Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan ada 45 pembunuhan di luar hukum atau extrajudicial killing yang dilakukan oleh aparat negara selama setahun terakhir. Data tersebut dihimpun dari hasil pemantauan KontraS dalam rentang waktu Desember 2023 hingga November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy, menyebut mayoritas pelaku pembunuhan di luar hukum itu adalah polisi. “Dilihat dari aktornya, angka tertinggi pelanggaran extrajudicial killing dilakukan oleh institusi kepolisian sebanyak 34 peristiwa, dan institusi TNI sebanyak 11 peristiwa,” tutur Andi dalam acara peluncuran Catatan Hari HAM KontraS 2024 yang digelar di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, pada Jumat, 6 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Catatan KontraS menunjukkan bentuk tindakan pembunuhan di luar hukum ini terbagi menjadi tiga, yakni penyiksaan, penembakan pelaku kriminal, dan penembakan warga sipil. Tindakan ini menewaskan 47 orang. “Peristiwa extrajudicial killing akibat dari penggunaan senjata api yaitu sebanyak 29 korban dan juga akibat dari tindak penyiksaan sebanyak 18 korban,” kata Andi.
Berdasarkan latar belakang korban, Andi menjelaskan, sebanyak 27 korban merupakan tersangka tindak pidana atau kriminal. Menurut KontraS, pembunuhan terhadap tersangka tindak pidana sebelum sempat menjalani persidangan meniadakan hak mereka untuk menghadapi proses peradilan yang adil atau due process of law. Sementara itu, hak tersangka untuk melakukan pembelaan juga hilang.
Adapun 20 korban lainnya bukan merupakan tersangka tindak kriminal. “Peristiwa non-kriminal yang sebetulnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan peristiwa kejahatan,” tutur dia. Menurut Andi, aparat cenderung menjustifikasi atau mencari pembenaran terhadap tindakan penghilangan nyawa. Contohnya, dalam kasus extrajudicial killing terhadap tiga anak di bawah umur, yakni Mikael Histon Sitanggang di Deli Serdang, Afif Maulana di Padang, hingga Gamma Rizkynata Oktafandy di Semarang.
Mikael disebut menjadi peserta tawuran sebelum ia dibunuh oleh anggota TNI. Namun, KontraS mengatakan jika memang Mikael terlibat tawuran, perlu ditekankan bahwa TNI tidak memiliki wewenang dalam 'menangani' tawuran. Apalagi hingga menyebabkan kematian. Pola yang sama, menurut catatan KontraS, juga terjadi pada kasus Afif dan Gamma.
Afif disebut terlibat tawuran sebelum jenazahnya ditemukan di bawah jembatan Kuranji. Sedangkan Gamma ditembak oleh polisi yang sempat mengklaim dirinya mencoba mengamankan tawuran, padahal beberapa warga sekitar menyatakan tidak ada tawuran yang berlangsung di lokasi kejadian. KontraS menyebut, ketiga korban digambarkan sebagai “anak nakal” atau delinquent yang seolah-olah dapat dengan sewenang-wenang ditembak oleh aparat hingga meninggal.
Pilihan Editor: Hakordia 2024: KPK Pamerkan Moge Milik Rafael Alun