kolonel Rooy Chandra Sihombing memberikan keterangan kepada wartawan soal situasi Rempang, di Mapolresta Barelang, Kota Batam, Rabu, 18 Desember 2024. ANTARA/HO-Polresta Barelang
Kepala Polres Kota Barelang Komisaris Besar Heribertus Ompusunggu membantah anggapan ada pembiaran terhadap aksi kekerasan itu. Dia menyatakan telah bergerak cepat untuk mencegah terjadinya bentrok antara warga dan petugas PT MEG. “Kami sudah datang (ke lokasi). Saat kejadian, Kepala Polsek menelepon ke Polres, kami langsung datang. Pas kami datang ke sana sudah (terjadi) dorong-mendorong begitu," ujarnya.
Heribertus pun berjanji akan memeriksa kedua belah pihak untuk mengusut peristiwa pada Rabu lalu itu. “Secara maraton kami akan memeriksa semua pihak."
Sementara itu, Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait menyatakan pemerintah tetap akan meneruskan PSN Rempang Eco-City. Dia menyatakan proyek tersebut akan lebih memberikan manfaat jika diteruskan ketimbang dihentikan. Menurut dia, proyek tersebut akan memberikan manfaat berupa investasi, kesempatan kerja, dan martabat negara. “Sebaliknya, apabila PSN gagal dilaksanakan, dampaknya antara lain wilayah tetap terbelakang, tidak tahu kapan akan menjadi daerah maju, dan iklim investasi makin buruk di mata internasional,” katanya, Sabtu, 21 Desember 2024.
Tuty juga menyatakan pemerintah tetap mengedepankan langkah persuasif. BP Batam mengklaim sebagian warga telah bersedia direlokasi. Dari 961 keluarga yang terkena dampak proyek pembangunan tahap pertama, menurut dia, 436 keluarga telah mendaftar untuk ikut program relokasi. “Warga yang bersedia pindah ke hunian sementara sebanyak 231 keluarga dan warga yang sudah menempati hunian Tanjung Banon sebanyak 42 keluarga. Angka ini terus bertambah secara beruntun berdasarkan jadwal pemindahan,” katanya.
Tuty juga menyatakan pemerintah telah memenuhi janji berupa pemberian santunan biaya hidup kepada warga sebesar Rp 1,2 juta per jiwa per bulan dan biaya sewa rumah sebesar Rp 1,2 juta per bulan.
Koordinator Umum Amar GB, Ishak, ragu akan data yang dilansir BP Batam tersebut. Menurut dia, total warga terkena dampak proyek tahap pertama hanya sekitar 700 keluarga. Sedangkan yang sudah direlokasi dan menerima relokasi hanya 162 keluarga. "Yang masih bertahan 518 keluarga. Itu kan terlalu jauh dari pernyataan BP Batam yang menyebutkan sudah menerima relokasi 436 keluarga." ●
Yogi Eka Sahputra dari Batam dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo